Mendaras Gerimis
Aku berlindung dari godaan langit mendung
tempat dulu kita bernaung
dan bingung
Tetes-tetes yang jatuh
bukan hanya ingin membasuh
Masih banyak lagi
jika kita peduli pada pagi
Tahanlah, sebagaimana tanah.
- Iklan -
Sebelum ribuan akar menjangkar
dan meresapkannya ke batang-batang penghidupan.
Benar. Kita akan subur
menumbuhkan sejumlah rindu
yang kini kian mengabur.
Dan puasa adalah sabar
di mana segala puisi dapat kita tulis
sepuas-puasnya.
Iqra’, iqra’, iqra’.
Nuun.
Slawi, 230423
Menggambar Lapar
Aku catat engkau sebagai magrib
Sebentar mampir sebelum lekas raib
Menyalakan kota dengan aneka warna
Meski bayangan selalu hitam semata
Apa yang dicari pengembara
setelah tiba senja kala?
sup buah, es kelapa
atau teh hangat saja
Di beranda, aku pun berandai
engkau adalah halaman kosong
yang merindukan sang pelancong.
Datang membangun hubungan
dan sedikit banyak kenangan
Maka betapa naif
jika kita menganggap
segala yang lewat di mulut
layak disambut peluk perut
Kita bukan lagi kanak
yang sedang belajar puasa
sebab lapar
hanyalah milik orang-orang pasar
Slawi, 240423
Waktu Putih
Aku mudah sekali kau temui
Setidaknya dalam hari atau minggu-minggu ini
Sesungguhnya aku tidak pernah ke mana
Sebab Tuhan telah punya banyak nama
Lalu selain kabut, apa yang ramai kau sebut
Sehingga ada juga yang luput.
Bolehkah aku merasa bersalah
kalau kau lebih betah memasuki ruang
ketimbang waktu yang kadang hilang
kadang terulang
Aku memang mudah sekali kau temui
Setidaknya dalam hari atau minggu-minggu ini
Tapi kau selalu ingin memiliki
Senang dipuja-puji
Bukankah hanya pasrah
yang setelah ditempa bara
menjadi indah kilaunya
Slawi, 250423
Perjamuan Nastar
(Ingat Jokpin)
Setelah tiga puluh
Sesudah telor dan tepung tidak lagi berjarak
Gula dan mentega saling rekat
dalam suhu sekian ratus derajat
Ia pun siap diangkat
berpindah mukim dari muslim ke mukmin
Adakah yang lebih indah dari saling merasa
bersalah? Sedikit selai nanas dalam daging
akan menghangat saat kita berjabat
Jangan ingin merasa paling bulat,
mengkilap, tanpa retak.
Permohonan maaf yang lembut
akan ditelan pelan-pelan
ketika sebuah kudapan
dapat didorong dengan rasa iklas
Wahai, siapakah yang menolak tandas
saat sirup baru keluar dari kulkas?
April 2023
Di Lempuyangan, Adakah yang Belum Diucapkan?
Pergi untuk datang
Pergi untuk pulang
Tapi apa yang pantas diucapkan
bagi pelancong kosong
Kau tetap menyambut
meski kini hujan membuat
kota berkabut
Dingin. Ah, barangkali saja aku
yang sedang masuk angin
Aku memang kembali
tapi jangan kau ucapkan selamat datang lagi
Aku kembali
apakah kau merasai?
Lempuyangan, 230223
A. Musabbih, lahir di Tegal 1986. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Buku puisinya Sajadah Katulistiwa (Wadahkata, 2020) merupakan nominasi Penghargaan Prasidatama Balai Bahasa Jawa Tengah 2021. Buku puisi yang kedua berjudul Arsip Rindu (Prabu 21, 2021) dan sedang mempersiapkan kumpulan puisi yang ketiga bertajuk Surat Sore Hari. Puisi-puisinya pernah dipublikasikan di media cetak maupun online, seperti Sastramedia.com, Negerikertas.com., LP Maarif Jateng.com, Lampung Pos, Bali Pos, Minggu Pagi, Situseni.com., Majalah Kreativa, Pawara Dinamika UNY, dll. Juga di beberapa antologi puisi bersama beserta para penyair nasional lainnya.
Mengikuti sayembara menulis puisi dan meraih beberapa penghargaan; Juara I lomba cipta puisi Hari Kartini se-Jawa di Universitas Pancasakti Tegal 2020, juara II cipta puisi Festival Sastra Jawa Tengah 2019, Puisi Terbaik lomba menulis puisi nasional Leon Agusta Institute (Padang, 2014), juara II lomba cipta puisi nasional Batu Bedil Award (Lampung, 2011), juara II lomba cipta puisi Semarak Bulan Bahasa (UNTIRTA, Banten 2009), juara III lomba cipta puisi FLP Yogyakarta (Yogya, 2007), dan beberapa nominasi.
Beberapa buku antologi puisi yang pernah memuat puisinya antara lain: Negeri Segala Umpama (Payakumbuh, 2021), Kebaya untuk Hj. Umayah (Tasikmalaya, 2021), Sebuah Anafora dari Gaza (Jakarta Puisi Helvy, 2021), Antologi Puisi ASEAN 3 (STAIN Purwokerto 2020), Kartini Kesatria Pena (UPS Tegal, 2020), Suara Hati Guru di Masa Pandemi (Seni Buleleng Bali, 2020), Rantau, Dari Negeri Poci (Jakarta, 2020), Hikayat Secangkir Robusta (Lampung, 2018) Requiem Tiada Henti (STAIN Purwokerto, 2018), Kepada Toean Dekker (Lebak Banten, 2018), Cimanuk, Ketika Burung-burung Telah Pergi (Inderamayu, 2017), Sajak-sajak tentang Pindul (Yogyakarta, 2017), Negeri Awan, Dari Negeri Poci (Jakarta, 2017), Kopi 1.550 mdpl (Aceh, 2016), Negeri Laut, Dari Negeri Poci (Jakarta, 2015), Gang Guru (Yogyakarta, 2014), Ziarah Tembuni (KSI Award 2012), Pukau Kampung Semaka (Lampung, 2011), Puisi Menolak Lupa (STAIN Purwokerto, 2010). Tinggal di Slawi, Tegal dan bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di MTS NU Sunan Kalijaga Adiwerna Kab. Tegal.