Oleh Hamidulloh Ibda
Selain plagiasi, duplikasi, fabrikasi, dan falsifikasi, musuh akademisi hari ini adalah similarity. Mengapa saya katakan musuh? Ya, karena harus dihindari. Sebab, dari tugas kuliah, dokumen akademik, borang akreditasi, sampai tugas akhir skripsi, tesis, disertasi, laporan riset, laporan pengabdian kepada masyarakat, dan artikel ilmiah, semua harus bebas similarity.
- Iklan -
Di kampus INISNU Temanggung tempat saya mengajar, saya sebagai pemegang kebijakan sudah dua tahun ini membuat kebijakan dan pedoman maksimal 35 persen similarity bagi mahasiswa yang mengambil tugas akhir skripsi. Jika mengambil tugas akhir non-skripsi berupa artikel ilmiah, maka sesuai dengan kebijakan jurnal tujuan yang terakreditasi Sinta. Hampir semua mahasiswa awalnya kaget, susah, tapi dengan dua sampai tiga kali cek di Turnitin, mereka akhirnya terbiasa untuk jujur dan bisa lolos ambang batas 35 persen. Bahkan, tahun 2022 lalu ada mahasiswa yang cuma 3 persen tingkat similarty ketika dicek di Turnitin oleh petugas perpustakaan.
Meski bagi saya angka 35 persen masih tinggi, namun bagi mahasiswa hal itu sebuah beban berat. Sebab, mereka belum terbiasa menghadapi Turnitin. Apalagi menulis dengan teknik kutipan tidak langsung. Ya, butuh ketelatenan yang paripurna.
Apakah Similarity itu Plagiasi?
Similarity intinya kesamaan antara tulisan yang kita tulis dengan teks lain yang ada di buku, jurnal, majalah, atau yang ditemukan di blog dan media online. Secara umum similarity ditemukan atau dideteksi melalui aplikasi berbasis website seperti Turnitin, Grammarly, dan lainnya.
Secara substansi, similarity itu kesamaan tulisan yang kita ketik dengan tulisan lain, entah disengaja atau tidak disengaja. Sedangkan plagiasi itu memang mengutip pendapat, data, atau gambar, tanpa mencantumkan sumber atau sitasi. Namun keduanya memiliki kesamaan: ya sama-sama harus dihindari.
Masalahnya, sejak populernya syarat cek similarity di dunia kampus terjadi bias similarity. Maksudnya, bagi yang awam, bahkan dosen pun, menyimpulkan similarity adalah plagiasi. Padahal sangat berbeda antara keduanya. Similarity lebih pada kesamaan teks kita dengan dokumen lain. Plagiasi itu jelas perbuatan tercela.
Poin inti yang ingin saya sampaikan di tulisan ini adalah meski kita punya buku cetak dengan mengutip dari buku itu, namun ketika kata, kalimat, sampai paragraf sama persis dengan teks di buku dan teks itu sudah terupload di internet, maka itu tetap kena similarity. Maka jangan sampai kita mengutip dengan teknik kutipan langsung, namun perlu teknik agar terhindar dari similarity. Sebab, kebanyakan orang masih menganggap bahwa similarity itu plagiasi.
Teknik Meminimalkan Similarity
Bagi saya, similarity tidak bisa dihindari. Bisanya, ya sekadar dikurangi, diminimalkan, atau harus ada teknik agar tidak terkena similarity tinggi. Pertama, hindari niat plagiasi. Ya, jangan sekali-kali tergoda melakukan plagiasi, jiplak, copas, copy paste atau apapun namanya. Sebab, plagiasi yang dilakukan biasanya hanya pakai teknik blog-control A-control C-control V. Di sinilah awal kali terjadi similarity tinggi.
Maka dalam konteks ini, plagiasi itu sama saja mendangkalkan nalar kritis dan sangat tercela. Sebab, perubahan besar itu lahir dari ide besar yang dominan dikembangkan lewat tulisan. La kalau tulisannya hasil curian, njuk piye jal? Ibarat orang pergi haji dengan uang hasil korupsi. Duh!
Kedua, lakukan parafrasa dan teknik kutipan tidak langsung. Sejak menekuni karya tulis ilmiah, hal yang susah-susah mudah, atau mudah-mudah susah adalah parafrasa. Sebuah kegiatan membolak-balikkan kata dan frasa sehingga terhindar dari similarity atas hasil dari aplikasi seperti Turnitin atau Grammarly. Parafrasa mudahnya adalah menulis ulang teks yang kita sitasi dengan bahasa sendiri. Intinya, teks boleh berbeda namun tak boleh mengubah substansi. Seperti contoh kita mengutip kalimat seperti ini “Negara Indonesia memiliki 17.504 pulau yang tersebar di 38 provinsi dengan karakteristik yang berbeda-beda”. Ketika kita mengutip hanya sekadar copas dan sama persis, maka akan terkena similarity. Maka kita harus mengutipnya dengan teknik kutipan tidak langsung seperti ini “Jumlah pulau di Nusantara terdiri atas 17.504 yang berada pada tiga puluh delapan provinsi yang memiliki keunikannya masing-masing”. Ketika dikutip demikian, dipastikan tidak akan terkena similarity.
Ketiga, lakukan teknik mengubah kata dengan tidak melihat subjek, predikat, objek, keterangan (SPOK). Dalam tata bahasa, pola SPOK ini memudahkan penyusunan kalimat dan memudahkan pembaca paham. Namun untuk meminimalkan similarity, kita boleh mengubah pola SPOK dengan interpretasi kita yang penting kata-katanya beda dan tidak melenceng dari substansi dan konteks kalimat.
Keempat, hindari mengutip teks yang tidak bisa diubah, seperti terjemahan ayat Al-Quran, Pancasila, Undang-undang 1945, dan lainnya. Ketika kita akan mengutip teks-teks tersebut, bisa disuguhkan dengan cara kutipan tidak langsung, atau dinyatakan substansinya saja meski kalimatnya berbeda.
Kelima, perbanyak diksi untuk menuangkan tulisan yang akan kita kutip dengan tulisan kita sendiri. Misalnya adalah kata Indonesia bisa kita ganti “negara ini”, “Nusantara”, “bangsa ini”. Kata perempuan kita ganti dengan “wanita”, “kaum ibu”, kaum feminim”, “kaum hawa” dan lainnya. Contoh lagi kata siswa kita tulis “peserta didik”, “anak”, “anak didik”, “murid”, “thalabah”, “pelajar”, “pencari ilmu”, dan lainnya. Intinya adalah kita harus banyak baca dan menghimpun banyak diksi melalui membaca dan meriset. Tanpa itu, bank kata di dalam pikiran kita akan terbatas.
Keenam, ketika mau mengutip, pahami substansinya, dibaca dulu, lalu ditulis dengan tidak melihat teks aslinya. Hal ini bisa disebut sebagai interpretasi penulis terhadap bacaan yang akan dikutip. Wajar dan sah-sah saja, asalkan tidak mengubah substansi teks yang kita sitasi.
Ketujuh, lakukan penggabungan kalimat dari berbagai sumber. Maksudnya, satu kalimat bisa jadi Anda kutip dari berbagai sumber. Jangan kutip satu kalimat dari satu sumber, dan ini memang pola susah. Namun sebenarnya bisa dilakukan dengan membaca banyak sumber. Artinya, satu kalimat yang Anda tulis bisa memiliki lima sampai supuluh rujukan dan pasti hal ini tidak akan terkena similarity karena kalimat yang ditulis adalah interpretasi dari sumber-sumber yang Anda baca, bukan satu sumber yang pastinya susah untuk melakukan parafrasa.
Kedelapan, gunakan pola terjemahan ke dalam berbagai bahasa. Anda bisa menggunakan tool terjemah apapun. Ketika teks aslinya bahasa Indonesia, lalu terjemahkanlah ke dalam bahasa Inggris, lalu geser lagi ke Spanyol, geser lagi ke Jepang, geser lagi ke Indonesia. Cara ini lumayan bagus, namun tetap saja berimplikasi pada susunan kalimat yang kacau. Namun bisa menekan angka similarity.
Kesembilan, gunakan bantuan aplikasi parafrasa berbasis website, jika Anda tidak punya kecerdasan dan bisa melakukan teknik-teknik di atas, yaitu QuillBot, Grammarly, Paraphrasing Tool, Ginger Software, WordAi, Amazon, Linguix, dan lainnya.
Kesembilan teknik di atas sudah saya coba dan lakukan semua. Namun saya sendiri ketika menulis artikel ilmiah, paling maksimal 10 persen similarity yang saya alami. Apalagi untuk jurnal internasional bereputasi yang terindeks Scopus, Web of Science, Thomson Reuters, dan lainnya. Maka sebenarnya tulisan ini menegaskan bahwa bukan masalah sama atau tidak sama, namun ketika Anda tidak plagiasi tentu tidak akan terkena similarity ketika dicek di aplikasi.
Penyebab utama adanya similarity dan plagiasi tidak sekadar ketidaktahuan, namun saya amati sumber pokoknya karena kemalasan. Malas berpikir, malas membaca, malas mencari sumber-sumber bereputasi yang melimpah di Google Scholar, Eric, ScienceDirect, atau aplikasi Publish or Perish, akhirnya copaslah jalan keluarnya. Sangat tercela. Jadi, mari kita biasakan menulis dengan teks asli yang bebas plagiasi, duplikasi, falsifikasi, fabrikasi, maupun silimarity. Jika Anda masih melakukan dosa-dosa akademik tersebut, ya sudahlah itu soal pilihan. Maka pertanyaan dan pernyataannya, jika tak mau kena plagiasi atau similarity ya tak usah menulis. Bukankah demikian?
-Penulis adalah dosen dan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung.