Oleh: Suwanto
Dunia maya dan media sosial (medsos) heboh digemparkan oleh Ponpes Al-Zaytun dengan berbagai kontroversinya, mulai dari dugaan penistaan sampai dengan isu afiliasnya dengan Negara Islam Indonesia (NII). Kalau memang berbagai dugaan ini benar, tentu ini menjadi catatan untuk kesekian kalinya deretan ponpes yang meleceng. Fenomena seperti ini tentu patut menjadi perhatian, dalam artian kita harus tahu bagaimana kiat memilih pesantren yang berkearifan Kebangsaan. Dalam hal ini tentunya ponpes tak hanya mengajarkan ilmu baik keagamaan, maupun umum, akan tetapi juga wawasan atau karakter kebangsaan.
Tentu kita paham, manusia diciptakan dimuka bumi untuk beribadah kepada Allah SWT (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56). Sebagai modal dasar, manusia adalah bentuk penciptaan yang sempurna dibanding dengan makhluk lain (Q.S.At-Tin [95]: 4). Dengan keistimewaan itulah, manusia diajarkan menuntut ilmu melalui proses pendidikan. Orientasi fungsionalnya berakar pada kewajiban manusia, sebagai khalifah di bumi (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30) dan memahami pentingnya akhlak. Karenanya, akhlak merupakan entitas yang sangat penting dalam diri manusia.
Apalagi, dewasa ini berbagai kasus tindak kekerasan yang melibatkan anak seolah tidak pernah ada habisnya. Masih banyak kasus kekerasan yang terjadi di negeri ini. Belum lagi kasus perundungan dan radikalisme yang marak terjadi di sekolah. Tentu masih banyak kasus kekerasan lainnya baik fisik, mental, maupun psikisnya. Bahkan kasus kekerasan sudah menyasar ke anak di bawah umur.
- Iklan -
Sumber krisis multi-dimensional degradasi moral tersebut ialah bentuk dari krisis identitas dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter generasi bangsa. Secara konsep pendidikan karakter yang diinisiasi pemerintah sudah bagus. Tapi, yang jadi persoalan terkadang pada level implementasinya. Karenanya, perlu memahami hakikat pendidikan karakter terlebih dahulu untuk kemudian merefleksikan transformasi pendidikan karakter yang dijalankan.
Pendidikan karakter yang menjadi fokus di dalam penyelesaian problem bangsa, yakni dekadensi karakter harus mendapat perhatian serius baik tataran konseptual dan praktikal di lapangan. Kebijakan pendidikan karakter yang ada saat ini di kurikulum nasional mungkin sudah dikatakan cukup baik. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk memberikan peluang bagi tradisi pesantren, untuk berkontribusi bagi pendidikan karakter bangsa. Pesantren menyimpan banyak khasanah pendidikan karakter.
Syaikh Baligh Ismail dalam tulisannya, “malamih al-tarbiyat al-akhlaq fi la-Islam” membagi pendidikan karakter dalam Islam menjadi dua bagian yakni pertama bagian teoritis yang mengartikan kerangka konseptual tentang suatu etika baik yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, bagian praktis yang menunjukkanatau menerangkan praktik etika dalam dunia nyata. Dua bagian inilah merupakan fondasi filosofis pendidikan karakter pesantren.
Satu hal yang patut dicatat bahwa hakikat pendidikan karakter tidak hanya sebatas hal kognitif (cognitive domain) atau formal–administratif saja, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari guna mengatasi problem nasional seperti integritas moral (moral integrity), kerusuhan massa, dan intoleransi. Salah satu praktik pendidikan karakter yang sudah tidak diragukan lagi peranan dan juga eksistensinya ialah pendidikan karakter di pesantren. Dalam tradisi pesantren, model pendidikan karakter mempunyai esensi harus menanamkan nilai-nilai keimanan dan amal shaleh yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Thomas Licona (2013) mengungkapkan bahwa mendidik seseorang hanya pada pikirannya saja dan tidak pada moralnya sama artinya dengan mendidik seseorang yang berpotensi menjadi ancaman masyarakat. Kebutuhan terhadap pendidikan dapat melahirkan masyarakat Indonesia yang berkarakter dan sangat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Alasannya jelas, karena degradasi moral yang terus menerus terjadi pada generasi bangsa ini. Berbagai kasus seperti penyalahgunaan dan peredaran narkoba yang semakin menggurita, tawuran antar pelajar, serta berbagai kejahatan yang menghilangkan rasa aman masyarakat merupakan bukti nyata degradasi moral generasi bangsa ini (Asmani, 2012: 47).
Itulah sebabnya, gagasan program pendidikan karakter sangat didambakan. Sebab selama ini dirasakan proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Banyak yang menyebut bahwa pendidikan telah gagal dalam membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang pandai dalam menjawab soal ujian dan berotak cerdas, akan tapi mentalnya lemah dan penakut, perilakunya tidak terpuji, bahkan terlibat dalam tindakan radikal.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan pendidikan karakter seyogyanya harus didukung oleh semua lembaga pendidikan yang ada, termasuk kontribusi pondok pesantren. Mengingat pesantren selain sebagai lembaga pendidikan, ia juga termasuk lembaga pembinaan moral dan dakwah. Selain itu, di dalam pondok pesantren terkumpul tiga pilar pendidikan sekaligus, yaitu madrasah, keluarga, dan juga masyarakat. Kekayaan kultural pesantren tersebut sebenarnya merupakan modal utama keberhasilan pendidikan karakter. Mengingat pendidikan karakter membutuhkan (habituasi), keteladanan, dan lingkungan yang mendukung.
Selain itu, untuk membiasakan seseorang berpikir dan bertindak sesuai dengan karakter yang diinginkan membutuhkan pembiasaan yang terus-menerus dengan pengawasan yang berkesinambungan. Hal tersebut dapat dilakukan secara efektif di pondok pesantren. Keteladanan dapat diambil dari para dewan guru dan bermuara kepada pribadi kiai sebagai orang tua sekaligus juga guru. Lingkungan yang mendukung akan lebih mudah diciptakan di sebuah area yang bisa lebih steril dari pengaruh luar yang negatif sebagaimana terdapat di pondok pesantren yang lingkungannya biasanya terpisah dari penduduk sekitar. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika Gusdur menyebut pesantren sebagai sebuah subkultur sosial.
Sementara itu, Syaikh Baligh Ismail dalam tulisannya, “malamih al-tarbiyat al-akhlaq fi la-Islam” membagi pendidikan karakter dalam Islam menjadi dua bagian yakni pertama bagian teoritis yang mengartikan kerangka konseptual tentang suatu etika baik yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, bagian praktis yang menunjukkanatau menerangkan praktik etika dalam dunia nyata. Dua bagian inilah merupakan fondasi filosofis pendidikan karakter yang ada di pesantren.
Paling tidak dalam pesantren yang berwawasan kebangsaan merumuskan 4 (empat) karakter dasar dengan 10 (sepuluh) nilai utama. Pilihan tersebut dalam bahasa filsafat, lebih merupakan optius fundamentalis, yaitu pilihan dasar yang dianggap penting menjawab problem bangsa saat ini. Empat karakter dasar tersebut yakni adil, tawasut, tawazun, dan tasamuh. Adapun sepuluh nilai dasar meliputi Tauhid, adil, amanah dan jujur, khidmah (pengabdian), zuhud, al-wafa, tawakal, ukhuwah, uswatun khasanah (teladan baik), dan tawadhu (Mustafied, dkk., 2013).
Berbagai khasanah pendidikan karakter yang melekat pada pesantren itulah setidaknya sebagai bagian dari ikhtiar pesantren untuk mengembangkan nilai-nilai karakter dalam pendidikan nasional. Artinya, pesantren turut berperan strategis dalam mendorong transformasi personal dan sosial menuju generasi yang berkeadaban.
Dengan berbagai khasanah nilai-nilai karakter yang melekat pada pesantren, setidaknya para pemangku kebijakan pendidikan negeri ini berkaca pada nilai-nilai pendidikan karakter yang ada di pesantren. harapannya, menjadikan semua hal tersebut untuk menjadikan desain model pendidikan karakter nasional yang strategis sebagai solusi mengikis degradasi moral generasi bangsa.
-Pengajar di MA Ali Maksum, PP Krapyak Yogyakarta.