Oleh: Muhammad Muzadi Rizki*)
Pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan yang mahir meregenerasi umat. Pesantren menerpa dengan segudang metodologi demi tercapainya tonggak pribadi yang tangguh, berakhlak serta berkarakter. Secara signifikan, kontribusinya mampu mencetak generasi insanul kamil. Sebuah generasi yang memiliki kecakapan komprehensif antara keilmuan dan sikap kepribadian. Ia tidak hanya pandai secara kognitif, akan tetapi tindak laku, moralnya juga terbalut sifat-sifat luhur.
Meski pesantren telah diafirmasi sebagai institusi yang efektif dalam pembangunan akhlak, hal tersebut tampaknya tidak berbanding lurus dengan daya serap peminatan mondok kalangan generasi saat ini, generasi Z (gen Z). Terdapat gen Z, generasi yang lahir antara 1997-2012, masih bersikukuh enggan masuk dunia kepesantrenan. Menurutnya ada beragam kompleksitas. Salah satunya karena tidak mengakomodir passion segenerasinya.
Kultur di pesantren terdapat aturan ketat terhadap hal-hal berbau teknologi. Bahkan, dalam pesantren tertentu, dalam hal ini pesantren salaf, masih bergulir pengharaman penggunaan teknologi, gawai dan sekaumnya. Aktivitas yang ditekankan lebih memberlakukan fulltime mengaji. Hal demikian tidaklah salah. Setiap pesantren punya kebijakan tersendiri. Terlebih lagi, alasannya berdasar operasionalisasi teknologi sangat rawan menjatuhkan ke lembah kemaksiatan, mengganggu prosesi menuntut ilmu.
- Iklan -
Namun demikian, dalam konteks ini, jika pesantren eksis dengan statuta tersebut. Para gen Z akan menampiknya dengan basis argumen mengikuti alur logika yang sama. Nyantri berarti dapat mengkubur ragam bakat, potensi dalam diri. Sebab dengan difokuskan mengaji, kans pengembangan hardskill dan softskill santri bakal ternegasi dan tereliminasi. Bakat yang selama ini dimiliki jadi beku. Tidak terekspos, terasah, terprogres dengan baik.
Suasana baru itulah yang melandasi beberapa gen Z berat hati untuk nyantri di pesantren. Meski tidak berlaku bagi semua, karena ada pula entitas yang antusias. Akan tetapi, lubang problematika semacam itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Persoalan antara pihak pesantren dengan tradisionalitasnya dan gen Z dengan nuansa modernitasnya perlu adanya penyikapan. Penyelesaian tersebut harus dilakukan secara arif dan berkala, hingga timbul kesadaran kolektif akan kebutuhannya yang saling melengkapi. Gen Z membutuhkan nyantri untuk menggali ilmu & memperbaiki akhlak diri. Pesantren juga memerlukan santri agar tetap eksis dan meneguhkan shalih li kulli zaman wa makan.
Pondok Pesantren dan Gen-Z
Dalam teori Generasi yang dicetuskan Codrington & Grant-Marshall, gen Z adalah sebuah generasi yang tumbuh berkembang di lingkungan era digital dan serba canggih. Makanan sehari-harinya bergumul dengan ruang lingkup teknologi internet. Hingga, generasi ini kerap mendapat sarkasme bernada “generasi yang tidak dapat hidup tanpa gawai, layaknya oksigen dibutuhkan untuk bernafas”. Karena itu, dominasi passion dari gen Z itu sendiri, bersinggungan dengan arus perkembangan teknologi.
Pesantren yang notabenenya menafikan modernisme, karena kekhawatiran terhadap identitas pesantren yang bisa saja akan tergerus nilai-nilai global yang begitu bebas, kini, justru berhadapan dengan realitas tersebut. Adanya kemajuan zaman, juga menjadikan penduduk tiap generasi karakteristiknya berubah. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, upaya modernisasi pesantren menjadi keniscayaan. Langkah pembaharuan dianggap gagasan tepat demi kemaslahatan bersama, dunia pesantren (masa kini) dan gen Z.
Dalam merespon tuntutan modernisasi, pesantren harus berani memberi terobosan-terobosan baru di dalam sistemnya. Tampil dengan “wajah baru”, lebih terbuka, membekali santri pelbagai pengetahuan dan keterampilan hidup (life skill) dunia luar. Mula-mula, yang paling fundamental adalah memugar kurikulum pesantren ke arah integralistik. Suatu kurikulum yang komposisi kegiatannya menyelaraskan perkembangan zaman, memadukan dengan dunia Information and Technology (IT).
Turunan dari pemugaran kurikulum tersebut kemudian menghasilkan beberapa program. Dalam pembuatan program kegiatan, ia tidak boleh berseberangan dengan passion gen Z. Seperti dijelaskan di atas, passion gen Z adalah hal-hal yang berbau IT. Maka dari itu, program kegiatannyapun harus berbau IT. Dengan begitu, membuat gen Z lebih antusias dan menikmati segala hal kegiatan didalamnya.
Ada beberapa program-program yang dapat direalisasikan di dalam pesantren antara lain, santri dibolehkan berkegiatan IT pada saat hari libur atau diluar jam mengaji (ekstrakurikuler IT), diadakannya program literasi digital santri, dan membuat situs web e-pesantren yang didalamnya memuat kajian keislaman.
Darinya, output yang diperoleh santri gen Z memiliki implikasi positif. Pertama, santri mempunyai daya kreatif-transformatif-inovatif tinggi dalam mengembangkan talentanya berkaitan ranah keteknologian. Tugas pesantren, disamping juru fasilitator, ia juga sebagai pengontrol. Hal ini bentuk antisipasi supaya santri tetap berada dalam koridor ajaran Islami, tidak membelot terbawa arus globalisasi.
Kedua, santri memiliki sikap beradab dan bijak bermedia. Tindak lakunya cakap dalam memilah-milah informasi. Gen Z yang memiliki sikap ketergantungan pada media sosial, jangan sampai yang menyertainya justru ketidakmampuan mengelola informasi dengan baik. Inisiasi program semacam workshop intensif terkait teori dan praktik literasi digital merupakan langkah yang tepat.
Ketiga, santri terlatih untuk produksi-distribusi narasi positif di ruang digital. Dengan pesantren memberi ruang berekspresi berbentuk situs kajian keislaman, mereka dapat menuangkan kajian riset keilmuannya secara bebas. Hal ini juga dalam rangka menunjukkan peran santri sebagai penyokong kontra narasi dan merebut wacana ruang publik dari informasi bias. Wacana keilmuan yang tadinya terbatas di pesantren, kemudian dihijrahkan ke bilik virtual.
Untuk menghasilkan efektivitas pembaharuan pesantren, pelaksana/pengurus yang akan membidangi harus dijabat oleh orang-orang yang pernah berkecimpung di dunia digital. Rekam jejak selinier begitu penting guna meminimalisir misleading tatkala mengimplementasi jobdesk nya. Kehadiran orang-orang berkompeten memiliki pengaruh pada kualitas kelancaran program. Tidak hanya itu, juga pada pembenahaan lewat evaluasi-evaluasi secara kontinuitas.
Point terpenting dalam menghadapi perubahan zaman, ia mesti ditopang dengan mempertahankan budaya dan tradisi kepesantrenan. Ini adalah bagian dari meneguhkan sifatnya yang indigenous. Kaidahnya merujuk pada al-muhafadhotu ‘alal qadimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru sesuai alur zaman yang lebih baik. Pada akhirnya, pesantren harus selalu seperti “permen karet”, pancaran harum gelembungnya mampu menarik orang untuk menikmatinya, serta sifatnya yang elastis dan lentur sangat cocok disegala kondisi.
*) penulis lepas, peminat kajian moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.