Oleh Sam Edy Yuswanto
Sesuatu yang sifatnya rahasia mestinya harus selalu kita jaga, kita tutupi, tidak kita umbar sesuka hati ke hadapan publik. Seorang teman yang memberi tahu rahasia hidupnya kepada kita, misalnya, seharusnya menjadikan kita berusaha menutup mulut rapat-rapat, tidak membocorkan rahasia hidupnya yang bisa jadi termasuk aib yang dapat mepermalukan dirinya, kepada orang lain.
Namun faktanya, menjaga rahasia ternyata tak semudah mengucapkannya. Tak semudah membalik telapak tangan. Orang bisa saja berkata dengan mudah kepada kita, “Tenang, rahasiamu aman padaku”, “Jangan khawatir, aku akan menjaga rapat-rapat rahasiamu”, namun siapa yang menyangka hanya dalam hitungan hari, orang tersebut ternyata tiba-tiba berubah pikiran ketika bertemu dengan teman-temannya. Rasa ingin membongkar rahasia jauh lebih besar ketimbang berusaha menjaganya. Rasa ingin mengumbar rahasia kita begitu membuncah, meluap-luap tak tertahankan. Akhirnya, janji untuk menjaga rahasia kita pun hanya berakhir janji manis belaka. Rahasia kita pun terbongkar dan kita sangat malu dibuatnya.
Dari sini saya akhirnya menyimpulkan bahwa yang namanya menjaga rahasia itu ternyata bukanlah hal mudah. Bahkan bisa jadi sangat sulit. Teramat sulit. Namun, bila kita benar-benar berusaha menjadi orang yang amanah alias dapat dipercaya, mestinya ‘menjaga rahasia’ tidaklah terlalu sulit untuk dilakukan. Jangan sampai kita menjadi seorang pengkhianat yang sudah diwanti-wanti untuk menjaga rahasia orang lain tapi malah dengan tega menyebarkannya.
- Iklan -
Perihal pentingnya menjaga rahasia orang lain, ada sebuah kejadian yang sangat sulit untuk saya lupakan. Kejadian ini adalah pengalaman pribadi saya. Jadi ceritanya begini, saya mempunyai sebuah rahasia yang tak sembarang saya ungkapkan kepada orang lain. Saya baru benar-benar mau mengungkapkan rahasia itu kepada orang yang telah lama saya kenal baik dan saya yakin bisa dipercaya untuk memegang rahasia dengan erat.
Perlu saya tegaskan di sini, saya mengungkapkan rahasia itu karena ada alasan-alasan tertentu, misalnya ingin tahu pandangan orang tersebut tentang persoalan yang saya hadapi. Bisa jadi, dengan membicarakan rahasia tersebut, dia memberikan semacam pencerahan atau jalan keluar terbaik kepada saya. Alasan lain misalnya, karena saya merasa tak kuta memendam persoalan sendirian, karenanya, saya ingin sedikit melapangkan dada dengan bercerita kepada orang yang tepat semisal sahabat.
Nah, pada suatu hari, kepada seseorang yang benar-benar saya percayai, saya mencurahkan isi hati yang adalah termasuk rahasia dalam hidup saya. Saya percaya kepada orang tersebut bukan hanya sekadar sebagai teman, tetapi dia adalah termasuk orang yang masih ada hubungan darah dengan keluarga saya, dan juga termasuk sosok yang dikenal pandai dalam ilmu agama. Sebutlah dia adalah salah satu pemuka agama yang cukup disegani.
Namun, saya sangat kecewa luar biasa ketika suatu hari dia membongkar rahasia saya kepada saudara saya yang lain. Luar biasa kaget saya. Apa yang pernah saya ceritakan padanya, ternyata dibeberkan kepada orang lain tanpa izin terlebih dahulu kepada saya. Entah apa yang menjadi motifnya, yang jelas saya merasa luar biasa kecewa. Bagaimana mungkin orang yang saya kenal sangat baik, sangat paham dengan agama, bahkan termasuk sosok panutan masyarakat, tapi tidak bisa menjaga rahasia orang lain? Padahal waktu itu saya sudah tegaskan kepadanya agar menjaga rahasia saya. Yang semakin membuat saya kecewa adalah: dia tak meminta maaf kepada saya.
Dari sini saya kembali menyimpulkan bahwa menjaga rahasia itu bukanlah hal yang mudah. Bahkan, orang yang paham ilmu agama sekali pun, ternyata bukan sebuah jaminan dia mampu menjaga rahasia orang lain. Padahal semestinya, orang yang paham ilmu agama bisa menjaga rahasia atau aib orang lain agar jangan sampai bocor ke tengah-tengah publik.
Membuka rahasia atau aib orang lain tentu bukan hal yang pantas dilakukan oleh siapa saja. Bicara tentang aib, Rakimin Al-Jawiy (NU Online, 25/02/2022) menjelaskan bahwa aib terbagi menjadi dua, aib khalqiyah yang bersifat kodrati dan aib khuluqiyah yang berkenaan dengan perilaku. Aib khalqiyah merupakan aib karena terdapat cacat di salah satu organ tubuh atau penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain, sedangkan yang kedua yaitu aib khuluqiyah yang bersifat fi’li (perilaku) merupakan aib dari perbuatan maksiat, baik yang dilakukan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa menutup aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim).
Mestinya, kita selalu berusaha untuk selalu merenungi ucapan Nabi SAW yang sangat bermakna tersebut. Saya merasa sangat yakin, tak ada manusia di dunia ini yang sudi aib atau rahasianya dibongkar ke tengah publik, terlebih oleh orang-orang yang kita percayai seperti teman, sahabat, dan saudara kita. Oleh karenanya, menjaga aib orang lain haruslah menjadi prinsip dalam hidup kita. Meski sulit, tapi kita harus berusaha mengupayakannya. Bukankah setiap orang memiliki aib atau cacat? Dan, sebagaimana janji Allah dalam hadis tersebut, barang siapa menutup aib seseorang, maka Allah pun akan menutupi aibnya, bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat kelak. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
Sam Edy Yuswanto, penulis lepas, mukim di Kebumen.