Oleh Hamidulloh Ibda
Iklim penelitian dan publikasi ilmiah di Indonesia tidak mungkin bakalan maju ketika akademisi dan penelitinya hanya nebeng nama dan iuran biaya publikasi, tanpa ada kerja-kerja kolaborasi; diskusi, mengkaji, meriset, menulis, meninjau, dan merevisi bersama. Demikian kritik dan curhatan seorang Kepala Pusat Riset di BRIN sembari mengirimkan via WA ke saya berupa file pdf artikel yang baru saja terbit di jurnal internasional bereputasi di awal Februari kemarin.
- Iklan -
Dalam hati saya berpikir, la biasane wae ora mung nebeng jengen, tapi tuku jengen. Saya tidak merespon dengan menyalahkan beberapa nama pada artikel yang dikirim tersebut. Tapi ini problem mental. Bukan sekadar pula masalah kemampuan untuk meneliti dan melakukan publikasi bagus pada jurnal bereputasi internasional. Namun ini masalah kemauan dan keseriusan terhadap tanggungjawab keilmuan.
Nebeng Nama Kok Jadi Tradisi
Nebeng itu biasanya tidak mengeluarkan uang. Misal kita nebeng di kenderaan teman, nebeng tidur di rumah atau kontrakan, atau sekadar nebeng ngecharge ponsel. Gratis. Namun dalam karya ilmiah ini, nebeng yang saya maksud mengalami pergeseran makna dan realitas, karena tidak gratis, tapi seakan membayar, berani membayar berapa saja. Entah gratis atau membayar, nebeng nama intinya sangat gampang. Tak perlu berpendidikan tinggi, ikut pelatihan, workshop, seminar, lokakarya, semua orang bisa jika sekadar nebeng nama pada sebuah karya ilmiah. Artinya gampang dan ora kangelan lah. Untuk nebeng nama tentu harus punya kenalan orang yang boleh kita tebengi karyanya dalam sebuah publikasi, apakah berupa artikel ilmiah, buku, atau dokumen akademik yang lazim penulisnya lebih dari satu.
Dalam dunia artikel di jurnal, pembagian author pun banyak. Ada corresponding author (CA) merupakan penulis utama yang memiliki tanggungjawab atas isi tulisan, dan berkorespondensi dengan editor dari proses submit, review, proofreading sampai terbit. Biasanya, posisi CA ini berada pada nomor satu. Sedangkan co-author (COA) merupakan penulis tambahan yang berada pada posisi dua, tiga, empat dan seterusnya.
Masing-masing posisi baik CA dan COA memiliki tupoksi, baik dalam penulisan, translate (jika jurnal internasional), review, editing, revisi, sampai proofreading dan iuran ketika dibutuhkan. Namun realitasnya, kebanyakan COA “pasrah bongkokan” tidak mau repot nulis bareng, cari dan olah data bareng. Wegah. Kebanyakan dari lima penulis, misalnya, pasti yang paling mumet adalah CA. Budaya COA juga mengamini ujaran “wis pokoke nanti kalau sudah accepted, aku kebagian bayar berapa wis siap bayar”. Begitu.
Iklim dan pentradisian nebeng nama seperti ini tentu tidak sehat bagi dunia pendidikan dan keilmuan kita. Jika bersama-sama, itu wujud kolaborasi. Boleh dan halal lah. Namun jika hanya sekadar nebeng tanpa mau pusing-pusing dan mengandalkan berani bayar, ini hemat saya sudah pengkerdilan intelektual. CA yang mau dibayar dan bahkan menjadi penulis setan itu saya sebut sebagai intelektual tukang, dan saya pernah menyebutnya sebagai “broker literasi” dalam buku Dosen Penggerak Literasi: Praktik Baik Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM).
Dari pengalaman saya, maka terbagi tiga varian tradisi nebeng nama. Pertama, meriset, menulis, diskusi, menerjemahkan, merevisi, melakukan proofread dan iuran bersama-sama. Inilah yang sah, dan varian ini yang benar disebut sebagai kolaborasi.
Kedua, pembagian kinerja namun tidak adil. Ada penulis bertugas sebagai penanggungjawab tulisan mulai dari awal sampai akhir. Ada penulis bertugas translate saja. Ada yang bertugas sekadar membayar. Varian kedua ini hemat saya subhat. Belum jelas halal dan haramnya. Namun bergantung wujud riil masing-masing penulis berperan. Maka dulu saat kuliah S3, ada dosen berpesan “la dia perannya apa kok sebagai penulis? Penulis itu di urutan berapapun adalah penulis. Bukan hanya nebeng tanpa peran”.
Ketiga, penulis yang hanya nebeng nama tanpa peran akademik dan kerja intelektual. Dia berani membayar berapapun asalkan bisa publikasi di jurnal internasional sebagai syarat kenaikan jabatan akademik, pemenuhan publikasi seorang peneliti, atau keperluan lain. Tipe nebeng nama ketiga inilah yang harus dihindari karena sangat membodohkan, tidak sehat, dan membiarkan pemalas memiliki karya yang tidak ada peran secuil pun atas ide dan pemikirannya.
Tanggungjawab Keilmuan
Bukan soal dimuat dan tidak dimuat, tidak juga soal pemenuhan syarat kenaikan pangkat dan akreditasi, tagihan luaran riset, dan sekadar gagah-gagahan punya publikasi internasional, semua itu hal remeh-temeh bagi saya, namun menulis itu soal tanggungjawab keilmuan seorang dosen, peneliti dan kaum intelektual.
Lebih dari itu, menulis hakikatnya alat ibadah. Ya, ketika tulisan kita baik, jujur, ditulis sendiri, bukan plagiat, maka ketika memberikan manfaat bagi kehidupan luas akan menjadi ladang pahala. Belum lagi riset kita jadi bahan riset orang lain, menjadi gap, menjadi kajian teori, kajian literatur, disitasi, semua itu adalah manfaat akan mengalir terus kebaikannya. Nama penulis akan dicatat dalam sejarah ketika jejak digital pada databased dan pengindeks seperti Scopus, WoS, Sinta, Google Scholar, ResearchGate, Academiaedu, dan lainnya menjadi bukti tempat nongkrong dan disitasinya artikel kita.
Jika artikel yang dipublikasikan di jurnal, prosiding seminar, berupa buku, yang jelas berimplikasi kepada produksi keilmuan, perkembangan teknologi, seni, budaya, namun ketika artikel kita bukan karya sendiri, hanya sekadar nebeng nama, opo ora isen? Di mana tanggungjawab keilmuanmu? Apakah memang kamu tak berilmu?
-Penulis adalah dosen, Wakil Rektor I Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah.