Oleh Saniatus Solikhah
Sistem pendidikan adalah segala sesuatu yang sudah tertata dengan rapi dan memiliki aturan yang digunakan untuk mendidik siswa di sekolah. Sistem pendidikan tidak hanya berlaku untuk siswa atau mahasiswa. Aturan ini juga berfungsi untuk mengatur negara sebagai pembentuk karakter atau norma-norma bagi pemerintah maupun warga negaranya. Secara umum, sistem pendidikan memiliki berbagai aturan seperti pendanaan publik, fasilitas sekolah, materi pembelajaran, dan segala hal yang berkaitan dengan pendidikan. Begitu pun di Indonesia, sistem pendidikannya memiliki serangkaian aturan yang memastikan pendidikan di Indonesia berjalan dengan baik. Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud), dahulu bernama Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas). Di Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di sekolah menengah pertama. Saat ini, pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama, yaitu formal, nonformal, dan informal. Sekolah negeri mendominasi sistem pendidikan di Indonesia saat ini, secara persentase mencapai 52%, sedangkan sektor swasta mencapai 48%.
Selama ini pesantren masih diidentikkan hanya sebagai pendidikan non formal oleh sebagian masyarakat. Padahal saat ini pendidikan pesantren sudah berkembang sangat luas, tidak hanya ada jenis pendidikan non formal, melainkan ada juga jenis pendidikan formalnya. Jika diklasifikasikan, pendidikan pesantren non formal dikenal dengan pendidikan pesantren salafiyah yang berbasis pada pengajian kitab kuning. Sedangkan pendidikan pesantren formalnya terdiri dari Pendidikan Diniyah Formal (PDF) dan Satuan Pendidikan Mu’adaalah (SPM) yang untuk jenjang Ula (setara SD/MI), Wustha (setara SMP/MTs), dan Ulya (setara SMA/MA). Kemudian untuk jenjang pendidikan tinggi formal disebut Ma’had Aly. Jadi, pada jenjang Ma’had Aly, para santri dapat menempuh maraih gelar sarjana, magister, hingga doktor. Di samping itu, pendidikan formal pesantren terdapat juga istilah yang disebut Pendidikan Kesetaraan. Dalam kategori kategori ini, para santri yang bermukim di pesantren dapat mengikuti pendidikan paket A, B, C. Dengan begitu, legalitas ijazah mereka dapat setara dengan SD, SMP, hingga SMA. Secara spesifik, syarat pendidikan formal pesantren harus berada di lingkungan pesantren itu sendiri, dan tidak boleh di luar pesantren. Lalu harus ada pengajian kitab kuning, di samping juga boleh menambahkan materi-materi keilmuan lainnya. Persyaratan tersebut sudah termaktub dalam Undang-Undang Pesantren yang sering disebut Arkanul Ma’had yang berjumlah 5 syarat pendirian pesantren, di mana salah satunya terdapat pengajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiyah.
Penyematan nama “Pesantren” sebagai institusi pendidikan berbasis keagamaan dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia (Amin Haedari, 2007:34). Pesantren merupakan model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Pendidikan pesantren telah memberikan wajah baru dalam sistem pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan ber-asrama alias “mondok”. Pesantren telah berkiprah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Dari lulusan pesantren pula lah, juga terlahir tokoh-tokoh perjuangan (banyak yang menjadi syuhada ‘pahlawan’) dan tokoh pembangunan bangsa.
- Iklan -
Dalam khazanah antropologi, pendidikan dikenal juga dengan beberapa konsep yang paling penting, yakni enculturation (pembudayaan/pewarisan), socialization (sosialisasi/ pemasyarakatan), internalisasi, education (pendidikan), dan schooling (persekolahan). Menurut M.J. Herskovits (dalam 79 Koentjaraningrat, 2000), bahwa, Enculturation (enkulturasi) adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun tidak sadar, mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat. enkulturasi berasal dari aspek-aspek dari pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari makhluk lain dengan menggunakan pengalamanpengalaman hidupnya. Proses enkulturatif bersifat kompleks dan berlangsung sepanjang hidup, tetapi proses tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan seseorang. Enkulturasi terjadi secara agak dipaksakan selama awal masa kanak-kanak tetapi ketika mereka bertambah dewasa akan belajar secara lebih sadar untuk menerima atau menolak nilai-nilai atau anjuran-anjuran dari masyarakatnya. Enkultrasi dan sosialisasi tampak berbeda-beda tetapi juga sama. Meskipun caranya berbeda, tujuannya sama, yaitu membentuk seorang manusia menjadi dewasa. Proses sosialisasi seorang individu berlangsung sejak kecil. Mula-mula mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam lingkungan terkecil (keluarga), kemudian dengan teman-teman sebaya atau sepermainan yang bertetangga dekat, dengan saudara sepupu, sekerabat, dan akhirnya dengan masyarakat luas.
Secara konsep kontribusi antropologi terhadap pendidikan dapat dijelaskan sebagaimana pemikiran G.D.Spindler Education and Culture: Anthropological Approaches yang berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan oleh antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan (pendidikan) yang sudah diverifikasi secara etik dan emik sebagai point of view-nya dengan menganalisis proses-proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya. Ketika Islam mulai dikenal di Nusantara pada abad ke 7 M atas jasa para musafir dan pedagang muslim Gujarat. Kemudian pada abad 11 M, Islam mulai masuk ke kota-kota di daerah pesisir laut (Pantai) Nusantara, dan secara intensif menyebar pada abad ke-13 hingga akhir abad ke-17. Pada masa itu, berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam, seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate dan Gowa. Dari sini Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara melalui berbagai mediator seperti, pedagang, wali, ulama, mubalig dengan mendirikan pesantren (Jawa), Dayah (Aceh) dan Surau (Melayu). Sejak itu pula, pesantren telah menjadi bagian dari khazanah sosial dan budaya Indonesia. Berkenaan dengan persinggungan antara pesantren dengan Budaya Barat (Belanda), menurut Geertz telah membentuk kemandirian, menebalkan rasa cinta terhadap tanah air (Hubbu Al Wathan) dan menanamkan sikap patriotik.
Sudah barang tentu, pengembangan kelembagaan pendidikan pesantren merupakan bukti empirik. Bahwa, pesantren adalah lembaga dinamis. Lembaga yang terus-menerus berkembang tanpa berhenti sedikit pun. Pembangunan fisik di beberapa pesantren malah tak ada hari tanpa aktifitas pembangunan, sedangkan secara kurikuler juga dikembangkan kualitas dan kuantitasnnya. Pesantren sekarang diakui kelebihan dan keunggulannya sebagai alternatif pendidikan yang menyatu-padukan anasir pendidikan secara holistik dan komprehensif, baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Pesantren telah dianggap sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan baik dari aspek tradisi keilmuannya yang merupakan salah satu tradisi agung maupun sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam. Pesantren telah menjadi semacam local genius. Pesantren, sebagai alternatif pendidikan baru di tengah-tengah kegagalan lembaga pendidikan lain dalam membina moral dan life skill (keterampilan hidup), mulai dilirik oleh banyak pihak. Bahkan diadopsi sebagai model pendidikan baru, seperti “pesantren perguruan tinggi”, atau pengasramaan siswa taruna, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa peran pesantren telah merambah ke segala bidang bahkan telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional kita, maka sangat keliru sekali ketika ada anggapan peran pesantren sangat kecil dan rendah dalam menyukseskan program pembangunan nasional.
Tradisi pesantren yang memiliki keterkaitan dan keakraban dengan masyarakat lingkungan diharapkan dapat menciptakan suatu proses pendidikan tinggi yang melibatkan seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian terciptalah masyarakat belajar, sehingga ada hubungan timbal balik antar keduanya. Di sini, masyarakat telah berperan serta dalam pendidikan di pesantren, sehingga pesantren dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi masyarakat untuk mencarikan alternatif pemecahannya. Pesantren telah berjasa besar dalam menumbuhkan masyarakat swadaya dan swasembada.
-Mahasiswa S1 Pendidikan Agama Islam INISNU Temanggung