Oleh Puspa Seruni
Sesaat setelah tubuhku diletakkan di atas balok-balok es, pikiranku membeku teringat pada satu hari pada dua belas tahun lalu saat ibu mengajakku ke sebuah museum. Setiap tahun, Ibu akan memilih satu di antara 365 hari untuk merayakan sebuah tragedi pembantaian. Bangunan museum itu memiliki banyak pintu dan jendela kayu yang tinggi dan lebar, terlihat kuno, angker, pengap dan kesepian. Sepanjang menyusuri lorong-lorong yang sunyi dan panjang, Ibu tidak akan melepaskan genggamannya dari tanganku. Dia akan berhenti melangkah—selalu begini setiap kali ke museum—di depan sebuah potret berwarna hitam putih dengan bingkai kayu yang diletakkan di sudut ruangan. Kami akan berdiri lama di sana, menatap gambar seorang lelaki yang sedang berlutut dengan kepala ditutupi kain hitam, tangan terikat tali tambang ke arah belakang, mulut yang tersumpal dan lima senjata laras panjang yang sedang di arahkan kepadanya oleh lima orang bertubuh kekar.
Ibu akan memandangnya berlama-lama sebelum akhirnya meneteskan air mata. Lelaki dalam foto hanya mengenakan bawahan hitam tanpa atasan sehingga tulung rusuk dan bahunya terlihat bertonjolan. Ada beberapa luka memar di dada serta selarik luka pada bagian dada. Pada bagian bawah foto tertulis “Eksekusi Mati Seorang Pelaku Pembantaian”. Meski sempat bingung kenapa Ibu justru menangis di depan orang yang kejam, aku memilih bungkam alih-alih mengajukan pertanyaan.
Saat kuceritakan pengalamanku pergi ke museum dan mengisahkan kesedihan Ibu yang berlama-lama menatap gambar pelaku pembantaian, wajah Bu Guru seketika memerah. Terburu-buru dia berjalan ke arah pintu kelas dan menutupnya. Bu Guru bahkan membentak dan mengatakan kepadaku bahwa aku tidak boleh bercerita seperti itu lagi. Dilarang, katanya dengan tegas. Kalau perlu tak boleh lagi pergi ke museum, lanjutnya. Akan tetapi, ibuku bukan Bu Guru, dia akan mengajakku lagi ke museum itu di tahun berikutnya, di tanggal yang sama, tidak pernah berubah dan tidak pernah bosan.
- Iklan -
“Sebaiknya ini hanya jadi rahasia kita,” kata Ibu padaku saat kusampaikan betapa marahnya Bu Guru karena aku menceritakan pengalamanku mengunjungi museum.
Saat tubuhku diangkat oleh dua orang lelaki berpenutup kepala, lamunanku tentang Ibu buyar. Tangan-tangan kekar dan lebar menyeret tubuhku menuruni tangga. Tubuhku mengigil, gigiku bergemeretak, dingin balok es seakan masih melekat pada punggungku yang terasa terbakar. Dua lelaki bertubuh tegap dan tinggi itu mendorongku kembali masuk ke dalam kerangkeng. Aku tersungkur, mencium lantai. Ada rasa asin yang mengalir dari hidung masuk ke dalam mulutku.
“Mereka itu kejam, kamu harus ingat itu. Mereka kejam!” Aku ingat Ibu mengulang-ulang kalimatnya.
Kalimat Ibu saat berdiri di depan potret buram di museum kembali berdenging. Waktu itu aku hanya mengangguk-angguk, tidak mengerti siapa yang Ibu maksud. Pelaku pembantaian atau korban yang dibantai? Ibu menatap foto itu dengan berlinang air mata. Tangannya tampak gemetar, terulur meraba permukaan foto yang dibingkai kayu dan kaca.
Aargh.
Rasa sakit pada bagian punggung membuatku tersadar bahwa masa itu sudah jauh tertinggal di belakang. Mungkin jika melihat keadaanku sekarang, dia akan memarahiku.
Aku mencoba bangkit, meraba dinding, mencari pegangan. Bukan hanya diletakkan di atas balok es selama berjam-jam, mereka juga menendangku dengan sepatunya yang tebal dan bergerigi, menampar wajah hingga membuat darah bercucuran dari hidungku. Setiap pertanyaan yang tidak dijawab dengan benar, akan membuat mereka marah lalu memukulku.
“Siapa yang membayarmu? Siapa yang menyuruhmu?” Salah seorang lelaki, yang kuduga adalah komandan dari dua lelaki berpenutup wajah, bertanya dengan suara menggelegar yang mengintimidasi.
“Siapa pemimpinmu?” tanyanya lagi sambil menggampar kepalaku.
Aku sudah berusaha menjawab setiap pertanyaan dengan jujur, tetapi selalu dianggap bohong dan salah. Sampai akhirnya aku lebih memilih diam dengan risiko tubuh akan babak belur.
Aku berusaha membuka kaosku yang telah basah oleh es dan darah lalu kulemparkan begitu saja di atas lantai. Aku merebahkan tubuhku di atas pembaringan, menarik selimut tipis dan meringkuk memeluk kedua lutut dengan rahang yang bergetar.
Entah sudah berapa lama aku di ruangan bawah tanah yang terasa pengap ini. Aku tidak lagi bisa menghitung, tidak ada cahaya matahari masuk membuatku tidak tahu pergantian hari. Tenagaku juga terkuras habis hingga tak mampu untuk sekedar menggores tembok untuk memberi penanda, apalagi sampai bisa membaca atau menulis sebagaimana Hamka atau Pram saat di penjara. Tak ada yang seperti itu di sini, hampir setiap hari aku disiksa.
“Le, cukup ibu yang begini. Kamu kuliah saja yang benar, syukur-syukur kalau nanti bisa jadi orang.”
Aku seperti merasakan belaian tangan Ibu di kepalaku. Jemarinya menyisir lembut rambutku yang basah oleh darah. Aku memang selalu abai nasihat ibu sejak masih kanak-kanak. Saat ibu memintaku merahasiakan kepergian kami ke museum, aku tidak mematuhinya. Aku dikeluarkan dari sekolah karenanya. Bu Guru mengatakan pihak yayasan tidak mau menanggung risiko jika nanti aku menyebarkan paham berbahaya kepada teman-temanku. Kala itu aku tidak mengerti ucapan Bu Guru. Paham apa yang dimaksud? Apakah menceritakan pengalaman pergi ke museum itu suatu hal yang berbahaya?
Ibu kesulitan mencarikanku sekolah. Aku sempat diam di rumah selama beberapa bulan hingga sebuah sekolah kecil, di daerah terpencil di lereng gunung, bersedia menerimaku. Ibu mengganti namaku dan aku harus mengulang dari kelas tiga.
Aku terbatuk-batuk, tenggorokanku terasa kering. Sejak pagi, tidak ada setetes air yang melewatinya. Aku tersenyum kecut, ini lah salah satu akibat aku tidak mematuhi nasihat ibu. Kami sempat bertengkar beberapa bulan lalu. Ibu tidak suka aku terlalu aktif dalam kegiatan diskusi bersama teman-teman di kampus. Apalagi setelah tahu aku beberapa kali ditangkap karena melakukan aksi demo di Jakarta, Ibu sangat tidak suka. Dia hanya mau aku belajar, mengikuti kuliah dengan benar lalu di wisuda kemudian bekerja. Ibu sudah bersusah payah agar aku bisa sekolah.
“Ojo neko-neko. Hidup kita sudah susah.”
Ibu hampir menangis mengatakan itu. Dia mungkin teringat pada Bapak dan Kakek, yang tiba-tiba lenyap di suatu malam. Tidak jelas ke mana, tidak pernah tahu alasannya dan tentu tidak pernah lagi pulang ke rumah. Dan saat ini mungkin ibu juga kebingungan, mencari-cari anak semata wayangnya, yang tak pernah pulang setelah pamit kuliah.
Aku ingat, setelah pulang dari rapat untuk merencanakan aksi besar-besaran di Jakarta pada bulan Mei mendatang, empat orang lelaki bertubuh tegap menangkap lalu menutup kedua mataku. Aku dibawa masuk ke sebuah kendaraan. Setelah hampir satu jam berjalan, kendaraan berhenti dan aku diminta untuk turun.
Ruang tahanan bawah tanah yang kutinggali sekarang adalah tempat kedua. Sebelumnya, aku disekap disebuah ruang mirip aula bersama beberapa orang yang lain. Satu persatu dari kami diinterogasi, disiksa lalu dibawa pergi. Sudah berbagai jenis siksaan kualami. Sudah berkali-kali aku minta ditembak mati saja, tetapi mereka tampaknya masih bersemangat untuk menyiksa. Mata mereka akan menyala saat mendengar jeritanku.
“Kalau kamu masih terus begitu, lebih baik Ibu mati,” ucap ibu saat kami bertengkar.
Aku tidak membalas ucapan Ibu, tidak juga mengangguk setuju atau pun berjanji akan meninggalkan teman-temanku. Seharusnya Ibu tahu, ini adalah bentuk perjuangan. Aku tidak mau seperti Ibu yang hanya diam menerima kenyataan saat Kakek dan Bapak dilenyapkan, yang hanya bisa berdiri mematung di depan foto seorang lelaki yang dituduh sebagai pelaku pembantaian-yang menurut Ibu itu adalah foto kakekku.
“Tidak ada gunanya balas dendam, tidak akan membuat mereka kembali bersama kita.”
Ibu mulai terisak, suaranya serak. Aku hanya bisa menunduk, menekuri lantai, tidak tega melihatnya menangis. Kami tidak bertegur sapa setelah itu. Aku tetap dengan prinsipku untuk melanjutkan perjuangan bersama kawan-kawanku, sedangkan Ibu masih bergumul dengan ketakutan dan kekhawatiran.
Tiba-tiba terdengar suara pintu di buka lalu suara langkah sepatu menuruni anak tangga. Kukira, kegiatan interogasi sudah berakhir untuk hari ini, mengapa mereka kembali?
Tak lama, terdengar pintu kerangkeng dibuka. Dua orang lelaki berpenutup kepala memintaku bangun. Mereka memaksaku berjalan keluar dari sel tahanan. Aku berjalan dengan tertatih dan lupa mengenakan kaos yang tadi kulempar di lantai. Tidak sabar dengan cara jalanku yang lamban, mereka menyeret kedua lenganku.
Tiba di ruangan atas, mereka membawaku ke sebuah lapangan. Tanganku diikat dengan tambang, kakiku dirantai, sedangkan mulutku disumpal. Lima orang dengan senjata laras panjang berdiri mengelilingiku dengan wajah datar. Salah seorang kemudian menendang paha belakangku sehingga aku jatuh berlutut di hadapan mereka. Serempak, mereka menodongkan senapan sambil menatap tajam.
“Bu, siapa mereka yang Ibu maksud? Kenapa Ibu menyebut mereka kejam?” tanyaku setelah aku lulus sekolah dasar. Aku sudah tidak pernah lagi menceritakan pengalamanku mengunjungi museum kepada teman kelasku, tetapi aku masih penasaran dengan “mereka” yang dimaksud Ibu.
“Kamu tak perlu mengenalnya, yang lebih penting tak perlu menjadi seperti mereka.” Aku ingat waktu itu Ibu menjawab sambil mengusap wajahku.
Saat salah seorang mulai berhitung, aku diminta menundukkan kepala. Aku memejamkan mata sambil mengingat-ingat nasihat Ibu—sebuah hal yang terlambat, yang mungkin saat ini tak ada artinya lagi. Posisiku kini persis lelaki dalam potret buram yang sering Ibu pandangi di museum. Bedanya, dia berpenutup wajah sedangkan aku tidak. Aku bisa melihat dengan jelas siapa mereka-orang-orang yang beberapa hari ini menculik dan menyiksaku dan mungkin kini akan membunuhku. (*)