*)Oleh: Tjahjono Widarmanto
Tak dapat dipungkiri bahwa kesusastraan Indonesia hidup dan berkembang dalam masyarakat yang tidak mempunyai tradisi baca yang baik. Dengan kata lain, masyarakat kita belum merupakan masyarakat yang reading society. Hal ini menyebabkan tumbuh dan perkembangan sastra Indonesia menjadi pincang. Di satu sisi produk atau hasil cipta sastra berkembang pesat, namun di sisi lain kesusastraan Indonesia tidak mempunyai pembaca. Sastra kita minus pembaca yang menjadikannya asing!
- Iklan -
Karena masyarakat kita belum menjadi masyarakat baca, maka tingkat apresiasi masyarakatnya terhadap sastra rendah. Sastra Indonesia hanya dinikmati oleh segelitir orang saja. Mereka yang menikmati sastra hanyalah pelajar (sebagian pelajar!), mahasiswa sastra, guru bahasa, dosen sastra, kritikus sastra, dan seniman. Hal ini menjadikan sastra menjadi marginal dan dianggap bukan sesuatu yang penting.
Kondisi yang menyedihkan tersebut tentu saja bukan kondisi yang sehat bagi pertumbuhan sastra Indonesia. Lambat laun karena tidak ada pembaca, boleh jadi sastra Indonesia tak akan muncul. Sastra seperti juga bahasa, merupakan sebuah embrio yang lahir, tumbuh, berkembang, dan mempunyai kemungkinan mencapai puncak atau hilang eksistensinya. Contoh yang gamblang ada pada bahasa dan sastra daerah. Banyak bahasa dan sastra daerah yang akhirnya hilang karena kehilangan pemakai dan penuturnya.
Lalu bagaimanakah mengatasi kondisi keterasingan tersebut? Darimanakah kita memulai untuk membangun masyarakat yang reading society?
Untuk membangun masyarakat reading society yang kelak akan menjadi pembaca sastra yang baik, mau tak mau kita harus memulainya dari ranah pendidikan utamanya sekolah. Mengapa harus dimulai dari sekolah? Ada banyak pertimbangan mengapa membangun masyarakat baca itu harus dimulai dari bangku sekolah.
Pertama, sekolah merupakan pintu gerbang pertama seorang siswa dapat ‘dipaksa’ untuk membaca sastra. Di sekolah jejang rendah /SD perlu dikenalkan genre sastra anak sebagai pijakan untuk pembelajaran sastra di sekolah jenjang berikutnya. Selanjutnya, pada saatnya siswa duduk dijenjang sekolah menengah dimungkinkan siswa ‘dipaksa’ untuk menikmati sastra sebanyak mungkin.
Istilah ‘dipaksa’ yang mengandung konotasi negatif ini memang harus digunakan, karena tanpa ‘dipaksa’ tak mungkin seorang siswa mau membaca banyak buku. Nilai dan tugas merupakan alat yang efektif bagi guru untuk ‘memaksa’ siswanya banyak membaca sastra. Namun perlu diingat saat guru ‘memaksa’ siswanya untuk membaca, guru juga harus ‘memaksa’ dirinya untuk membaca sastra. Setiap hasil bacaan siswa, apakah itu berupa resume, sinopsis, tanggapan, dan sebagainya harus direspons balik dengan positif.
Kedua, di sekolah jenjang menengah ini pula ketajaman intelektualitas siswa sebagai calon manusia dewasa yang akan bermasyarakat makin terbentuk. Berbagai ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya akan memudahkannya menalar unsur-unsur sastra, baik unsur intrinsik dan ekstrinsik, sehingga lebih mudah bagi mereka memhami teks-teks sastra.
Ketiga, siswa-siswa yang duduk di sekolah menengah ini diasumsikan pula telah memiliki kecakapan berbahasa yang cukup baik. Kecakapan berbahasa yang cukup baik ini akan memudahkan siswa memahami dan mencerna berbagai karya sastra dengan dibantu oleh guru.
Keempat, secara psikologis siswa-siswa sekolah menengah yang kira-kira berada dalam rentang usia 16-19 tahun, merupakan usia yang telah cukup matang untuk memahami berbagai norma dan nilai kemasyarakatan. Pada usia itu pula secara psikologis, siswa-siswa sekolah menengah memiliki tingkat emultif yang cukup tinggi untuk memberikan simpati atau empati.
Berbagai pertimbangan di atas menunjukkan betapa efektifnya untuk membentuk pembaca sastra, membangun penikmat sastra, dapat dimulai dari ranah pendidikan. Tentu saja peran guru menjadi faktor yang tak bisa ditinggalkan. Guru pengajar sastra harus memiliki tingkat keterbacaan sastra yang tinggi dan luas. Tak hanya sebatas pembaca sastra, guru sastra yang ideal adalah juga memiliki pengalaman menulis sastra. Dengan berbekal pengalamannya menulis maka siswa tak hanya terdorong untuk membaca sastra namun juga dapat distimulus sebagai penulis-penulis kreatif yang layak.
*) Tjahjono Widarmanto adalah sastrawan dan guru di SMAN 2 Ngawi