Oleh Sam Edy Yuswanto*
Bagi saya, menulis termasuk pekerjaan yang cukup menguras energi, pikiran, dan waktu yang panjang. Menulis di zaman sekarang juga membutuhkan alat atau perangkat menulis seperti laptop, notebook, dan tentu saja aliran listrik untuk mengisi daya baterainya.
Oleh karenanya, menulis termasuk pekerjaan yang sangat berat bagi sebagian orang. Terlebih mereka yang merasa tak memiliki ‘bakat menulis’. Padahal, seseorang yang memiliki ‘bakat menulis’ itu tidak sekonyong-konyong bisa dijadikan jaminan kelak bisa menjadi seorang penulis terkenal.
Saya yakin semua penulis sudah memahami bahwa menulis sebenarnya bukan soal berbakat atau tidak berbakatnya seseorang. Menulis sama persis dengan aktivitas lainnya yang membutuhkan ketekunan, keterampilan, keseriusan, kesabaran, ketelatenan dan latihan (menulis) secara berkelanjutan. Tanpa itu semua, rasanya sangat mustahil seseorang bisa meraih apa yang menjadi keinginannya, meskipun ia ‘merasa’ memiliki bakat dalam dirinya.
- Iklan -
Seorang penulis yang telah mengantongi jam terbang menulis sangat tinggi sekali pun, harus tetap berusaha mempertahankan (merutinkan) kebiasaan menulisnya. Meski sudah sering menulis dan sudah banyak melahirkan karya-karya bagus dan mendapat respon positif oleh para pembaca, namun ketika suatu hari dia berhenti menulis dalam kurun waktu yang lama, maka ketika akan memulai menulis kembali biasanya terasa berat. Oleh karenanya, berusahalah untuk selalu menjaga konsistensi dan motivasi menulis, agar dapat terus produktif melahirkan karya-karya tulis yang bermanfaat untuk orang banyak.
Bicara tentang produktivitas menulis, ada kisah menarik yang saya temukan dalam buku Menipu Setan; Kiat Waras di Zaman Edan karya Ngainun Naim. Dalam buku tersebut dikisahkan secara singkat sosok KH. Bisri Mustofa, salah satu kiai asal Rembang yang sangat produktif dalam menulis. Padahal waktu itu belum ada perangkat komputer apalagi laptop. Zaman itu menulis ya benar-benar menulis dengan menggunakan alat tulis manual seperti pena dan kertas. Mbah Bisri (panggilan KH. Bisri Mustofa) merupakan ayahanda Gus Mus (KH. Mustofa Bisri). Mbah Bisri dikenal sebagai penulis yang produktif pada zamannya.
Dalam bukunya, Ngainun Naim mengisahkan bahwa ratusan karya tulis dalam berbagai bentuk telah beliau (Mbah Bisri) hasilkan. Menurut salah satu putra beliau, KH. M. Cholil Bisri, karangan-karangan beliau yang sudah dicetak ada 276 judul dan semuanya sudah dijual ke penerbit. Banyak yang mempertanyakan sistem beli putus ini. Akan tetapi, menurut KH. M. Cholil Bisri, beliau memiliki argumen yang cukup logis. “Kalau anak-anak saya pintar dan cerdas, pasti akan membuat karangan dan buku sendiri,” demikian jawaban beliau sebagaimana dituturkan Kiai Cholil.
Ngainun Naim melanjutkan, sebagaimana dituturkan Gus Mus, beliau (Mbah Bisri) mampu menghasilkan karya sedemikian banyak karena memang selalu menulis di mana saja; di rumah, di perjalanan, di hotel, bahkan di atas mobil. Idenya selalu mengalir deras seolah tanpa henti. Menulis membuat beliau menjadi kiai yang selalu dikenang dalam sejarah intelektual dunia pesantren. Potret Mbah Bisri sebagai kiai yang sangat produktif menulis ini penting untuk dijadikan teladan. Sekarang ini memang semakin banyak kiai yang produktif menulis. Akan tetapi, harus jujur diakui bahwa jumlah kiai yang menekuni dunia menulis masih sangat sedikit dibandingkan keseluruhan jumlah kiai yang ada. Padahal, dari sisi khazanah pengetahuan yang dimiliki, para kiai tersebut jelas memiliki modal berlimpah untuk menulis. Mungkin soal kebiasaan dan kemauan untuk menulis saja yang perlu ditumbuhkembangkan.
Karya Besar Mbah Bisri
Seorang penulis biasanya akan selalu dikenang dan dikagumi oleh para pembaca ketika ia berhasil melahirkan karya-karya besar. Mbah Bisri juga demikian. Beliau, tak hanya dikenal sebagai sosok ulama besar, tetapi juga dikenal karena mampu menulis karya besar yang bermanfaat untuk banyak orang.
Dalam tulisannya (pecihitam.org, 10/06/2020) Arif Rahman Hakim menjelaskan bahwa Kiai Bisri Musthofa merupakan salah satu di antara ulama Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah sang pengarang kitab tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz. Kitab tafsir al-Ibriz ini selesai beliau tulis pada tahun 1960 dengan 2270 halaman yang terbagi ke dalam tiga jilid besar. Bukan hanya itu saja, bahkan masih banyak karya-karya di bidang lain yang dihasilkan KH. Bisri Musthofa, seperti tauhid, fiqih, tasawuf, hadits, tata bahasa Arab, sastra Arab, dan lain-lain.
Kisah produktivitas menulis Mbah Bisri yang sangat luar biasa tersebut tentu sangat penting untuk kita renungi dan teladani bersama. Khususnya oleh para penulis. Bahkan oleh para kiai, santri, dan alumni berbagai pondok pesantren. Tentu sangat disayangkan bila para kiai yang notabenenya memiliki keilmuan agama yang beragam dan luas, tidak berupaya mengabadikan buah pemikirannya lewat karya tulis yang sangat bagus untuk diwariskan ketika mereka telah tiada. Begitu juga para santri dan alumni, mestinya selain tekun mengaji juga berusaha melahirkan karya-karya melalui tulisan yang bermanfaat untuk umat yang lebih luas. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen. Tulisannya banyak tersiar di berbagai media massa, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, Kompas Anak, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.