Cerpen Arinda Sari
Kinanti.
Itu kau. Pemilik bola mata jeli yang indah, magis, menggetarkan, serta menggeleparkan. Tatapanmu merupakan gravitasi terbesar dari seorang Sekar Kinanti—Bunga yang dinanti. Ah, mungkin serupa bola mata Cleopatra atau Nyi Roro Kidul. Orang-orang bilang, wajahmu yang menawan seindah rembulan. Banyak hati tertawan tapi kau enggan terkesan. Omong kosong, katamu jengah. Mereka hanya tukang memuja, jika ada maunya. Orang-orang hanya melihat rupa, tak pernah benar-benar menilai dari kedalaman jiwa.
Jiwamu yang ternyata kosong.
- Iklan -
Kau sering merasa kesal. Bagimu, hari-hari begitu menyebalkan akhir-akhir ini. Seluruh manusia di muka bumi seakan tengah berkonspirasi untuk mengubah mood-mu menjadi berantakan. Bahkan cuaca cerah kau jadikan tumpuan kekesalan juga. Kau tak bilang jika hidup sangat membosankan. Kau memahami, hidup akan kembali berwarna sebab adanya tantangan.
Oh, challenge is sweet.
Bukankah tantangan, yang membuat hidup menggairahkan?
Sebuah rencana gila bermain-main di benakmu.
*
Kini kau bersandar di balik pintu kamar mandi reot yang sebagian kayunya digerogoti sekawanan rayap. Dengan gerak cekatan, kau menyalakan lighter, lalu menyulut sebatang rokok beraroma mild. Asap menguar ke segenap penjuru kamar mandi sempit itu. Sengaja jaketmu tetap kau pakai agar aroma seragam putih abumu tak terendus oleh Pak Mul, guru PKN yang killer itu. Kau sengaja berangkat pagi rupanya, agar bisa melakukan ‘ritual’ itu tanpa gangguan. Sementara ini, di situlah spot yang paling aman. Toh, siapa yang pagi-pagi begini sudah kebelet buang hajat?, pikirmu cetek. Sekali, dua kali tertangkap basah, tak lantas membuatmu jera. Kau lebih suka menantang diri dengan sesuatu yang memacu adrenalin. Kau tersenyum sinis dan bertanya pada diri sendiri; aku ini laki-laki atau perempuan, sih?
Haha sudah jelas, tho? Hanya orangtua sembrono yang melekatkan nama ‘Sekar Kinanti’ pada makhluk berjenis kelamin laki-laki.
Kau tertawa, menimpali riuhnya percakapan tak penting dalam kepalamu; jangan-jangan aku adalah laki-laki yang terjebak di tubuh perempuan? Atau jangan-jangan Tuhan salah menempatkan tabiat di tubuh yang tepat. Jiwa yang tertukar.
Puhhhh!
Batang rokokmu tinggal separuh, ketika telingamu menangkap suara-suara langkah kaki berseliweran. Oh, jangan tanya siapa mereka. Anak-anak sok rajin yang tak mau ketinggalan upacara bendera, yang bahkan sempat-sempatnya menyalin PR kawannya sebab semalam begadang nonton bola. Atau segelintir perempuan berwajah ala covergirl yang berkasak-kusuk tentang kosmetik, cowok kece kelas sebelah, atau drama korea yang mereka tonton semalam. Di sela-sela canda cekikikan mereka, ada suara tegas Pak Mul yang sepagi ini sudah melakukan razia.
“Sial!” umpatmu tertahan. Meski keberanian telah karib denganmu sejak dulu, tapi toh dia tak selamanya muncul di saat genting seperti ini.
Kau jatuhkan sisa batang rokok. Kau injak keras dengan ujung sepatumu. Kau pungut puntung itu, lalu kau lemparkan ke dalam lubang toilet. Kaubiarkan kran tetap menyala hingga luber. Kesal, kau guyur toilet hingga air muncrat kemana-mana. Dari lubang kunci, kau melihat pak Mul—pemilik wajah garang yang seolah lupa cara tersenyum itu—mondar-mandir mendisiplinkan para murid yang masuk dari pintu belakang. Memastikan baju dan rambut mereka rapi, pakai atribut lengkap, plus sepatu hitam serupa arang. Huh! Betapa peraturan itu lebay! Apa korelasi antara kerapian dan kebaikan hati? Para tikus-tikus kantor itu buktinya. Rapi, licin, trendy. Tak tahunya merampok uang negara, batinmu geram.
Seseorang mengetuk pintu. Menggedor, tepatnya. Kau buru-buru melepas jaket, menjubelkannya secara serampangan di antara buku-buku pelajaran. Kau semprotkan minyak wangi ke seragam hingga aromanya menguar, menusuk hidung. Kau semprotkan juga parfum ke segala penjuru agar aroma asap lindap dalam sekejap.
“Sebentar! Tanggung nih!” pekikmu untuk mengelabui bahwa orang di dalam kamar mandi memang benar-benar sedang mengosongkan kemih. Padahal kau tahu siapa yang menggedor pintu. Kau mengenal moncong sepatu fantovel hitam mengilap dari bawah pintu yang memantul di genangan air itu. Ah, siapa lagi kalau bukan Si Wajah Voldemort!
Dia takkan beranjak sebelum kau membukakan pintu. Lihat saja!
Klek!
Kau buka handel pintu itu dengan gerakan setenang mungkin. Kau tersenyum, tepatnya agak menyeringai. Lelaki paruh baya yang mengenakan seragam warna khaki itu mengerutkan kening. Sepasang mata hitam keabuan itu kentara sekali mengintimidasi. Menatapmu dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu sepasang mata tajam itu berhenti pada rok panjangmu yang basah. Hidungnya mendengus. Kepalanya menggeleng-geleng. Mengingatkanmu pada goyang kepala ala India, nehi! nehi!
“Ceroboh! Harusnya kau gulung rokmu. Tak sah sembayangmu kalau terciprat najis!” jarinya menuding di ujung bawah rokmu.
“Ini air, Pak!” ucapmu bernada tinggi. Masih berani-beraninya menjawab. Keterlaluan, memang.
“Air kencing, kan!” tandasnya. “Jangan diulangi. Atau angka kreditmu bertambah!”
Kau mengangguk terpaksa. Otakmu menghitung cepat. Enam pelanggaran remeh temeh atau satu pelanggaran berat lagi, untuk ‘mengundang’ orangtuamu datang ke sekolah dengan tidak terhormat. Ya, hanya untuk mendapat berita memalukan: anaknya yang akan di-skorsing.
Suara bel panjang membuat hatimu bersorak. Yes! Upacara segera dimulai. Itu artinya kau bisa segera hengkang dari tatapan mengintimidasi guru sekaligus musuh bebuyutanmu itu.
“Ke lapangan sekarang!” tegasnya. Dia berlalu dengan langkah-langkah lebar. Ingin sekali kau meleletkan lidah dengan ekspresi so-what-gitu-loh di belakang punggungnya, tapi urung.
Hari ini kau lolos. Tapi besok lagi, keselamatanmu berada di ujung tanduk, kawan!
“Kita lihat saja. Pembalasan harus lebih kejam,” desismu sembari menyeringai sinis.
*
Tiga hari kemudian.
Kau berulah lagi setelah sepagian itu menggumamkan sumpah serapah. Kau tak habis pikir, mengapa ada mapel keterampilan yang mewajibkan murid-murid membuat kruistik? Mengisi kain strimin dengan tusuk silang menggunakan benang wol aneka warna. Bagimu itu tak penting dan membosankan. Bukankah ini pekerjaan emak-emak yang sedang gabut, atau nenek-nenek yang punya banyak waktu luang? Batinmu malas.
Kau hempaskan kruistik yang belum rampung itu dengan sembrono di atas meja kayu yang penuh coretan. Jarumnya terpelanting entah kemana. Apa yang bisa kau lakukan sembari menunggu guru datang?
Aha! Menyanyi diiringi musik ‘tradisional’ saja.
“Tul jaenak jaejatul jaedi… “
Lalu beberapa kawanmu mengikuti.
Tatapan tajam ketua kelas yang mengisyaratkan tanganmu berhenti ‘menabuh’ meja agar tak mengganggu kelas sebelah, tak kaupedulikan. Pikirmu, si cemen itu akan mendadak bengek jika berani menegurmu. Tak kaupikir juga suaramu yang nyaring melolong-lolong, susul-menyusul bersama kawan sebangkumu, lalu se-gengmu yang beranggotakan empat personil itu. Satu kelas bungkam. Enggan mengambil resiko kecuali mereka siap kau sembur dengan rentetan kata-kata pedas.
Oh, power is really sweet.
Gerakan tanganmu membabi buta seiring dengan naiknya oktaf menuju reffrain, dan…
Braaakk!!!
Pergelangan tanganmu bagian bawah menghantam meja begitu kerasnya, hingga entah bagaimana caranya ujung besi lancip itu menerobos pembuluh darahmu. Kau mengaduh. Setelah rasa sakit dan nyeri luar biasa itu naik level, kau memekik panik. Air matamu sampai merembes tanda rasa menyiksa itu tak dapat ditoleransi lagi oleh syaraf-syaraf tubuhmu.
Kelas menjadi gaduh. Berdengung serupa lebah. Sebagian merubungmu dan menanyakan pertanyaan memuakkan berulang ,’Kinanti, kau tak apa-apa?’ ‘mana yang sakit?’
Kau semakin meracau sekaligus ingin menyumpal kedua lubang telingamu agar suara-suara berisik itu lenyap.
Entah siapa yang melapor. Ekor matamu menangkap siluet tubuh guru killer itu, tergesa menghampirimu. Wajahnya tegang menahan pergelangan tanganmu erat.
“Jarum… masuk…sini!” kau terengah dengan wajah pias. Kau menderam marah hingga keringatmu bertimbulan. “Jarum sialaan!” kesadaranmu timbul tenggelam oleh perih yang menusuk-nusuk. Makian dan umpatan kasar bertubi. Menyebut nama ‘musuh bebuyutan’mu. Ironisnya dialah orang pertama yang tengah berjuang menyelamatkan nyawamu.
Lelaki berseragam PSH itu tak peduli. Fokusnya hanyalah agar kau segera tertangani. Rumah sakit terdekat adalah tujuan utama untuk kasus darurat yang super konyol itu.
Kejadian hari itu begitu cepat. Rasanya seperti mimpi. Kau tergeletak lemah di ranjang putih rumah sakit. Terasa ngilu di sekujur tubuh. Pergelangan tanganmu dibalut perban. Aroma obat yang menyengat membuatmu pusing dan mual. Ibu dan bapakmu mengulum senyum prihatin sekaligus lega melihatmu siuman. Mereka membisu dengan raut kepedihan yang tak bisa disembunyikan. Tangan kasar ibu menyentuh putri semata wayang, penuh kasih. Itu kau. Anak gadis cantik yang tomboy dan usil. Anak gadis yang dulu dinanti-nantikan kehadirannya dalam bilangan waktu yang panjang: delapan tahun.
“Berterimakasihlah pada gurumu. Kalau beliau tak menolong, entah apa jadinya,” gumam ibu menasihati. Teramat hati-hati agar egomu sedikit menurun. Dibelainya rambut kusutmu yang belum tersentuh sisir sejak kejadian kemarin.
“Mungkin lebih baik aku mati,” jawabmu sedingin balok es. Menatap lurus tanpa ekspresi.
Bapak membuang napas. Kentara gusarnya. “Ya, kau bisa saja mati karena ujung jarum itu menembus nadi. Saking kerasnya kau menggebrak meja, sampai-sampai jarum itu patah,” sindirnya ketus sembari menahan emosi yang bergejolak dalam dada.
Kau tertegun. Membayangkan patahan jarum itu ‘berjalan-jalan’ bebas mengitari pembuluh darah, membuatmu bergidik. Jangan-jangan jarum itu menyebabkan tetanus juga. Sebenarnya, gebrakan itu tak lain hanya ungkapan kekesalan. Dan sedikit dendam berlarut yang tak tahu dilampiaskan dengan cara bagaimana. Apa ini kualat? Kau tak sepakat.
Kau hanya sedang apes.
Ya, sesederhana itu.
Wajah pak Mul berkelebat memenuhi rongga kepalamu. Adegan demi adegan terpampang serupa film dokumenter yang diputar berulang. Saat kau tertangkap basah merokok dan dijatuhi hukuman push up 30 kali. Kala kau melompati tembok sekolah untuk membolos. Kala kau terlibat dalam tawuran. Saat dia memberi nilai mati mapel PKN yang nyaris membuatmu tinggal kelas. Dan mengunci mati dengan menyusutkan angka kredit agar kau secepatnya hengkang dari sekolah. Jelas dia tak ingin senewen dan berujung stroke karena mengurusimu, bukan?
“Jangan berburuk sangka, Kinanti!” ucap bapak seakan-akan dapat menerawang isi benakmu dengan terang-benderang. “Pelihara adab terhadap guru. Kau sudah keter…”
“Dia termasuk guru paling menyebalkan di muka bumi itu!” potongmu sarkastik. Bapakmu terkejut hingga tangannya terayun, tetapi mendadak terhenti karena ketukan halus di pintu.
Suara bariton yang khas itu mengucap salam. Dia masuk sembari menenteng parcel buah, lalu menjabat tangan bapakmu. Erat dan bersahabat. “Bagaimana kondisi Kinanti, Pak?”
“Alhamdulillah, baik. Masih pemeriksaan lanjutan,” jawab bapak sepenuh hormat. Bapak ibumu memang bukan tipikal orangtua zaman now yang gegabah jika terjadi sesuatu pada anaknya. Mereka menjunjung tinggi sosok guru yang harus digugu lan ditiru. Keberkahan ilmu adalah manakala sang guru ridha terhadap muridnya.
Kau menatap lurus, kaku, dan dingin seumpama patung Ganesha. Alah, paling juga pencitraan, cibirmu dalam hati. Senyummu seakan tergembok. Satu-satunya kunci untuk membuka gembok itu adalah permintaan maaf. Tapi, mana mau lelaki tua berseragam batik itu mengucap maaf semudah orang membuang ludah? Jabatannya wakasek kesiswaan pula.
Nyatanya, dugaanmu dipatahkannya mentah-mentah.
“Bapak minta maaf, Nak, jika terlalu keras padamu dan murid-murid lain. Bagi bapak, etika dan kedisplinan menduduki nomor satu, sebelum ilmu yang kalian pelajari di sekolah,” ucapnya sungguh-sungguh. Tak ada sakit hati di sorot mata berhias keriput itu. Yang ada adalah pancaran ketulusan sebagai pemegang amanah menjadi orangtua kedua di sekolah. Yang terlihat di matamu kini adalah keteguhan hati dan komitmen tinggi terhadap nasib pendidikan. Ki Hajar Dewantara seakan berdiri di sisimu, menatapmu lembut nan penuh wibawa.
Kau terkesiap. Serta merta menundukkan wajah dalam-dalam. Rasa bersalahmu kian pekat. Di depan sosok kharismatik itu, kau merasa teramat kerdil. Kau kemanakan gaya petentang-petenteng yang memuakkan itu? Sudah sekian lama, kau ganti hatimu dengan batu.
“Lekas sembuh, Kinanti. Bapak doakan selalu.”
Pak Mul tak bisa berlama-lama menjengukmu karena harus mengajar. Dia pamit pada orangtuamu, menepuk pundakmu pelan, lalu berlalu dengan langkah-langkah lebar. Kau sempat menatap punggungnya menjauh, lalu hilang ditelan pintu kamar.
“Apa yang dikatakan bapak, benar,” sesalmu lirih. Air mata penyesalanmu menitik di atas selimut. Kejadian demi kejadian tak mengenakkan yang Tuhan hadirkan menyentak kesadaranmu. Don’t judge the book by its cover. Kau jadi paham kini, bahwa di balik tampang galak itu, tersembunyi sebongkah cahaya dalam hatinya. Ketulusan yang sama sekali tak dibuat-buat.
“Harusnya aku juga mengatakan hal serupa pada Pak Mul. Memohon maaf atas kebengalanku selama ini. Aku yang sering merepotkan dan susah dinasehati,” sesalmu lagi. Kau terisak serupa bocah kehilangan mainan kesayangan. Mata indahmu basah. “Tapi Pak Mul buru-buru pergi.”
Satu jam berlalu, ponselmu berdering nyaring. Ratih, kawan sebangkumu memberi kabar duka. Pak Mul wafat tertabrak angkot sepulang menjenguk seseorang dari rumah sakit.
Kinanti. Lihatlah, betapa kesempatan telah menawarkan dua pilihan: mengambilnya segera atau mempersilakan pergi. Sayangnya, kau memilih opsi yang kedua. Semua telah terlambat hingga tak ada yang lebih berharga kini selain untaian doa terbaik. Untuknya, pahlawan tanpa tanda jasa dengan sepenuh kemuliaannya. Namun, kau jangan sampai terlambat memetik hikmah untuk selalu mempertanyakan kebenaran pada ‘kau’; sesuatu yang bernama hati nurani.
ARINDA SARI, peenulis buku dan suka ngeblog. Alumni Bahasa dan Sastra Inggris UNNES. Berkecimpung di komunitas Penulis Ambarawa (Penarawa). Tinggal di Semarang.