Cerpen Musyafa Asyari
Ketika kebencian ingin mencekikmu, pejamkan mata, diam dan tarik napas dalam-dalam kemudian embuskan perlahan. Berdamailah dengan kebencian itu. Pada sebuah kebencian, aku teringat pada sebait kisah yang akan aku tuturkan…
Di desaku ada lelaki yang selalu dibenci warga. Jika kau selalu berpikir bahwa dunia itu indah maka kau tidak akan menemuinya pada lelaki itu. Tapi jika kau berpikir dunia itu kutukan, maka kau akan meyakini semua hal itu ada pada dirinya.
Lelaki itu dipasung di rumah tua dengan ruangan sempit tak manusiawi. Tak ada jendela maupun ventilasi, hanya ada sebuah pintu dengan lubang kecil yang digunakan keluarganya atau orang lain memberi makan. Dia jelek, bodoh dan lahir tanpa diminta. Bagaimana rasanya menjadi anak yang lahir tanpa diminta? Tanyakan pertanyaan ini padanya. Ia adalah korban gagal gugur kandung seorang perempuan, hasil dari hubungan gelap yang terlaknat. Dia ditemukan warga dalam sebuah kardus yang tergeletak di tong sampah pinggir jalan. Ibu yang sekarang merawatnya bukanlah ibu sebenarnya.
- Iklan -
Dahulu, lelaki itu tidak dipasung. Kala itu ia menginjak remaja dan suka berjalan keliling kampung. Semua orang takut di saat melihatnya. Mengapa tidak, semua tubuh dan wajahnya di selimuti tato. Hal ini terjadi akibat pergaulan bebas. Ia jarang mandi apalagi mengganti pakaian, ia selalu memakai kaus hijau polos dengan celana kolor berwarna hitam. Dia cenderung lebih senang ketika berkotor-kotor ria dengan tubuh kurusnya.
Anak-anak kecil sering mengawasinya dari belakang, ketika ada kesempatan mereka melemparinya dengan batu kerikil. Awalnya, lelaki itu tidak menggubrisnya. Ia hanya memperlihatkan muka lusuh sembari menutupi kebenciannya. Tapi semakin ia diam, anak-anak itu kian menjadi-jadi. Sampai akhirnya, ketika anak-anak kecil pulang sekolah, mereka kembali melempari punggungnya dengan kerikil. Tanpa disadari, lelaki tersebut seakan dibisik setan agar kembali membalas menyakiti. Lelaki itu mengambil sebongkah kayu besar yang tergeletak di jalan. Tangannya yang dekil mengayunkan kayu besar ke arah anak-anak itu. Seorang anak dengan tubuh mungil terkena timpukannya. Membuat kepalanya terluka, hingga bercucuran darah. Darah segar mengucur dari kepalanya. Mengubah seragam putih menjadi merah darah. Dia pulang dan mengadu kepada ibunya, sementara anak-anak lain menjadi takut dan pulang tak kembali.
Kemudian, drama yang terduga kini terjadi. Keluarga anak yang terkena timpukan kayu tersebut datang ke rumah lelaki itu. Ia mengomel dan memarahi lelaki yang sedang ketakutan di pojok rumah. Ibu anak tersebut menunjukan luka beserta tempelan perban di atas kepala anaknya karena kelakuan lelaki itu. Ia bahkan menjuluki lelaki itu dengan sebutan pembawa petaka, sebab perilaku lelaki tersebut yang jauh dari perilaku manusia pada umumnya. Terpaksa keluarga lelaki tersebut memasungnya di ruangan sempit bekas gudang belakang rumah. Ruangan yang tak bisa disebut manusiawi karena ukurannya yang hanya bisa ditempati satu orang tanpa barang dan penerangan.
Bentakan hingga cacian ia terima saat masuk ke ruang pasung itu. Ia hanya bisa pasrah menghadapi orang-orang itu. Orang-orang yang begitu asing dalam hidupnya yang hanya tahu akan kekurangan tanpa memandang kelebihan. Mereka memasang muka sangar dan ganas beserta dengan tuduhan-tuduhan yang sama sekali tak ia pahami. Bahkan sampai detik ini, pertanyaaan mereka tak pernah ia jawab. Atap dan tembok pun membisu seakan takut membela lelaki itu.
Sejak itu lelaki tersebut tinggal di dalamnya. Hari silih berganti, tanpa tahu siang ataupun malam. Lelaki itu sendirian dan istikamah di dalamnya tanpa ada orang yang mengkhawatirkan dan tahu keberadaannya. Ia hanya dikunjungi oleh orang iba yang mengantarkan makanannya saja. Saat ia merasa sepi, matanya terpejam berharap hatinya sendiri bisa menjadi teman sepinya. Saat ia merasa lapar, matanya ditajamkan akan cahaya dari lubang kecil yang terbuka oleh seseorang yang memberinya makan. Ia mulai terbiasa makan dan membuang kotoran di tempat yang sama. Orang yang biasa membersihkannya pun sangat jarang datang, hingga lelaki tersebut kerap akan bau tak sedap.
Selanjutnya, bagaimana rasanya hidup dalam sepi dan benci? Pertanyaan ini cocok diajukan kepadanya mengingat dia yang selalu merasakannya. Tak ada satu pun orang yang tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di dalam ruang pasung itu. Apakah ia zikir atau salat? Ah, sebelum dipasung pun ia tak pernah salat apalagi zikir. Kehidupannya selalu diisi dengan keliling kampung tanpa arah tujuan yang pasti. Teriak hingga berontak sering terdengar di ruang pasung itu sehingga benar-benar tak ada orang yang mendekat. Mungkin ketika lelaki itu sudah bebas dari ruang pasungnya, orang-orang akan berkata: Kenapa ia masih bisa bertahan hidup padahal ia sendiri?
Sekian lama, ruang pasungnya kian reyot dan rapuh. Rayap dan karat datang membuat lubang kecil di atap ruangan—kini ada lubang kecil. Secercah sinar matahari kini bisa masuk lewat lubang itu berbaur dengan debu yang beterbangan ke dalam ruangan sempit, sebab tak ada jendela atau pun ventilasi. Berbeda dengan hari biasanya, kini lelaki itu tampak senang karena mendapatkan segaris cahaya matahari dari lubang itu. Bertahun-tahun lamanya ia tak pernah melihat cahaya dan sekarang ia lupa bahwa yang dilihatnya adalah matahari. Untuk pertama kali setelah sekian lama, cahaya matahari yang masuk ke ruang itu ia sebut teman. Ia selalu menunggu teman barunya guna sekadar bercakap-cakap dengan bahasanya sendiri.
Tapi semakin hari, matahari kian hilang. Lelaki tersebut kembali menghiburnya dengan bahasanya sendiri. Namun, matahari tak kunjung datang. Hingga suatu hari matahari tak terlihat bercahaya. Ia sedih sekali lalu mengira bahwa matahari meninggalkannya. Siang itu hujan turun deras menyebabkan lelaki itu berpikir temannya juga sedang menangis. Maka ia pun ikut menangis pula, merasakan kesedihan yang dirasakan oleh temannya.
Terlepas dari itu, di desa tempat lelaki tersebut dipasung sedang di laksanakan pengajian rutianan setiap bulan yang diadakan oleh Ustad jakfar.
“Apakah kalian tau serban yang saya kenakan ini milik siapa?” Ujar ustaz Jakfar kepada jemaahnya.
“Tidak, Ustaz…,” serempak.
“Serban ini adalah peninggalan dari Syekh Subakir, yang diwariskan turun temurun kepada kiai-kiai yang pantas menerimanya. Konon katanya orang yang memakai serban ini, dia pantas disebut kiai atau wali,” lanjut ustaz Jakfar sambil memegangi serbannya.
“Serban ini adalah simbol dari kewibawaan dan ketinggian ilmu seseorang. Namun, saya bingung akan mewariskan serban ini kepada siapa?”
Jemaah yang masih awam pun hanya bisa menganggut-anggut, salut. Takjub. Jemaah yang menghadiri pengajian itu berharap agar bisa mewarisi serban tersebut—mengingat keutamaannya yang luar biasa.
Sepulang dari pengajian, ustaz Jakfar berjalan kaki menuju rumahnya. Tiba-tiba, di tengah jalan hujan turun dengan derasnya. Ustaz jakfar tak bisa kembali melanjutkan perjalanannya hingga ia meneduh di depan ruang kecil dengan atap yang sudah reyot dan rapuh. Satu jam berlalu hujan tak kunjung reda hingga ustaz Jakfar ketiduran.
Dalam mimpinya, ia dibisiki oleh orang berjubah putih dengan memakai serban yang sama seperti yang dikenakan ustaz Jakfar agar memberikan serban tersebut kepada orang yang berada dalam ruang kecil itu. Seketika itu juga ustaz Jakfar bangun, tanpa berpikir panjang ustaz Jakfar menjatuhkan serban itu ke dalam ruangan itu lewat lubang kecil di tengah pintu, tanpa tau siapa yang berada di dalamnya.
Matahari semakin tak terlihat akibat mendung hujan yang mengguyur tak kenal reda. Tetesan air hujan sering kali masuk ke ruang pasung lewat atap ruang yang bocor. Mengenai kepala lelaki itu dan membuatnya basah. Lelaki yang dipasung sekali lagi menghibur dengan bahasa sendiri yang hanya bisa ia mengerti. Ia tak pernah lelah. Tapi langit kian petang. Matahari semakin menangis. Lelah. Matahari tak kunjung datang. Lelaki itu tertidur. Dia menggigil kedinginan hebat tanpa ada seorang pun peduli keberadaannya. Dirasakan tubuhnya demam. Paginya ia terbangun dengan serban di sampingnya dan ia anggap teman. Lalu ia tertidur tanpa merasa perlu bangun lagi dengan serban menyelimuti tubuhnya. (*)
MUSYAFA ASYARI, Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri K.Hm Syaifuddin Zuhri Purwokerto. Lahir di Benda, Sirampog, Brebes, 1 Juni. Agama Islam. Bergiat menjadi anggota SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban). Karyanya pernah terpublikasikan di beberapa media online seperti ngewiyak.com, cerano id, go kenje, Borobudur Writers, sksp literary. Balipolitika.com
Sekarang sedang berdomisili di Ponpes Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto, dan Ponpes Darul Ghuroba Al-Hikmah 1. IG Musyafa Asyarie