Oleh Hamidulloh Ibda
Kita perlu mengingat kembali sejumlah program yang digagas pemerintah. Ya, sekira tahun 2020 lalu, Kemendikbud meluncurkan Program Kewirausahaan Mahasiswa Vokasi. Pertanyaannya, mengapa hanya mahasiswa vokasi? Harusnya semua mahasiswa, karena mau tidak mau mereka bisa disebut “calon pengangguran terdidik” jika tidak memiliki keterampilan, kehalian, dan keunikan.
- Iklan -
Peluncuran program pada tahun 2020 lalu itu bertujuan untuk melahirkan wirausahawan-wirausahawan muda yang kreatif dan inovatif yang diinisiasi Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi. Program tersebut memiliki idealisme, diberi dukungan dan dorongan Kemendikbud terhadap kegiatan kewirausahaan bagi mahasiswa di Politeknik/Perguruan Tinggi penyelenggara Pendidikan Vokasi. Program ini hakikatnya masih serentetan dengan Merdeka Belajar. Namun sampai episode 24, Merdeka Belajar tampaknya belum fokus menguatkan kewirausahaan bagi pelajar maupun mahasiswa.
Pengangguran Masih Tinggi
Diakui atau tidak, musuh kita hari ini adalah kemiskinan, kebodohan, korupsi, kolusi, nepotisme, pengangguran, dan keterbelakangan. Kita bisa lihat data di Indonesia dari tahun ke tahun soal pengangguran yang masih jauh dari harapan. Dana Moneter Internasional (2023) memprediksi bahwa Filipina menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi pada tahun 2023 ini.
Persentasenya diprediksi sampai 5,4% pada 2023 ini. Negara kita Indonesia menyusul di urutan kedua dengan prediksi tingkat pengangguran yaitu 5,3%. Tingkat pengangguran berikutnya yaitu di Malaysia yang diprediksi yaitu 4,3%. Pengangguran di Vietnam diprediksi mencapai 2,3% pada 2023 ini. Prediksi di Singapura dengan tingkat pengangguran 2,1%. Thailand diprediksi hanya 1%. Persentase itu menjadi yang terendah di antara negara Asia Tenggara yang lain. Apakah hanya prediksi di Asia Tenggara? Tentu kita harus mengacu data internal juga di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (2023) menyebut bahwa angka pengangguran di Indonesia per Agustus 2022 yaitu 8,42 juta orang. Mengacu jumlah itu yang paling banyak berasal dari lulusan sekolah menengah baik atas atau kejuruan SMK. Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2022 itu sesuai data BPS yaitu 135,50 juta orang yang bekerja. Rinciannya sebanyak 59,31% atau 80,24 juta orang bekerja di kegiatan informal. Jebolan SMK masih menduduki tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi per Agustus 2022 yaitu 8,89%. Dalam kondisi tersebut, bisa disebut bahwa penawaran tenaga kerja yang tidak terserap terutama pada lulusan pendidikan tingkat menengah. Sementara mereka yang berpendidikan lebih rendah, cenderung mau menerima pekerjaan apa saja. Hal itu terlihat dari TPT penduduk yang tidak pernah sekolah atau tidak pernah mengenyam bangku sekolah relatif lebih rendah yaitu hanya sebesar 0,77%.
Jika kita rinci, maka komposisi angkatan kerja sesuai tingkat pendidikan tak mengalami perubahan signifikan ketika dibandingkan 2 periode sebelumnya yaitu Agustus 2021 dan Februari 2022. Pada Agustus 2022, komposisi angkatan kerja didominasi oleh kelompok pendidikan tingkat dasar (SD) yang mencapai 54,06%. Selain itu masih terdapat sebesar 1,38% angkatan kerja yang tidak pernah sekolah.
Data-data di atas tentu bukan angka, namun sebuah masalah besar yang harus dicari solusinya. Merdeka Belajar yang digadang-gadang mampu menjawab tantangan lulusan sekolah dan perguruan tinggi harus hadir menjawab hal tersebut, apalagi menjelang akhir kepemimpinan Presiden Jokowi harus bisa menyukseskan program-program bernas yang selama ini telah dimandatkan kepada Mendikbud Nadiem Makarim melalui Merdeka Belajar.
Merdeka Belajar dan Merdeka Berwirausaha
Jika kita kaji secara mendalam, Merdeka Belajar belum menyentuh Merdeka Berwirausaha secara serius dan kontinu. Kita bisa lihat dari Merdeka Belajar 1 yaitu Asesmen Nasional, USBN, RPP, dan PPDB sampai yang Merdeka Belajar episode 24 belum menyentum dan fokus pada Merdeka Berwirausaha. Analisis saya, hanya beberapa episode yang masih sedikit “nyambung”, seperti Merdeka Belajar 6 Transformasi Dana Pemerintah untuk Perguruan Tinggi, Merdeka Belajar 21 Dana Abadi Perguruan Tinggi. Hanya dua episode tersebut, itupun jauh relevansinya dengan penguatan pendidikan kewirausahaan di sekolah dan perguruan tinggi.
Sedangkan yang lain hanya fokus pada biaya operasional, pengelolaan anggaran, dan beasiswa. Sebut saja Merdeka Belajar 9 KIP Kuliah Merdeka, Merdeka Belajar 10 Perluasan Program Beasiswa LPDP, Merdeka Belajar 11 Kampus Merdeka Vokasi, dan Merdeka Belajar 12 Sekolah Aman Berbelanja dengan SIPLah. Hal ini menandakan bahwa Merdeka Berwirausaha belum menjadi pengarusutamaan Merdeka Belajar, padahal tahun 2024 sudah di depan mata yang sudah pasti ganti presiden dan kabinetnya termasuk ganti menteri.
Mengacu kajian di atas, harusnya sebelum berakhir dan anggaran habis, Merdeka Belajar melaunching episode Merdeka Berwirausaha untuk pelajar dan mahasiswa. Skemanya tentu tidak sekadar pemberian modal, namun harus berjalan dari hulu sampai hilir. Pertama, penguatan kurikulum kewirausahaan pada pendidikan dan peserta didiknya. Perlu yang namanya capaian pembelajaran yang mengacu pada kompetensi teacherpreneurship yang sepaket dengan studentpreneurship. Ini harus digalakkan di dalam kurikulum. Meski tujuan belajar bukan berwirausaha, namun kita harus realistis bahwa tantangan pelajar dan mahasiswa 10 tahun ke depan akan berbeda. Sebab, dibutuhkan generasi muda yang cerdas, berkarakter, dan memiliki modal finansial untuk berjuang memajukan Indonesia. Rumusnya jelas bahwa tidak mungkin logika tanpa logistik bisa berjalan lancar.
Kedua, hilirisasi program Merdeka Berwirausaha secara kontinu dari jenjang SD sampai perguruan tinggi. Tahapannya adalah di jenjang SD-SMP lebih pada penguatan pengetahuan dan jiwa kemandiran, sedangkan level SMA sampai perguruan tinggi sudah berbasis praktik, magang, dan integrasi dengan dunia kerja. Sekolah dan kampus harus selaras dan mendukung, bukan berdiri sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan integrasi kurikulum dari jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.
Ketiga, pembelajaran berbasis praktik melalui capaian pembelajaran pada masing-masing program studi atau jurusan. Selama ini stigma berwirausaha hanya pada jurusan ekonomi, vokasi, bisnis, namun jurusan yang humaniora, politik, pendidikan, dianggap tidak ada urusannya dengan berwirausaha. Maka pandangan saya, harusnya dikuatkan capaian pembelajaran di semua jurusan agar terbangun sistem dan habituasi berwirausaha di bangku sekolah dan perkuliahan.
Keempat, dibutuhkan sinergitas antarsemua elemen dengan model Pentahelix, yaitu sinergi antara birokrat-pemerintah, akademisi, tokoh masyarakat dan masyarakat, media massa, dan penguasaha. Selama ini urusan pendidikan hanya dipasrahkan kepada akademisi yang akhirnya dinilai bahwa sekolah dan kampus adalah tempat belajar toeri bertele-tele saja, padahal hakikat kehidupan nyata ya tidak di lembaga pendidikan seratus persen. Akan tetapi, dengan adanya sinergitas tersebut akan terbangun iklim sesuai doktrin Ki Hajar Dewantara bahwa semua orang adalah guru, alam raya dalah sekolahku. Dengan demikian, Merdeka Belajar dan Merdeka Bewirausaha akan terlaksana dengan maksimal. Jika tidak kita mulai dari sekarang, lalu kapan lagi?
-Dosen Pengajar Teacherpreneurship Dasar di INISNU Temanggung, Penulis Buku Teacherpreneurship: Konsep dan Aplikasi