Oleh Hilda Rizqi Elzahra
Mahasiswi Universitas Islam Negeri KH. Abdurrahman Wahid
Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah seorang pujangga pamungkas di tanah Jawa. Nama aslinya Bagus Burham, ia lahir di Surakarta, pada tanggal 14 Maret 1802 dari pasangan R.M Ronggowarsito II (RM Ngabehi Panjangswara) seorang carik di Kadipaten Anom dan Nyi Mas Ajeng Ronggowarsito, keturunan ke sembilan dari Sultan Terenggono yang pernah bertahta di Demak.
Sejak usia dua tahun ia diasuh oleh kakeknya, Raden Tumenggung Jasadipoera II. Hingga di usianya yang menginjak dua belas tahun Bagus Burham dikirim ke Pondok Pesantren Gebang Tinatar untuk menimba ilmu kepada Kiai Ageng Hasan Besari, yang merupakan menantu dari raja Surakarta pada sat itu (Pakubuwana IV).
- Iklan -
Bagus Burham didampingi oleh seorang abdi ndalem bernama Ki Tanujaya, di pesantren tersebut ia dijuluki santri nyeleneh karena di masa remajanya penuh kenakalan, balelo dan bebal. Dilansir dari buku Kakilangit, Bagus Burham suka keluyuran, menghambur-hamburkan uang untuk mengadu ayam dan berjudi.
Berkali-kali ia diperingatkan, namun ia tidak pernah mendengarkan nasihat Kiai Hasan Besari. Sampai suatu saat bekal bulanannya habis hingga ia menjual dua kudanya untuk membiayai permainan judinya. Kiai Hasan Besari sering menjemput santri bandelnya ini yang sering kabur ke rumah-rumah penduduk.
Merasa terus dimarahi, suatu ketika Bagus Burham kabur dari pesantren, terpaksa abdi ndalemnya melapor kepada kiai Hasan Besari dan keluarga keraton. Kiai Hasan Besari menyarankan untuk mencarinya ke Kediri, pihak pesantren dan keraton bersama-sama mencari keberadaannya.
Sampai akhirnya, ia ditemukan dan diajak kembali ke pesantren. Namun kebiasaan nakalnya tetap saja tidak sembuh. Karena geram dengan kebiasaan Bagoes Boerham tersebut Kiai Hasan Besari memberikan takziran kepadanya untuk berpuasa selama 40 hari berturut-turut dan hanya boleh berbuka denga satu biji buah pisang.
Tidak hanya itu, Kiai Hasan Besari juga melarangnya untuk tidur di malam hari dan mewajibkan ia untuk bermunajat kepada Allah. Dengan akal cerdiknya, ia memasang bambu di atas sungai, setiap malam ia menaiki bambu tersebut. Jika ia ketiduran, maka ia akan terjebur ke sungai, maka ia akan bangun dan terus bermunajat kembali.
Takziran yang diberikan Kiai Hasan Besari terinspirasi dari kisah seorang pemuda yang bengal, nakal, penjudi dan perampok bernama Ken Arok, namun dengan keyakinan dan ketekunan hati seorang pendidik yang bernama Loh Gawe maka Ken Arok menjadi raja di Singosari
Namun setelah itu Bagus Burham mendapatkan wahyu kapujanggan atau ilham kepujanggaan yang telah merubah seri kehidupannya, ia melantunkan ayat suci al-Qur’an dengan nada yang indah dengan penafsiran dalam Bahasa Jawa.
Dalam buku Sejarah Kiai Ageng Muhammad Besari karya Kiai Muhammad Purnomo menuturkan bahwa sanksi yang diberikan kepada Bagus Burham berbuah hikmah. Bagus Burham diberi anugerah oleh Allah SWT berupa maqam futuh (terbukanya mata batin) sehingga ia menyerap ilmu yang diajarkan Kiai Hasan Besari dengan sangat baik, lancar dan cepat.
Setelah dirasa cukup belajar di Gebang Tinatar, ia tidak langsung kembali ke rumahnya melainkan ia menjadi santri lelana di beberapa pesantren bahkan ia sempat mengunjungi ke sebuah pertapaan pendeta Hindu di Bali.
kembali ke Surakarta pada tahun 1815. Sekembalinya dari pesantren, ia kembali diasuh oleh kakeknya, Jasadipoera II. Kakeknya mengajarkan seni, budaya dan kesusastraan Jawa. Ia juga sempat ngangus kaweruh ke Demak untuk belajar sastra Arab dan kebatinan jawa pada Pangeran Kadilangu. Ia menekuni bidang satra baik Jawa maupun Arab.
Di masa kejayaannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang menuangkan aspirasi pada tulisannya. Ia menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Seperti pemikiran di dunia tasawufnya tertuang dalamSerat Wirid Hidayatjati, yang memuat ajaran Manunggaling Kawulo Gusti
Ia menghabiskan waktunya dengan menulis, bahkan menjelang wafatnya, ia sempat menulis Serat Kalatida sebuah uraian yang dikemas secara mendalam tentang mengenali tanda-tanda akhir zaman dan tanggap ing sasmito yang menjelaskan untuk senantiasa berhati-hati dan waspada. Kala berarti zaman dan Tidha berarti ragu, maka Kalatidha berarti zaman keraguan. Namun, banyak yang beranggapan Kalatidha berarti zaman edan karena mengambil makna dari bait ke tujuh dari serat ini, karena bait tersebut sangat populer.
Kemasyhuran Serat Kalatidha juga sampai ke kota Leiden, Belanda. Disana guratan Ronggowarsito tersebut dilukis dalam tembok museum. Kebanyakan orang hapal dengan bait ketujuh yang berbunyi:
Amenangi zaman edan
Yen ora melu edan ora keduman
Ati tansah nelangsa
Ananging dilalah kersane Allah ta’ala
Sak begja-begjane wong kang lali
Luwih becik wong kang eling lan waspodo
Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, seperti ini :
Menyaksikan zaman edan
Ketika tidak larut dalam kegilaan, tak bisa mengecap kenikmatan
Maka hati jadi remuk susah
Namun karena rahmat Allah
Seberuntung-beruntungya orang yang lupa
Lebih baik orang yang ingat dan waspada
Tidak ada pujangga yang mampu menyamai dirinya.Itulah mengapa ia dikenal sebagai pujangga pamungkas di tanah Jawa. Melalui karya-karyanya kita menjadi tahu, tentang pelajaran kehidupan. Sementara itu Ronggowarsito memberi perhatian lebih pada kajian tasawuf seperti Serat Wirid Hidayat Jati atau yang dikenal dengan sebutan Martabat Tujuh, Suluk Sukma Lelana dan Maklumat Jati. Semua karyanya itu menjelaskan tentang tasawuf yang menggambarkan tentang kesadaran seorang hamba untuk mencapai wushul atau maqam qurb (kedekatan) dan keakraban dengan Tuhannya.
Ronggowarsito wafat pada tanggal 24 Desember 1873 dan dimakamkan di Palar, Klaten. Mengingat kebesaran jasanya dalam dunia kesusastraan Jawa, maka pada tanggal 11 November 1953 pemerintah Indonesia memberikan tanda penghargaan kepadanya dengan membuat tugu Ronggowarsito yang diresmikan di Perpustakaan Radyapustaka Sri Wedari Surakarta oleh presiden Soekarno.