Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : Makrifat Jawa
Penulis : Agus Wahyudi
Penerbit : Araska
Cetakan : I, November 2022
Tebal : 184 halaman
ISBN : 978-623-6335-16-1
Sebagian umat Islam tentu pernah mendengar kata atau istilah tasawuf. Tasawuf termasuk amalan yang biasa dilakukan oleh orang-orang salih atau para ulama dengan tujuan agar lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam buku ini, Agus Wahyudi menjelaskan, istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab yang artinya “kesucian”. Tasawuf adalah sebuah metode yang dijalani para ulama untuk menyucikan diri agar mendapatkan kedekatan pada Allah Swt. Jadi tasawuf hanyalah sebuah cara dalam beragama. Menengok ke belakang, pada zaman Nabi Muhammad saw. ada sekelompok sahabat yang memilih menjadi ahli ibadah. Mereka tinggal di dekat rumah Nabi saw. dan dijuluki ahlus shuffah atau orang-orang yang gemar menyucikan diri. Dari sinilah sebutan sufi itu berasal.
- Iklan -
Tasawuf lebih mengutamakan pengamalan Islam dari sisi batiniah daripada lahiriah. Maksudnya, setelah mampu konsisten dalam menjalankan syariat maka orang yang bertasawuf akan masuk ke ranah yang lebih dalam yakni amalan hati. Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa orang bertasawuf itu mengabaikan syariat (hlm 13).
Hal yang harus dipahami bersama bahwa ahli tasawuf sejati itu memiliki perilaku yang baik ketika berada di tengah masyarakat. Ia tahu betul cara berhubungan atau memperlakukan sesama makhluk ciptaan-Nya. Ia memiliki rasa toleransi yang begitu tinggi dan tidak gemar memaksakan kehendaknya.
Dalam buku ini diuraikan, para sufi (pengamal tasawuf) biasanya lebih toleran dan moderat dalam beragama. Mereka menghargai adat istiadat setempat yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Ini terlihat pada Wali Songo ketika menyebarkan agama Islam di Jawa, terutama Sunan Kalijaga. Para wali tersebut berdakwah sesuai kondisi masyarakat Jawa yang masih lekat dengan tradisi yang sudah ada. Dengan metode dakwah yang moderat ini maka banyak yang tertarik masuk Islam karena mereka menjadi muslim tanpa harus meninggalkan tradisi yang sudah turun-temurun.
Dakwah dengan pendekatan tasawuf ini menjadikan agama Islam mudah diterima masyarakat Jawa yang pada masa itu kebanyakan beragama Hindu dan Buddha. Andai saja waktu itu para wali langsung memaksa masyarakat Jawa untuk menerapkan syariat secara baku maka kemungkinan besar dakwahnya akan mendapat perlawanan secara frontal. Nyatanya tidak demikian (hlm 15).
Ketika ingin menjalani tasawuf, tentu kita harus berguru terlebih dahulu kepada ahlinya, yakni orang-orang yang telah lebih dulu mengamalkan ajaran tasawuf dengan baik dan benar, dan tidak melenceng dari syariat yang telah ditetapkan. Jangan sampai kita mengamalkan sesuatu tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan atau tanpa berguru kepada ahlinya, misalnya berguru kepada para ulama terdahulu yang telah teruji keilmuannya dan memiliki perilaku mulia yang pantas dijadikan keteladanan bagi kita semua. Para ulama di era sekarang pun saya yakin juga seperti itu. Mereka mempelajari ajaran tasawuf kepada ulama-ulama terdahulu. Maka, tak heran bila ajaran tasawuf antara ulama yang satu dengan lainnya itu saling keterkaitan.
Seorang santri atau umat Islam yang ingin mendalami ajaran tasawuf, maka harus memperhatikan empat tahapan. Empat tahapan ini penting diketahui dan tak boleh diabaikan. Empat tahapan yang dimaksud adalah syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Jadi, makrifat adalah tingkatan tertinggi yang dituju oleh para sufi (hlm 16).
Keempat tahapan tersebut dijelaskan secara cukup gamblang oleh Agus Wahyudi dalam buku ini. Pertama, Syariat. Kata syariat berasal dari bahasa Arab yang artinya jalan raya. Jadi, seseorang yang menunaikan syariat Islam sama saja dia sedang menempuh perjalanan di jalan raya. Lazimnya jalan raya, sudah pasti banyak orang dan kendaraan yang lalu-lalang di sana. Mulai dari bus besar, truk pengangkut barang, mobil pribadi, sepeda motor, sepeda, hingga pejalan kaki.
Bersyariat pun demikian. Tidak pandang dia presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, kepala desa, kepala dusun, ketua RW, ketua RT, atau rakyat biasa, semua memiliki aturan yang sama dalam beribadah kepada Allah Swt. Tata caranya sama. Tidak peduli orang kaya atau miskin, tidak melihat dia ulama atau orang awam, semua sama dalam aturan bersyariat atau bersembah raga.
Kedua, tarekat. Tarekat berasal dari kata thariiqah yang artinya jalan kecil. Karena jalannya kecil, apalagi sepi, sudah pasti tidak banyak yang memakainya. Padahal ini adalah jalan pintas agar segera sampai ke tujuan. Maka bertarekat sama saja dengan menempuh jalan yang tidak biasa. Jadi tidak semua orang mampu menjalankan tarekat atau sembah cipta. Tarekat atau sembah cipta lebih menekankan ibadah qalbu atau hati.
Di kalangan sufi, para guru memiliki cara-cara tersendiri dalam amalan tarekat. Maka muncullah banyak tarekat di seluruh dunia yang dipimpin oleh para mursyid (guru). Para guru di Jawa—termasuk para raja—memiliki cara tersendiri dalam bertarekat, yang pada dasarnya sejalan dengan apa yang dijalankan oleh para sufi. Intinya adalah upaya pengendalian diri dari nafsu yang merusak. Ujungnya adalah pendidikan akal dan hati menuju kesucian jiwa.
Ketiga, hakikat. Berasal dari kata haqiiqah yang artinya kebenaran. Maknanya adalah melepaskan diri dari duniawi dan fokus pada Tuhan. Istilah Jawanya adalah sembah jiwa yaitu menghadapkan jiwa sepenuhnya hanya kepada Tuhan: urip mati kanggo Gusti, pejah gesang kagem Pengeran (hidup mati untuk Tuhan).
Keempat, makrifat. Tingkatan tertinggi dalam perjalanan spiritual adalah makrifat atau sembah rasa. Rasa adalah instrumen dari jiwa yang mampu menyambungkan diri dengan Tuhan. Inilah keistimewaan manusia dibandingkan makhluk lain sehingga manusia disebut sebagai khalifatullah atau pengganti wakil Allah di muka bumi.
Terbitnya buku ini layak diapresiasi sebagai salah satu rujukan penting bagi umat Islam dalam memahami hakikat ajaran tasawuf. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.