Oleh Sam Edy Yuswanto
Mungkin sebagian dari kita pernah merasa kesal dengan kelakuan seseorang yang hanya datang kepada kita ketika sedang butuh saja. Misalnya nih, orang tersebut adalah salah satu teman kita di media sosial. Selayaknya teman di media sosial, mestinya saling terhubung satu sama lain. Hubungan yang saya maksud di sini, misalnya, saling memberi like dan komentar pada postingan masing-masing. Atau, mengobrol tentang banyak hal melalui pesan inbox Facebook atau DM Instagram.
Namun, teman kita yang satu ini rupanya spesial dan berbeda dengan teman-teman pada umumnya. Dia tak pernah memberi like dan berkomentar pada postingan atau status-status di media sosial kita. Lalu… pada suatu hari, teman kita itu tiba-tiba mengirim pesan inbox, sok mengajak ngobrol gitu, tanya kegiatan kita, sok baik dan perhatian lah intinya. Dan, di akhir obrolan, ternyata dia menginginkan sesuatu dari kita, yakni ingin meminjam uang.
Seketika, kita pun merasa kesal dibuatnya. Ternyata dia menghubungi kita dan bersikap manis karena ada maunya, karena ingin meminjam sejumlah uang pada kita. “Dasar, kamu datang hanya ketika ada maunya saja, giliran sedang senang, kamu tak ada kabar dan menghilang begitu saja”. Mungkin kalimat semacam ini yang akan kita ucapkan dalam hati.
- Iklan -
Baiklah. Sekarang, mari kita berusaha memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Setiap orang, saya rasa memang akan merasa kesal dan geram ketika diperlakukan oleh seorang teman yang hanya datang ketika sedang membutuhkan bantuan saja. Namun, pernahkah kita merenungi bahwa kita pun sesungguhnya juga memiliki watak atau sifat yang nyaris sama: hanya datang saat butuh saja.
Percaya atau tidak percaya, disadari atau tidak disadari, kita sering mengeluh pada Tuhan, memohon-mohon pada-Nya saat kita sedang terbentur sebuah persoalan rumit dalam hidup ini. Kita baru benar-benar menyadari keberadaan dan kemahabesaran Tuhan justru ketika sedang membutuhkan sesuatu, berharap agar kita segera ditolong oleh-Nya.
Misalnya nih, ketika rezeki kita sedang seret, sementara kita butuh banyak uang untuk keperluan mendadak istri, anak, dan beragam kebutuhan lainnya. Sementara uang gajian kita yang biasanya cukup untuk menafkahi anak istri, kali ini dirasa sangat tidak mencukupi. Lalu, kita baru tersadar dan ingat Allah. Kita pun mendekatkan diri pada-Nya, berusaha shalat dengan khusyuk, berdoa dengan khidmat, bahkan mungkin sampai berlinangan air mata memohon kepada Allah agar dikarunia rezeki berlimpah.
Sementara tanpa kita sadari, pada hari-hari sebelum kita diuji dengan seretnya rezeki, kita menjalani hidup santai-santai saja, senang-senang saja, tanpa peduli dengan Tuhan; enggan berdoa, enggan membaca Al-Qur’an, enggan bersedekah, bahkan mungkin ada sebagian orang muslim yang nekat meninggalkan shalat lima waktu saking sibuknya mencari rezeki.
Namun, giliran tertimpa ujian yang berat, kita baru sadar dan berusaha mendekati-Nya, memohon-mohon dengan khusyuk agar rezeki kita dimudahkan dan dilancarkan oleh-Nya. Bukankah perilaku semacam ini sama persis dengan perilaku salah seorang teman yang saya bicarakan di awal, yakni: hanya datang saat sedang butuh saja, sementara ketika sedang senang, dia lupa kepada kita dan enggan menyapa?
Idealnya, sebagai hamba Tuhan yang lemah, kita memang harus selalu mengingat-Nya pada setiap waktu, dalam kondisi dan situasi apa pun. Ketika sedang senang, ketika sedang susah, ketika sedih, ketika bahagia, mestinya kita tetap ingat dengan Tuhan dan berusaha menjalankan hal-hal yang disukai oleh-Nya.
Ada sebuah kata-kata menarik yang saya temukan dalam laman radiomuslim.com yang bisa kita jadikan renungan bersama: “Hendaknya jangan jadikan mengingat Allah, pilihan terakhir ketika gembira, namun tiba-tiba menjadi pilihan utama ketika bersedih dan susah. Ingatlah Allah waktu senang dan lapang, maka Allah akan mengingatmu di waktu susah. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kenalilah (ingatlah) Allah di waktu senang pasti Allah akan mengenalimu di waktu sempit” (HR. Tirmidzi).
Mudah-mudahan kita semua tergolong orang yang selalu mengingat Tuhan dalam kondisi dan situasi apa pun. Terutama saat kita sedang merasa senang dan gembira. Harapannya, dengan mengingat Allah ketika kita sedang gembira, Allah akan memberikan pertolongan ketika kita sedang dalam posisi sulit.
Menurut pemahaman saya, maksud dari “mengingat Allah” di sini tentu bukan hanya sekadar mengingat dalam hati dan pikiran saja. Tetapi juga berusaha menjalankan segala amal ibadah, baik yang wajib maupun yang sunah. Misalnya, berusaha tidak melalaikan shalat lima waktu (syukur-syukur dapat berjamaah di setiap waktu), memperbanyak sedekah, membantu sesama, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, Penulis lepas, mukim di Kebumen.