*) 0leh: Tjahjono Widarmanto
/*/
Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi mewujudkan tingkah lakunya. Kebudayaan dapatberfungsi sebagai “mekanisme kontrol” bagi kelakuan dan tindakan-tindakan sosial manusia atau sebagai “pola-pola bagi kelakuan manusia” (Geertz: 1973; Keesing dan Keesing 1971). Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai manusia, dan yang digunakan secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya (lihat Spradley 1972).
Budaya bukanlah suatu fenomena material: dia tidak terdiri atas benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi. Dia adalah sebuah pengorganisasian dari hal-hal tersebut. Dia adalah satu bentuk hal-ikhwal yang dipunyai manusia dalam pikiran (mind), model yang mereka punya untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan seterusnya mempersepsikan, menghubungkan, dan seterusnya menginterpretasikan hal-ikhwal tersebut (Marzali dalam Spradley, 1997).
- Iklan -
Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi serta menjadi sumber bagi sistem penilaian mengenai sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak berharga. Oleh karena itu, kebudayaan selalu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral ini ada pada pandangan hidup dan sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia dan kebudayaannya.
/**/
Sebagai pengetahuan, kebudayaan adalah suatu kesatuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukannya suatu gejala. Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai norma-norma yang berisikan larangan-larangan untuk melakukan sesuatu tindakan dalam menghadapi sesuatu di lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, serte bermuatan serangkaian konsep-konsep serta model-model pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam. Pendek kata, nilai-nilai, norma, dan konsep-konsep serta model-model pengetahuan tersebut dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan lingkungannya yang dihadapi oleh pendukungnya.
Dalam masyarakat, manusia belajar mengenai dan mengembangkan kebudayaannya. Hal-hal yang terutama dipelajari adalah sistem-sistem penggolongan: baik yang berkenaan dengan nilai-nilai moral dan estetika, maupun mengenai golongan-golongan sosial., benda-benda, peristiwa-peristiwa, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada dalam masyarakatnya, ajaran-ajaran agama, cara-cara mengungkapkan perasaan dan emosi, cara-cara bertingkah laku yang sebaik-baiknya, cara mencari makan untuk hidupnya, cara-cara mempertahankan hak, dan bahkan juga cara-cara menipu dan mencuri serta memanipulasi sesuatu, serta berbagai hal lainnya yang diperlukan dalam hidupnya sebagai warga masyarakat. Berbagai hal yang dipelajarinya tersebut tidaklah seluruhnya diterimanya, tetapi diterima secara selektif. Yang diterima dan dikembangkannya untuk menjadi kebudayaannya adalah hal-hal yang dapat digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi pengalaman dan lingkungannya serta untuk mendorong dan menjadi landasan bagi tingkah lakunya.
Masyarakat mempelajari berbagai hal tersebut dari petuah-petuah dan pengalaman-pengalaman yang diperolehnya dari hubungan-hubungan sosial dengan orang tuanya, saudara-saudaranya, kerabat-kerabatnya, teman-teman bermain, tetangga, dan dari para warga masyarakatnya. Mereka juga mempelajarinya (dalam masyarakat yang berkembang) dari sekolah-sekolah, kursus-kursus, penataran-penataran atau pranata-pranata pendidikan lainnya yang diikutinya. Juga dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang dibacanya, dan radio serta televisi yang diikuti siaran-siarannya.
/***/
Kebudayaan tidak hanya sebagai warisan dari zaman ke zaman, tetapi kebudayaan tumbuh dengan bersifat dinamis dan selalu berubah. Bahasa menjadi sarana media dalam pertumbuhan dan perubahan kebudayaan. Bahasa cenderung terlibat dalam semua aspek kebudayaan, keadaan ini mengakibatkan hubungan antara bahasa dengan budaya terjadi sedemikian erat. Hal-hal yang menjadi bukti hubungan antara dua aspek tersebut, misalnya: 1) bahasa dapat dijadikan sarana pengembangan budaya, 2) bahasa menjadi cermin dari wujud kebudayaan masyarakatnya, 3) seseorang belajar budaya melalui bahasa.
Hubungan bahasa dan kebudayaan sangat erat bahkan saling bergantung. Kesadaran dalam menghayati masalah hubungan antara bahasa dengan budaya, terutama pengaruh bahasa terhadap perilaku manusia telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya BL. Humbolt (1767-1838), Edward Sapir (1884-1938) dan muridnya yang bernama Benyamin Lee Whorf (1887-1941). Pernyataan atau hipotesis dua ahli terakhir kemudian terkenal dengan istilah “Hipotesis Sapir-Whorf” atau “Whorfian Hypotesis” . Sebagian ahli lain menyebut dengan istilah “relativitas kebahasaan.” Hipotesis tersebut pada intinya menyebutkan bahwa bahasa berpengaruh terhadap mental, perilaku, dan budaya manusia. Wardhaugh (1992) secara singkat mengatakan bahwa bahasa adalah pembentuk gagasan yang berpengaruh atas pandangan penutur terhadap dunia di sekitarnya. Tafsiran dari hipotesis tersebut ialah bahwa gagasan-gagasan manusia tentang realitas sosial di sekitar pada hakikatnya sangat dekat dengan sistem bahasa yang dimiliki dan diujarkannya. Hipotesis tersebut, minimal dapat membuka pemahaman mengenai masalah hubungan bahasa dengan budaya (masyarakatnya).
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan dimunculkan juga secara konseptual-teroretis, Foley (1997) menggunakan istilah anthropological linguistics atau ‘linguistik antropologi’ yang mengaji bahasa dari perspektif antropologi untuk menemukan danmenentukan makna di balik pengunaannya. Konsep anthropological linguistics ini mendampingi konsep linguistic anthropology yang sudah ditengarai para ahli linguistic dan kebudayaan sebelumnya.
Di samping kedua istilah tersebut, sebelum tahun 1940-an, di Eropa dikenal pula istilah ethnolinguistics. Dengan mengutip pendapat Cardona, Duranti(1997) menjelaskan bahwa istilah ethnolinguistics dalam bahasa Inggris sepadan dengan istilah étnolinguistica dalam bahasa Rusia, ethnolinguistique dalam bahasa Perancis, ethnolinguistik dalam bahasa Jerman, etnolingüísticadalam bahasa Spanyol, dan etnolingiuística dalam bahasa Portugis. Hal ini menunjukkan bahwa istilahetnolinguistik pernah sangat populer di Eropa, yang ketika itu di Amerika dikenal denganistilah antropologi linguistik.
Istilah yang belakangan ini banyak digunakan mengacu pada bidang ilmu interdisipliner antara bahasa dan kebudayaan, yakni: antropologi linguistik (linguistic anthropology) dan linguistik antropologi(anthropological linguistics). Antropologi linguistik pada awalnya mengkaji ujaran dan bahasa dalam konteks antropologi. Pada perkembangan berikutnya meluas sebagai studi mengenai bahasa sebagai sumber budaya dan menelisik tindakan berbahasa khususnya wicara sebagai tindakan budaya.
Di sisi lain, terdapat istilah linguistik antropologi yang memandang dan mengkaji bahasa dari sudut pandang antropologi, budaya, dan bahasa untuk menemukan makna di balik pemakaiannya. Linguistik antropologi ini menjadi disiplin ilmu yang bersifat interpretatif yang secara mendalam mengupas bahasa untuk menemukan pemahaman budaya.
Dari paparan-paparan di atas tampaklah bahwa bahasa tak hanya memiliki keterpautan yang erat dalam kebudayaan, tetapi menjadi unsur terpenting dalam kebudayaan. Bahasa tak hanya menjadi media pembentuk kebudayaan namun sekaligus sebagai alat atau sarana dalam memahami kebudayaan. Kondisi riil bangsa kita yang multikultural menjadikan bahasa menjadi ujung tombak dalam mengembangkan dan memahami kebudayaan.Melihat bahasa sebagai unsur terpenting dalam mengembangkan kebudayaan sekaligus sebagai alat dalam memahami kebudayaan, maka mau tidak mau politik bahasa menjadi penting. Politik bahasa yang dimaksud tentu saja bukan dalam pandangan yang sempit sebagai alat politik namun harus diartikan sebagai rekayasa dan strategi pengembangan dan penguatan bahasa yang pada gilirannya akan mengembangkan dan menuatkan kebudayaan.
*) Penulis adalah sastrawan, esais, dan guru yang tinggal di Ngawi. Buku puisinya “Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak” menjadi salah satu penerima anugerah buku puisi terbaik versi HPI di tahun 2016. Buku puisi terbarunya “Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan” (2019) menjadi salah satu buku puisi terpuji versi HPI tahun 2019