Cerpen Ade Mulyono
Tidak ada yang tersisa di Demak-Jipang selain ratapan dan isak tangis. Sisa-sisa prajuritnya sudah dihancurkan. Raden Arya Mataram adik Arya Penangsang juga sudah melarikan ke Palembang dengan perasaan hancur lebur. Hanya abu kehancuran yang ia bawa, selain pakaian yang melekat di tubuhnya. Payung emas dan tombak sebagai lambang kekuasaannya juga sudah diturunkan dari singgasananya.
Tidak ada nama lain yang lebih pantas mengganti kedudukannya selain Hadiwijaya. Sang adipati pun naik takhta menjadi Raja Pajang setelah memindahkan kekuasaannya dari Demak-Jipang ke Pajang. Semua orang menyambut Sultan Hadiwijaya dengan perasaan gembira.
Setelahnya, bertahun-tahun lamanya Sultan Hadiwijaya memimpin Pajang dengan pencapaian gemilang. Kekuasaan Pajang bertambah luas. Merambah ke wilayah di sekitarnya. Semua lawannya berhasil ditaklukkannya. Akan tetapi, semua itu tidak membuat Sultan Hadiwijaya sepenuhnya bahagia, ada yang mengganjal di hatinya. Sudah tujuh tahun ia belum menepati janjinya kepada Ki Ageng Pemanahan. Berulang kali Ki Juru Martini mengingatkannya, berulang kali juga Sultan Hadiwijaya mengabaikan orang yang dipercayainya itu selain dirinya sendiri.
- Iklan -
Bukan tanpa sebab, saat ia dinobatkan menjadi Sultan Pajang, Sunan Prapen meramal jika kelak Mataram akan mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu yang mengganggu Sultan Hadiwijaya. Sampai-sampai ia tidak dapat tidur dengan tenang. Ia diselimuti kebingungan antara keinginannya untuk memenuhi janjinya dan ketakutannya jika Mataram diserahkan, maka akan melakukan perlawanan. Ramalan Sunan Prapen benar-benar menyiksa dirinya, setidaknya selama tujuh tahun ini.
Ki Panjawi yang sudah mendapatkan Kota Pati membuat Ki Ageng Pemanahan iri. Meski ia masih menahan diri untuk tidak membangkang dan tetap setia mengabdi di Pajang. Ia tidak ingin kebesaran namanya tercoreng hanya karena sejengkal tanah. Melihat kegusaran sahabatnya, Ki Juru Martani membujuknya untuk berkenan menemui Sunan Kalijaga.
Bukankah semua orang tahu kalau Ki Ageng Pemanahan mempunyai ikatan emosional dengan Sultan Hadiwijaya yang sama-sama murid kanjeng sunan? Atas saran itulah Ki Ageng Pemanahan memberanikan diri menyambangi gurunya Sunan Kalijaga untuk mengadukan kegundahan hatinya.
“Aku akan menuruti semua perintah Kanjeng Sunan,” kata Ki Ageng Pemanahan di hadapan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga berjalan mondar-mandir mendengar permasalahan di antara kedua muridnya.
“Kau tunggu di sini,” katanya. Sunan Kalijaga pun berlalu sebelum datang kembali di hadapan Ki Ageng Pemanahan yang masih menunggunya dengan jantung berdebar. “Bawalah surat ini dan berikan kepada Sultan Hadiwijaya.”
Hanya dalam hitungan hari saja surat dari Sunan Kalijaga sudah berpindah tangan ke Sultan Hadiwijaya. Sang sultan begitu gemetar membaca surat dari gurunya. Keringat dingin membasuh tubuhnya. Belum pernah ia merasakan takut seperti sekarang ini. Ia sadar telah melakukan kesalahan fatal. Sebagai seorang pemimpin yang akan diingat oleh rakyatnya selain keadilan dan kebijaksanaannya ialah janji-janjinya.
“Jangan biarkan janji yang belum kau tunaikan menjadi duri penghalang di jembatan Siratalmustakim.” Begitu bunyi surat dari Sunan Kalijaga yang membuat Sultan Hadiwijaya gemetar hebat membacanya.
Keesokan harinya Sultan Hadiwijaya memanggil Ki Ageng Pemanahan di keratonnya. Di hadapan penasihat dan para senapatinya Sultan Pajang itu berujar, “Akan aku tunaikan janjiku yang tertunda. Tetapi sebelum aku menunaikan janjiku apakah Paman Ki Ageng Pemanahan akan tetap setia terhadap Pajang?”
“Aku akan tetap mengabdi dan setia kepada Kanjeng Sultan,” sahut Ki Ageng Pemanahan.
“Baiklah, aku senang mendengarnya. Disaksikan pejabat dan senapati Pajang, aku serahkan Alas Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan. Sebagai bukti kesetiaan Paman Pemanahan, aku minta setiap tahun Paman menghadapku dan tinggal di Pajang.”
Ki Ageng Pemanahan menyanggupinya dengan perasaan lega dan riang gembira. Kini ia telah mendapatkan haknya meski harus menunggu tujuh tahun lamanya. Rasa terima kasih juga ia alamatkan kepada Ki Juru Martani yang berdiri di tengah tegak lurus tanpa ada yang ditambahkan atau dikurangi.
*
Sejak diserahkan ke Ki Ageng Pemanahan, Alas Mentaok kini berubah menjadi permukiman. Tanah yang dahulu berupa hutan lebat, disulap menjadi kota yang mengilap. Meski wilayah yang dipimpinnya makin kuat dan maju, Ki Ageng Pemanahan tetap memegang teguh janjinya untuk setia di bawah kekuasaan Pajang. Bertahun-tahun ia menjaga hubungan baik antara Mataram dan Pajang.
Sayangnya setelah ia mangkat dan Mataram diserahkan kepada putranya Sutawijaya, hubungannya dengan Pajang memburuk. Keberadaan Mataram di ujung Kulon sangat mengganggu ketenangan hati Sultan Hadiwijaya. Ia mempertanyakan kesetiaan anak angkatnya Sutawijaya yang tidak lagi menghadap dirinya. Sebagaimana seorang anak menghadap orang tuanya.
Di saat suasana tegang seperti itulah, Ki Juru Martani memilih mengundurkan diri sebagai penasihat Sultan Hadiwijaya. Saat perkampungan Mataram didirikan ia berjanji akan memajukannya. Kini sang juru selamat itu berkhidmat di Mataram menjadi penasihat Sutawijaya. Usia Sutawijya yang masih muda sangat rentan keluar dari garis putih yang sudah digariskan. Itu sebabnya, ia tidak bisa menolak permintaan Ki Ageng Pemanahan untuk menjadi penasihat putranya.
Angin sore berembus mesra. Daun-daun kering beterbangan. Di bawah pohon beringin, Sultan Hadiwijaya sedang memandikan keris saktinya. Cuaca hatinya sedang tidak tenteram. Meski sedang musim hujan, hatinya selalu panas. Sudah setahun ini ia menunggu kedatangan Sutawijaya, tetapi anak angkatnya itu tak kunjung memenuhi undangannya. Entah sudah yang ke berapa kalinya utusan Pajang dikirimnya untuk menanyakan kesetiaan Mataram.
Usai memandikan keris pusakanya, Sultan Hadiwijaya mendapat laporan yang mengejutkan dari putra mahkotanya, Pangeran Benawa. Setelah bersumpah Pangeran Benawa berujar jika Sutawijaya sedang membangun pertahanan di Kota Gede. Kabar dari anaknya bagai halilintar yang menyambar telinganya.
Sultan Hadiwijaya pun segera mengumpulkan para senapatinya untuk membicarakan kesetiaan Mataram. Ia sudah menduga Mataram mempunyai niat untuk melepaskan diri dari kekuasaannya. Dugaan itu muncul setelah ia mendapat laporan dari Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil yang mengatakan hanya tinggal menunggu waktu bagi Sutawijaya untuk mengangkat dirinya sebagai raja Mataram.
Gelagat Sutawijaya yang ingin memberontak tercium dari tindak tanduknya. Terlebih ia juga tidak menghormati utusan dari Pajang. Atas laporan itu Sultan Hadiwijaya makin yakin, bahwa hanya dengan menghancurkan Mataram ialah satu-satunya jalan terbaik untuk mempertahankan kekuasaannya.
Meski begitu, ia masih menahan diri untuk tidak ke gabah. Hubungan baik yang pernah terjalin antara dirinya dengan Ki Ageng Pemanahan menjadi alasan untuk memberi kesempatan kepada Sutawijya. Meski keputusan itu disambut kekecewaan para senapati yang lebih menginginkan penyerangan ke Mataram.
Tahun demi tahun terlewati. Kemajuan Mataram makin pesat. Kabar itu membuat Sultan Hadiwijaya makin gelisah. Marah. Dan kemarahan Sultan Hadiwijaya tidak dapat lagi dibendung usai mendapat laporan Raden Pabelan dengan lancang memasuki kaputrian untuk menemui Ratu Sekar Kedaton.
Merasa terhina dengan kelakuan orang Mataram yang berani memasuki kamar putri bungsunya, sang sultan memerintahkan kepada prajuritnya untuk menghukum mati Raden Pabelan. Hukuman juga diberikan kepada Tumenggung Mayang setelah tertangkap saat mencoba membebaskan anaknya Raden Pabelan dari penjara.
Mendengar suami dan anaknya akan mendapat hukuman, istri Tumenggung Mayang meminta bantuan kakaknya Sutawijaya. Penguasa Mataram itu segera mengirim prajuritnya untuk membebaskan Tumenggung Mayang yang akan dibuang ke Semarang.
Pertempuran kecil pun terjadi.
Prajurit Pajang bergelimpangan dibantai oleh pasukan Mataram saat membebaskan Tumenggung Mayang. Betapa geram Sultan Hadiwijaya dengan tindakan Sutawijaya yang sudah berani mencampuri urusan dalam negerinya. Kali ini ia tidak dapat lagi menahan amarahnya yang sudah bertahun-tahun ia simpan dalam dada. Ia pun memerintahkan para prajuritnya untuk menyerang Mataram. Hanya dalam hitungan hari saja ratusan ribu pasukan Pajang sudah berbaris rapi di alun-alun.
Kabar Sultan Hadiwijaya akan menyerang Mataram pun terdengar ke telinga Ki Juru Martini. Ditemani para pengawalnya ia pergi menemui Sutawijaya di kedatonnya.
Sesampainya ia disambut hormat oleh Sutawijaya dan pejabat lainnya. Layaknya penghormatan seorang anak kepada ayahnya.
“Sudahkah kau memberi hormat kepada Romomu Sultan Hadiwijaya?” tanya Ki Juru Martani kepada Sutawijaya.
Sutawijaya menggeleng.
“Setan apa yang merasuki pikiranmu? Jabatan apalagi yang kau inginkan? Kurang luaskah Mataram Sutawijaya?”
Semua pertanyaan itu tidak ada satu pun yang dijawab Sutawijya. Ia seperti batu membisu di hadapan orang tua yang dihormatinya.
“Masih ada waktu, kirimlah utusan untuk memohon ampunan dan lanjutkan hubungan baik ayahmu yang sudah mangkat dengan ayahmu yang masih hidup.”
“Ampun, Paman. Pasukan Romo Sultan Hadiwijaya sudah menyeberang ke Mataram. Tidak mungkin untuk dicegahnya,” balasnya memberanikan diri membuka mulutnya dan menyampaikan unek-uneknya.
“Apa ini yang kau mau?”
“Aku hanya ingin Mataram lepas dari Pajang.”
“Tidak boleh ada negara di dalam negara!”
“Itu sebabnya Mataram harus melepaskan diri.”
Ki Juru Martani jatuh tersungkur mendengar ucapan Sutawijaya. Ia mencoba berdiri dengan menggunakan tongkatnya.
“Di bumi mana kaki Paman akan berpijak?” tanya Sutawijaya sambil memapahnya.
“Akan kuhentikan perang ini dengan caraku.”
“Apa yang akan Paman lakukan?”
“Aku akan melakukan sebagaimana yang dahulu aku lakukan untuk memenangkanmu melawan Arya Penangsang.”
“Seharusnya Paman berdiri di sampingku untuk menghadapi Romo Sultan Hadiwijaya.”
“Semua ini aku lakukan karena pengabdianku kepada Mataram,” kata Ki Juru Martani sebelum pergi. “Pengawal bawa aku lereng Merapi.”
Ki Juru Martani berlalu dari pandangan mata Sutawijya. Di atas kudanya ia menuju lereng Merapi untuk bertapa. Ia tidak mau menghadapi Sultan Hadiwijaya secara langsung. Tetapi ia juga tidak bisa meninggalkan Sutawijaya, apalagi melihat kehancuran Mataram yang dengan susah payah ia perjuangan.
Di kaki Gunung Merapi Ki Juru Martani bertapa memohon kepada penguasa langit dan bumi untuk memuntahkan lumpur dan awan panas ke jalan yang akan dilewati pasukan Pajang. Siang dan malam ia tidak membuka matanya sebelum munajatnya dikabulkan. Begitulah Ki Juru Martani melewatkan hari-harinya tanpa makan dan minum di bawah kaki gunung.
Iring-iringan pasukan Pajang ratusan meter panjangnya. Sultan Hadiwijaya tampak gagah di atas punggung gajah. Tekadnya hanya satu: menghancurkan Mataram. Keputusan sudah tidak bisa lagi ditawar. Sebelum berangkat ia membakar semangat ribuan pasukannya: “Kibarkan panji-panji Pajang di bumi Mataram. Rebut Mataram agar kembali kepada pangkuan Pajang.”
Penyerangan Sultan Hadiwijaya dengan ribuan prajuritnya sudah dicium oleh Sutawijaya. Ia segera membentuk unit pasukan dan memecahnya di beberapa tempat untuk menghalau gerak prajurit Pajang sebelum memasuki benteng terakhirnya.
Hari itu bernama siang saat ribuan prajurit Pajang mendapat sambutan dari pasukan Mataram yang sudah menunggu. Pertempuran kecil berhasil dimenangkan Sultan Hadiwijaya dan pasukannya. Sultan Hadiwijaya memerintahkan prajuritnya terus bergerak maju mendekati benteng pertahanan Sutawijaya.
Tiba-tiba saja gumpalan awan hitam memayungi prajurit Sultan Hadiwijaya. Suasana makin niskala saat langit menjadi gelap. Entah dari mana datangnya saat badai angin menerjang ratusan para prajurit Pajang. Dan sesuatu yang mencengangkan pun terjadi. Puncak Gunung Merapi memuntahkan api. Bumi Mataram terguncang dahsyat. Merapi meletus mengirim lahar dan awan panas. Ribuan penduduk melarikan diri dari permukimannya.
Suara jerit minta tolong menggema di mana-mana. Prajurit Pajang tak luput menjadi korban Merapi yang mengamuk.
Di bawah hujan debu pertempuran masih berlangsung, tidak sedikit prajurit Pajang jatuh berguguran. Bukan karena panah prajurit Mataram, melainkan debu panas yang menerjang. Lahar, lumpur, debu, dan batu menghalau prajurit Pajang hingga mereka kalang kabut. Sultan Hadiwijaya segera memerintahkan pasukannya mundur mencari tempat perlindungan ke Prambanan.
Bumi Mataram bagai neraka yang dipenuhi bara api. Meski Gunung Merapi sudah berhenti mengamuk, Sultan Hadiwijaya belum juga memerintahkan pasukannya untuk menyerang Sutawijaya secara besar-besaran. Sultan Pajang itu mulai ragu untuk melanjutkan penyerangannya. Ia tahu alam tidak berpihak padanya. Tanda itulah ia baca bahwa penyerangannya ke Mataram ialah kesalahan.
“Kita hanya butuh satu pukulan lagi Kanjeng Sultan,” kata salah seorang senapatinya.
“Benar, Kanjeng Sultan. Kita harus keluar dari Prambanan dan menyerang Mataram dari sisi yang lain,” kata yang lainnya mendesak.
Sultan Hadiwijaya tidak langsung menjawabnya. Dilihatnya awan mendung yang memayunginya. Ia mencabut keris pusaka yang belum digunakannya untuk membunuh Sutawijaya.
“Bagaimana Kanjeng Sultan?” Senapati itu masih penasaran dengan terus mendesak Sultan Hadiwijaya melanjutkan penyerbuannya. “Kita sudah sampai di sini. Musuh di hadapan kita tinggal sejengkal lagi…”
“Tidak. Ini teguran untuk kita. Sudah banyak prajurit Pajang yang berguguran,” potong Sultan Hadiwijaya masih di atas punggung gajahnya. Kemudian ia melayangkan pandangannya ke puncak Gunung Merapi.
“Gunung Merapi meletus bukan atas kehendak alam Kanjeng Sultan. Ada seseorang yang memintanya,” kata penasihatnya mencoba mengingatkan.
“Benar. Aku sudah mengetahui siapa orang itu. Ia memilih menepi meminta perlindungan penguasa alam daripada ikut berperang.”
“Ki Juru Martani?”
“Tidak salah lagi.”
“Izinkan hamba membunuhnya!”
“Tidak ada yang boleh menyentuh tubuhnya. Ia telah mengambil keputusan yang tepat.”
Dengan kebesaran hati Sultan Hadiwijaya menarik mundur pasukannya dan memerintahkannya kembali ke Pajang. Di tengah perjalanan pulang Sultan Hadiwijaya menyambangi makam Sunan Tembayat. Sesampai di depan gerbang ia mencoba membuka pintu yang terkunci. Meski sudah sekuat tenaga mencobanya, namun tidak berhasil. Kesaktiannya seakan-akan telah sirna dari tubuhnya. Sultan Hadiwijaya tahu ini adalah sebuah isyarat, bahwa usianya tidak akan lama lagi.
Saat meneruskan perjalanannya pulang ke Pajang tiba-tiba saja Sultan Hadiwijaya jatuh tersungkur dari atas gajah yang ditungganginya. Seperti ada serangan gaib yang memukul dadanya hingga ia tergolek tak berdaya. Sakit yang dideritanya bertambah parah hingga nyawa Sultan Hadiwijaya tidak bisa lagi diselamatkan.
Di atas tandu tangan Sultan Hadiwijaya menjulur keluar. Seakan-akan ia sedang melambaikan tangannya—mengucapkan salam perpisahan kepada rakyatnya. Kematian yang indah. Dan pada akhirnya semua orang tahu, seorang pemuda yang sebelum menjadi sultan bernama Jaka Tingkir itu tidak kalah, ia hanya mengalah—kepada Sutawijaya—anak angkatnya. (*)
Tentang Penulis:
Ade Mulyono, lahir di Tegal. Prosais dan esais. Beberapa cerpennya dimuat di Kompas, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, dan Majalah Harmoni. Menyelesaikan sarjana sastra di Universitas Pamulang, Banten. Buku terbarunya “Namaku Bunga” (2022). Pendidikan: S-1 Bahasa dan Sastra Universitas Pamulang, Banten.