Oleh Sam Edy Yuswanto
Keberadaan kayu dan rayap seolah sulit terpisahkan. Kayu yang berasal dari pepohonan, biasanya dijadikan sebagai bahan untuk membuat lemari atau rak untuk menyimpan aneka macam kebutuhan seperti pakaian, uang, dokumen-dokumen penting, hingga buku atau kitab-kitab. Kayu, terlebih bila kualitasnya bagus seperti kayu jati, juga menjadi bahan yang sangat bagus untuk membuat kursi, meja, hingga saka atau fondasi sebuah rumah.
Kayu, terlebih bila kualitasnya buruk, memiliki sifat yang mudah rapuh. Hal ini akan diperparah seiring dengan usia kayu tersebut yang kian bertambah. Ketika rapuh itulah, kayu akan mudah menjadi santapan hewan pemangsa kayu seperti rayap. Bila sudah begini, kita tentu harus waspada agar barang-barang berharga yang kita miliki tak ikut terkena imbasnya: dimakan rayap-rayap. Sebagaimana sebagian koleksi buku-buku saya yang ikut dimakan rayap-rayap saat disimpan di dalam lemari kayu.
Bila direnungi, ada hikmah tersembunyi yang bisa kita petik dari keberadaan kayu dan rayap tersebut. K.H. Ahmad Mustofa Bisri pernah mengetik sebuah status yang sangat menarik di dinding akun Facebook-nya. Beliau mengetik kalimat yang cukup singkat tetapi memiliki kedalaman makna yang penting untuk kita resapi bersama. Beliau menulis (mengetik) seperti ini: Jika hati kita ibaratkan kayu, maka kedengkian dan kebencian di dalamnya adalah rayap-rayap.
- Iklan -
Bila kita resapi hikmah atau maknanya, betapa sangat tepat perumpamaan yang disampaikan oleh Gus Mus, panggilan akrab beliau. Oleh karenanya, menjaga kayu agar tak mudah dijadikan sarang rayap mestinya sudah menjadi tugas kita, si pemilik kayu tersebut. Sebagaimana kondisi hati kita, agar hati tetap sehat maka kita harus berupaya menjaganya agar jangan sampai terkontaminasi oleh beragam virus penyakit berbahaya. Virus tersebut misalnya berupa rasa iri, dengki dan benci kepada sesama.
Contoh kecil, ketika ada orang lain mendapatkan suatu kebahagiaan atau rezeki berlimpah, hati tiba-tiba ditumbuhi rasa iri dan dengki. Perasaan semacam ini termasuk hal negatif yang harus kita enyahkan dalam diri kita. Sebab bila tidak, rasa iri dan dengki tersebut akan membuat hati menjadi berkarat oleh kedengkian dan kebencian yang bisa mendatangkan kemudaratan yang lebih besar lagi. Ketika hati telah diliputi kebencian biasanya segala macam cara akan diupayakan untuk menghancurkan orang yang dibenci tersebut.
Dian Ekawati dalam tulisannya (rumahzakat.org, 13/10/2021) menjelaskan, iri terhadap pencapaian dan rezeki orang lain adalah salah satu penyakit hati yang harus kita hindari karena bisa merugikan diri sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar yang dinukilkan dari kitab Fath Al Bari, hasad atau iri dijelaskan bahwa seseorang tidak ingin nikmat yang dimiliki orang lain bertahan lama, dan ingin segera hilang, dan bahkan kenikmatan tersebut ingin berpindah kepadanya (pelaku iri atau hasad).
Sementara itu, Muhammad Rafi (tafsiralquran.id) menguraikan bahwa iri hati adalah sebuah emosi yang timbul karena merasa kurang senang, kurang bersyukur dengan apa yang dimilikinya dan cemburu dengan apa yang didapatkan atau dimiliki oleh orang lain karena dia anggap hal tersebut lebih dari apa yang dimilikinya. Iri dengki merupakan sebuah sifat yang termasuk ke dalam salah satu penyakit hati. Sifat iri hati terhadap orang lain bisa melanda siapa saja tanpa terkecuali. Rasa tidak suka melihat kelebihan orang lain, baik harta maupun karier, tentu bisa dialami oleh setiap orang. Penyakit hati ini dapat mengarahkan manusia untuk melakukan perbuatan negatif. Tindakan yang paling ringan adalah berbuat hasud atau memfitnah orang lain.
Membahayakan Keimanan
Menurut pandangan saya, penyakit iri dan dengki bila tak segera dikendalikan, maka akan menjadi penyakit hati yang sangat akut. Hal ini dapat memberikan dampak yang sangat buruk bagi orang tersebut. Dampak buruk ini menyangkut tentang keimanan atau ketakwaannya kepada Allah Swt. Mestinya, bila seseorang memang mengaku beriman dan bertakwa kepada-Nya, dia tidak akan mudah merasa iri dan dengki ketika melihat orang lain mendapatkan limpahan karunia rezeki-Nya. Karena rezeki setiap orang itu berbeda-beda dan sudah ditetapkan oleh-Nya. Tugas kita sebagai manusia adalah berusaha dengan sungguh-sungguh menjemput rezeki-Nya dengan cara-cara yang baik, halal, terpuji, dan tidak merugikan sesama.
Maka dari itulah, menjaga hati agar tetap bersih dari penyakit hati seyogianya harus terus diupayakan oleh setiap muslim. Hati yang bersih akan membantu seseorang terselamatkan dari dampak buruk seperti tercerabutnya keimanan dalam dirinya. Hati yang bersih akan membuat jiwa pemiliknya merasa lebih tenang, ikhlas, dan legawa dalam menjalani kehidupan. Hati yang bersih akan mengantarkan pada kebahagiaan-kebahagiaan yang didamba-dambakan oleh setiap orang di dunia ini. Orang yang hidupnya bahagia itu, salah satu cirinya adalah ketika hatinya dijauhkan dari beragam penyakit hati seperti rasa iri, dengki, benci, dan dendam.
Dalam bukunya, Agar Imanku Semanis Madu, Bahrus Surur menjelaskan sebuah hadis riwayat Bukhari, “Di dalam tubuh kita ada segumpal daging, yang apabila dia baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati”. Dalam riwayat lain, Rasulullah juga bersabda, “Hati itu bagaikan raja, dan hati itu memiliki bala tentara. Apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan apabila hati itu buruk, maka buruklah seluruh bala tentaranya.”
Akhir kata, saya sangat berharap, mudah-mudahan tulisan singkat dan sederhana ini dapat menjadi renungan bersama. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, Penulis lepas, mukim di Kebumen.