Oleh: Holikin, S.Pd.I
Ali bin Abi Thalib (ra) meriwayatkan sebuah hadis, bahwa terdapat banyak fadhilah (keistimewaan) yang terangkum dalam sholat Tarawih. Keistimewaan-keistimewaan tersebut berjejer dahsyat dalam tiap-tiap malam bagi siapa saja yang dengan ikhlas menjalankannya. Demikian itu dapat dilihat dalam kitab Dzurratu al-Nasihin karya Imam al-Khubawi. Meski landasannya tergolong dhaif (lemah), namun bukan berarti demikian itu tertolak. Sebab, dalam persoalan fadhailu al-amal (keistimewaan amal), hadis-hadis dhaif masih dapat digunakan selama bukan dalam pembahasan aqidah dan halal-haram suatu perbuatan atau benda tertentu.
Tarawih tergolong sholat nafilah (sunah). Semua mafhum, ia hanya ada dan dapat dilangsungkan di bulan Ramadhan saja. Meski di dalamnya terdapat ragam perbedaan para alim (cendekiawan muslim) menyikapinya. Terlebih dalam persoalan jumlah rakaatnya, waktu pelaksanaannya, dan termasuk juga tata cara pelaksanaannya.
Berdebat perihal Tarawih di zaman ini, pada sebenarnya buang-buang energi. Lantarannya, telah tersaji begitu melimpah di hadapan kita aneka referensi dan rujukan. Semua lengkap. Dan, kita tak perlu sok-sok-an menyikapi perbedaan itu dengan sebelah mata. Apa lagi mengaggap sesat perihal ketidaksamaan itu, sebelum mencari dan menelaah letak kesamaannya.
- Iklan -
Sebab, sahabat Umar (ra) ketika ‘mengubah tradisi ibadah Tarawih di zaman kekhilafahannya, tak ada satupun sahabat yang mendebatnya, apalagi memprotes dan menentangnya dengan menyematkan label-label yang tak sepantasnya. Semua diam dan membenarkannya.
Semua jelas dan dipahami, sebagaimana yang ditulis dalam Matn al-Bukhari Masykul (jilid 1 halaman terakhir). Nabi Saw dulu melaksanakan salat Tarawih di masjid Nabawi sendirian (munfarid) dengan jumlah sebelas rakaat. Ketentuannya, empat rakaat, empat rakaat, lalu tiga rakaat. Akan tetapi, Nabi menjalankannya dengan gerakan dan bacaan yang lama. Demikian itu berlangsung khidmat. Kemudian, Nabi diikuti (salat jamaah) oleh sahabat yang berada di masjid kala itu.
Di malam kedua, Nabi diikuti oleh banyak sahabat. Dan di malam ketiga diikuti oleh para sahabat lebih banyak lagi dari malam pertama dan kedua. Seketika itu Nabi Saw bersabda, “Saya khawatir salat ini (Tarawih) diwajibkan untuk kalian dan kalian menjadi berat melaksanakannya.”
Akhirnya, semenjak saat itu Tarawih dilaksanakan sendiri-sendiri (munfarid) lagi, hingga sampai pada masa kepemimpinan Abu Bakar (ra). Baru pada kepemimpinan Umar (ra), salat Tarawih kembali dihimpun menjadi salat yang dilaksanakan secara berjamaah dengan mengacu pada terberainya salat Tarawih di masjid kala itu menjadi kelompok-kelompok kecil.
Dengan inisiatif (ijtihad) Umar (ra) pula salat Tarawih plus witirnya menjadi dua puluh tiga rakaat. Dengan ketentuan, salat Tarawih 20 rakaat 10 salam, dan salat Witir 3 rakaat. Sahabat Umar (ra) juga memahami bahwa ini adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang bagus dilaksanakan) dengan perkataannya, “Ni’ma al-bid’ati hadzih.” (sebaik-baik bid’ah adalah ini!). Jadi, semenjak saat itu salat Tarawih dilaksanakan berjamaah dan dengan jumlah 20 rakaat, plus Witir 3 rakaat.
Bagaimana jika saat ini masih ada sekelompok umat Islam yang menjalankan Tarawih dengan jumlah kurang dari 20 rakaat? Yang jelas, semua ada dasarnya. Hadis yang disebutkan di atas kiranya cukup menjadi acuan. Kemudian, ditambah dengan hadis yang senada yang diriwayatkan oleh Aisyah (ra) perihal itu. Bahkan, terkhusus untuk di Madinah ada yang berpendapat sunah dijalankan dengan jumlah 36 rakaat. Yang terpenting, kita tak perlu menuding ini menuding itu, kemudian melancarkan serangan yang berujung bentrok dan saling hujat. Naudzubillah.
Perihal salat Tarawih terdapat ragam ikhtilaf yang berlangsung di masa lalu. Para salafuna al-shalihin telah lebih dulu memberikan interpretasi terkait salat yang satu ini. Mana yang lebih utama, ia dilaksanakan sendiri-sendiri atau berjamaah? Memandangnya, mereka berpendapat tidak seragam. Rata-rata lebih memilih berjamaah. Namun, Imam Syafi’i memberikan pernyataan berbeda, “Aku lebih menyukai ia dilaksanakan sendirian.” Imam al-Haramain memberikan pernyataan, “Sebagian dari sahabatku memberikan pemahaman, bahwa maksud dari pernyataan Imam Syafi’i adalah Anna al-infirad bi al-tarawihi afdhalu min iqamatiha jamaatan (sungguh sholat tarawih sendirian lebih utama dibanding berjamaah).”
Terlepas dari argumentasi Imam Syafi’i tersebut, pilihan berjamaah menjadi favorit mayoritas ulama hingga abad ini. Apalagi, selain pahala berjamaah yang melimpah, di sana ada tuntunan pembelajaran bagi anak-anak (pemula).
Perbedaan seputar salat Tarawih berikutnnya adalah perihal waktu pelaksanaannya. Yang jelas, ia mesti dilaksanakan selepas salat Isya’, terlepas ada yang berpendapat ia perlu dilaksanakan di tengah atau di seperdua malam. Mayoritas ulama memberikan waktu minimal dan maksimal. Menurutnya, Tarawih minimal dilaksanakan sehabis salat Isya’ di awal-awal waktu Isya’ hingga (maksimal) terbitnya fajar.
Sementara yang berpendapat ia boleh dilaksanakan setelah salat Maghrib, bahkan konon Imam Syafi’i menjalankannya ba’da Maghrib. Demikian tersebut jelas batil, dan Imam Syafi’i tidak pernah melaksanakan itu. Adapun salat yang dijalankan Imam Syafi’i di waktu qabla Isya’, ia merupakan salat sunah lain dan bukan salat Tarawih. Begitu komentar Ibnu Taimiyah dalam Majmuu al-Fatawa. Wallahu a’lam.