Oleh: Sulistiyo Suparno
Dalam tataran ideal, pelajar harus memiliki tiga kemampuan dasar yaitu membaca, menulis, dan berbicara. Tiga kemampuan dasar ini penting bagi pelajar yang akan bekerja atau yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, mayoritas pelajar di Indonesia lemah dalam tiga kemampuan dasar ini.
Setiap kali ada survei tentang minat baca dari berbagai negara, Indonesia selalu menempati posisi bawah. Dengan kata lain, minat baca di negara kita sangat lemah. Di sisi lain, tiap tahun lahir jutaan sarjana. Ini ironi bahkan sebuah keajaiban.
Minat baca yang rendah ternyata tidak sebanding dengan jumlah perpustakaan di Indonesia yang konon terbanyak di dunia. Di setiap sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini memiliki perpustakaan, karena pemerintah mewajibkan itu. Namun, yang terjadi adalah perpustakaan hanya menjadi sarang debu dan kecoa. Keberadaan perpustakaan hanya formalitas, buku-buku di dalamnya hanya sekadar pajangan.
- Iklan -
Padahal, membaca adalah langkah awal untuk menguasai ilmu pengetahuan. Tanpa membaca, ilmu yang dimiliki pelajar akan dangkal. Sejarah membuktikan, banyak pemuka agama, tokoh pergerakan bangsa, dan tokoh berpengaruh lain yang membangun peradaban adalah orang-orang yang gemar membaca.
Di Indonesia, banyak kesemerawutan dokumen tulis terjadi karena minat baca yang rendah. Kita ingat, awal tahun 2000-an, pemerintah pusat membatalkan ribuan Perda karena bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Ini terjadi karena para pejabat, anggota dewan, enggan membaca berbagai dokumen yang mungkin bertumpuk-tumpuk setinggi gunung. Bagi yang minat bacanya rendah, membaca dokumen lima lembar saja sudah malas. Sebaliknya, bagi yang minat bacanya tinggi, membaca dokumen lima ribu lembar sangatlah menyenangkan.
Kalau sejak jadi pelajar sudah malas membaca, maka ketika menjadi pejabat, anggota dewan, atau di manapun bekerja, kemalasan membaca itu akan berlanjut. Bila ini yang terjadi sampai sekarang, maka berbagai kesemerawutan yang terkait dengan dokumen tulis akan terus berlangsung.
***
Kemampuan menulis pelajar atau kaum terpelajar kita juga masih lemah. Menulis dalam konteks menuangkan pikiran melalui tulisan, bukan sekadar merangkai huruf demi huruf. Kemampuan menulis bukan bergantung pada bakat, tetapi bisa kita pelajari. Kemampuan menulis bukan hanya untuk menjadi pengarang, tetapi penting untuk berbagai jenis pekerjaan.
Fakta, banyak generasi muda yang kesulitan menulis surat lamaran kerja; tidak bisa membedakan penggunaan huruf besar-kecil, salah menempatkan tanda baca, dan kesalahan elementer lainnya. Surat lamaran yang kacau seperti ini, jelas akan dicampakkan oleh pihak personalia.
Bukan hanya pelajar, bahkan guru dan dosen juga banyak yang lemah dalam kemampuan menulis. Penjiplakan karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi) sering terjadi, jasa pembuatan karya ilmiah masih marak (meski terselubung) adalah bukti betapa lemah kemampuan menulis kaum terpelajar kita. Sebagai kaum terdidik dan memiliki tugas mendidik, guru dan dosen justru perlu dididik dalam hal menulis.
Tahun 2018-2020, ketika saya menjadi Kepala Biro Administrasi Akademik di sebuah PTS di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, saya sering menemukan dokumen-dokumen tulis yang salah. Ada surat lamaran kerja yang kacau susunan kalimatnya, ada soal ujian yang dibuat dosen dengan kalimat yang rancu dan multi tafsir sehingga saya harus mengembalikannya pada dosen tersebut untuk diperbaiki.
Masih pengalaman pribadi. Suatu kali ada seorang Kepala Kantor sebuah instansi pemerintah menemui saya membawa berkas laporan kegiatan yang dibuat bawahannya. Beliau mengaku pusing memahami laporan itu, lalu meminta saya untuk memperbaikinya. Ternyata benar, laporan itu membingungkan karena disusun menggunakan bahasa lisan, bukan bahasa tulis. Setelah saya perbaiki, barulah Kepala Kantor tersebut mengangguk-angguk, paham.
***
Kelemahan kemampuan dasar berikutnya yang melanda pelajar kita adalah berbicara. Berbicara dalam konteks menuangkan pikiran secara oral (suara, bicara). Banyak pelajar kita gagap kalau berbicara di depan khalayak. Kemampuan retorika mereka masih lemah.
Ini wajar, karena mayoritas lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi) di Indonesia tidak mengajarkan kemampuan retorika. Retorika tidak semudah mengobrol. Seperti menulis, retorika bukan bergantung pada bakat, melainkan bisa kita pelajari. Namun, fakta di lapangan, pelajar kita belum mendapat pembelajaran retorika secara maksimal.
Ada guyonan seputar kemampuan retorika pelajar Indonesia. Setiap ada perlombaan tingkat internasional, olimpiade sains, atau lainnya, yang bersifat text book atau hafalan, maka negara-negara lain akan mengatakan: “Indonesia, silakan maju.”
Namun, kalau ada lomba yang mengutamakan kemampuan berbicara, seperti lomba debat, maka negara-negara lain akan mengatakan: “Indonesia, minggir!” Ini sindiran bahwa betapa pelajar Indonesia lemah dalam berbicara di depan publik.
***
Tiga kemampuan dasar itu (membaca, menulis, berbicara) merupakan aktivitas yang berkaitan dengan keaksaraan yang dewasa ini kita kenal dengan istilah literasi. Kita harus mengakui bahwa tradisi literasi pada pelajar kita masih lemah. Untuk menggairahkan semangat literasi pelajar, beberapa pihak telah bahu-membahu melakukan berbagai upaya.
Pemerintah telah menyelenggarakan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), Olimpiade Literasi Siswa Nasional (OLSN), dan program lain terkait literasi. Melalui program-program tersebut pemerintah berharap mampu meningkatkan mutu sumberdaya manusia agar mampu bersaing dalam era globalisasi.
Pemerintah melalui Kantor Bahasa di berbagai provinsi, menerbitkan majalah, buletin, atau menjalin kerjasama dengan koran lokal untuk membuka halaman atau rubrik sastra. Media-media yang dikelola oleh Kantor Bahasa ini menerima tulisan dari masyarakat, sehingga mampu merangsang masyarakat terutama pelajar untuk giat menulis.
Pesantren juga berperan penting dalam meningkatkan tradisi literasi generasi muda kita. Fakta, banyak santri yang jago berbicara di depan publik, minat baca tinggi (terutama membaca kitab-kitab agama), begitu juga kemampuan menulis yang lebih baik dibanding pelajar dari sekolah-sekolah formal. Karena pesantren mengajarkan tiga kemampuan dasar itu (membaca, menulis, berbicara). Salah satu kegiatan yang sempat populer adalah gerakan Santri Menulis. Banyak pesantren yang mengadakan pelatihan jurnalistik dan kepenulisan. Saat ini banyak pengarang (penulis) yang lulusan pesantren, minimal pernah belajar di pesantren.
Begitu pula sekolah-sekolah formal dari jenjang SD/sederajat hingga SMA/sederajat mulai berbenah diri. Selain menambah jam pelajaran hingga sore atau biasa disebut full day school, banyak sekolah yang mengadopsi model pendidikan di pesantren. Mereka mengubah diri menjadi sekolah pesantren atau sekolah yang menyediakan asrama.
Melalui sekolah berasrama, maka pihak sekolah punya tambahan waktu untuk mengajarkan berbagai pelajaran pada siswa/santri, seperti pidato, debat, menulis, public speaking, dan lainnya.
Organisasi masyarakat (ormas), baik yang berbasis agama maupun nasionalis, juga turut menggerakkan literasi. Mereka membuka situs atau laman di internet dan menerima tulisan dari masyarakat, terutama pelajar.
Salah satu ormas yang gencar menyemarakkan literasi adalah NU. Dalam pengamatan saya, organisasi berbasis Islam terbesar di Indonesia ini memiliki banyak situs di internet, baik yang dikelola oleh organisasi, maupun yang dikelola secara pribadi oleh para kader NU. Beberapa PCNU, seperti PCNU Sumenep, PCNU Pati memiliki situs yang menerima tulisan dari masyarakat. Melalui situs-situs yang dikelola oleh NU dan segenap kadernya, masyarakat bisa berlatih menuangkan pikiran melalui tulisan.
Kita berharap upaya dari berbagai pihak ini akan membuahkan hasil yang manis di masa mendatang. Kita berharap kemampuan pelajar dalam membaca, menulis, dan berbicara akan berubah dari lemah menjadi kuat. Semoga.
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974, cerpenis, esais, lulusan S1 Administrasi Negara Universitas 17 Agustus 1945 Semarang. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.