Oleh: Muhammad Nur Faizi
Era post-truth seperti saat ini, kecenderungan melakukan intoleransi semakin terbuka lebar. Banyak lembaga survei menyatakan hal yang sama, bahwa keterbukaan informasi yang dibantu oleh media semakin memudahkan individu untuk bersikap intoleran. Hal ini juga tidak terlepas dari peran kelompok radikal yang masif melakukan infiltrasi melalui jagat digital. Sehingga laju informasi yang ada, sebagian dipenuhi dengan ujaran kebencian dan tindakan provokatif.
Historitas pemanfaatan media sebagai sumber gerakan terorisme sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an. Diluncurkan sejumlah situs sebagai basis perekrutan anak muda dan mempengaruhi psikis mereka dalam melakukan tindakan ekstrem. Sebagai contoh, kejahatan yang dilakukan oleh organisasi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dengan pola perekrutan secara online dengan sasaran seluruh masyarakat dunia. Narasi “Pembela agama” menggema, membuat manusia dari seluruh dunia berbondong-bondong bergabung ke ISIS dan suka rela menjadi bagian kelompok perang mereka.
Sosial media disebut oleh Conway (2017) mempunyai dampak signifikan terhadap tindakan ektremisme, intoleransi, hingga menjadi akar dari tumbuhnya terorisme. Secara sosiologis media punya peran penting dalam melakukan kontrol informasi bagi masyarakat yang lemah ilmu agama, kurang pembelajaran politik, ekonomi sulit, dan psikologi yang labil. Sehingga konten radikalisme mendominasi isi kepala masyarakat tersebut.
- Iklan -
Komjen Pol Boy Rafli Amar menduga jika organisasi seperti Jemaah Islamiah (JI) atau Jemaah Ansharut Daulah (JAD) mempunyai afiliasi yang kuat dengan sosial media. Hal ini didasarkan propaganda yang dilakukan oleh JAD ataupun JI yang selalu berpusat di sosial media. Perlahan gerakan mereka membesar dan merekrut lebih banyak anggota melalui media.
Internet membawa daya dobrak bagi organisasi-organisasi yang hampir mati. Sepak terjang organisasi dapat dihidupkan kembali melalui narasi-narasi yang disebarkan melalui dunia maya. Pada akhirnya organisasi radikal seperti JI ataupun JAD tetap memiliki pengikut yang banyak, ataupun berlipat berkat adanya internet. Fleksibelitas internet membantu mereka dalam hal klamuflase dan pertumbuhan kader baru.
Waspada Generasi Muda
Hal paling mengkhawatirkan dengan persebaran narasi radikalisme di internet adalah jikalau generasi muda menjadi agen aktif yang memproduksi konten radikalisme kepada khalayak. Seperti halnya studi yang dilakukan oleh Sugihartati et al (2013) yang mengkonfirmasi peran anak muda dewasa yang tidak hanya menjadi penikmat konten radikal, namun menjadi juga menjadi pembuat dari konten itu sendiri.
Bahkan kasus yang belakangan viral, yang memperlihatkan dua anak yang membunuh anak sebayanya untuk diambil organnya adalah contoh kejam pengaruh media terhadap kondisi psikologi anak. Motivasi mereka melakukan pembunuhan adalah karena iming-iming uang Rp. 1,2 Milliar yang ditawarkan dari penjualan ginjal.
Jelas media telah menghilangkan nalar sehat manusia, bahkan untuk berbuat kekejaman yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Usia anak-anak yang seharusnya belum memikirkan hal semacam itu, bisa berbuat hal yang kejam berkat informasi yang didapatkan dari media. Hal ini harus dijadikan perhatian bersama untuk mendidik generasi muda dari arus informasi di era digitalisasi.
Jangan sampai arus informasi yang sedemikian derasnya, membawa generasi muda ke arah yang negatif, terlebih terjebak dalam lembah radikalisme. Dengan iming-iming uang, narasi provokatif, atau motivasi lain, kesemuanya harus dijauhkan dari anak-anak. Sungguh terorisme adalah musuh terbesar dari negara.
Counter Culture Media
Counter culture menjadi hal mutlak yang harus dilakukan oleh seluruh pihak dalam menjaga anak muda dari budaya terorisme. Bisa dilakukan dengan pengetatan aturan, peran narasi nasionalisme yang mendominasi, atau melakukan sejumlah program yang mendidik nalar mereka ke arah nasionalisme dan cinta tanah air. Semua itu dapat terlaksana asalkan semua pihak berada dalam satu barisan yang kuat untuk melawan gelombang terorisme.
Semua peraturan yang dibentuk difokuskan untuk meluruskan semua informasi yang ada di media. Membuat media menjadi tempat ternyaman untuk anak-anak bereksperimen dan berekspresi tanpa pengaruh buruk. Sehingga anak-anak dapat menyerap banyak ilmu dan pengalaman baik didalamnya.
Setiap gerakan yang dilakukan dapat disuarakan dalam narasi yang dibungkus secara apik dan disebarkan di sosial media. Karena walau bagaimanapun medan perang sebenaranya berada disana. Maka dominasi pencegahan radikalisme harus lebih dominan disana. Sehingga informasi yang diterima oleh anak-anak cenderung mengarah pada tindak nasionalisme dan pembelaan terhadap tanah air.
Selain itu, anak muda harus digerakkan sebagai inisiator untuk memproduksi konten nasionalisme, yang kemudian diaplikasikan secara nyata dalam kehidupannya. Misalnya dalam lingkup pendidikan, mereka dapat mempraktikkannya pada saat bersosialisasi. Saling menghargai keyakinan masing-masing dan tidak menghakimi.
Kemudian dalam lingkup sosial, anak muda bisa menjadi pionir yang mendukung suksesi acara keagamaan, adat istiadat, ataupun kenegaraan dalam tumpah ruah masyarakat yang kultural. Anak muda dapat menjadi pembeda dengan mengadaptasikan acara tersebut menjadi lebih menyenangkan.
Semua hal tersebut dapat dijadikan satu aksi, yang kemudian diviralkan melalui sosial media. Satu gerakan yang dilakukan secara bersamaan akan menghasilkan gebrakan besar yang menggeser nalar terorisme. Dan hal itu pula, yang nantinya membuat anak muda dengan sendirinya bebas dari nalar terorisme. Bahkan anak muda dapat menjadi agen terdepan yang memberantas perilaku terorisme itu sendiri.
-Penulis adalah reporter LPM Metamorfosa dan menjadi Junior editor di Berita Sleman.