Biografi Maut
Di sepanjang teluk, aku serupa hiu dengan sirip cahaya.
hiu putih yang gemar merenangi luas perih. Merenangi
setiap garis-garis nasib di pecah bibirmu. Hiu yang rela
merayapi kail seperti tanda, seluruh keras kulit adalah
sebilah belati. Tanda dari suara yang terus menikamku.
“Suaramu, hanya suaramu. Puluhan suara yang menakutkan
dari gelap dendam.”
Yogyakarta, 2022
Tepi Pantai Sebelum Senja
Kau bersikeras melempar pohon di bibir pantai
pada hari dan musim yang telah lama disiapkan
sepotong bibir dengan garis senja masa depan
garis yang menuntunmu mengibarkan layar dan
melepas sauh menuju pulau impian.
- Iklan -
Kau bersikeras mencium asin laut dengan
perahu dari pohon tua yang bibitnya tumbuh
di dada kita.
“setelah doa-doa pergi, dan tanah ini tak bersemi kembali”
Yogyakarta, 2022
Sepasang Kekasih
[1] perempuan
kau tiba-tiba mendekat, tepat ketika hari dihisap cahaya
kau melesat serupa mantra dan meraba lekuk tubuhku
dengan debur paling sendu.
sesekali matamu menghunjam dan ribuan gema atau percik
buih tetas di sudut bibirku. sesekali kau membawa hadiah
dari jauh pulau atau kedalaman samudera.
“kita menyatu, dalam cekungan sukma”
[2] laki-laki
setelah kelana ke bibir-bibir lain samudera, aku mengunjungi
tubuhmu untuk kesekian kali. Tubuh yang runcing ke dasar
malam, tempat pecah-pecah dendam dihanyutkan.
sungguh aku telah bawa angin paling dingin dari utara,
tempat biasa bersemedi merawat sisa setia. Aku lepas ia
dengan sedikit getar, serupa kicau camar.
“agar mata kita, mata dunia. lesap dan berkilauan di dasar doa”
Yogyakarta, 2022
Cerita di Ujung Pulau
Ia melamun di sini, di bawah pohon kelapa
yang menjuntaikan segala doa
menghadap ke selatan, ke pelupuk masa silam
akan ada mimpi seusai kapal-kapal berlayar
dan tepat di sekitar dex kapal, ia bersikeras
menjemput bagian tubuhmu di pangkuan
Ia hanya melamun di sini, dekat bibir pantai
dengan sisa cahaya pada palung dada
bahwa kepulangan akan gegas tiba
Ia hanya di sini, menunggumu
sampai maut menjelma
pelabuhan terakhir jiwa
Yogyakarta, 2022
Bila Maut Sampai
bila maut sampai, aku ingin sepasang ombak menjemput
kesedihanku dengan warna cerah rindu. sepasang ombak
yang pelan-pelan menganyutkan doa yang aku tanam di
gersang hati. Doa yang bagi kita cepat meletihkan. Doa
dari jelma masa lalu, masa kita membenci segala waktu.
Biodata Penulis
*M. Rifdal Ais Annafis, Lahir di Sumenep. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) serta Prosa Pend. Bahasa & Sastra Indonesia Universitas PGRI Yogyakarta. Buku kumpulan puisinya, Artefak Kota-kota di Kepala (2021). Tulisannya terpublikasi di pelbagai media seperti: Tempo, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Harian Sultra, Harian Fajar, Gorontalo Pos, Duta Masyarakat, Harian Sabah Malaysia, dan lain-lain. Memenangi beberapa sayembara sastra seperti: 5 Terbaik Payakumbuh Poetry Festival 2021 serta Juara 1 Cipta Puisi Fak. Bahasa & Seni Universitas Negeri Yogyakarta