Oleh Sam Edy Yuswanto
Pada hakikatnya, pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari adalah sebagai bekal kita untuk beribadah kepada Allah Swt. Oleh karenanya, pekerjaan yang kita lakukan mestinya jangan sampai membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya. Jangan sampai hanya gara-gara terlampau sibuk bekerja, kita rela menanggalkan kewajiban kita sebagai umat Islam, shalat lima waktu misalnya.
Menjalani kehidupan di dunia ini sudah sewajarnya setiap orang bekerja. Jangan sampai ketika kita sudah dewasa, kita malah enggan bekerja dan memilih menjadi pengangguran abadi. Jangan sampai kita menjadi orang yang selalu merepotkan orang lain, misalnya menjadi pengemis padahal jiwa dan raga kita sehat.
Ada begitu banyak orang yang jiwa dan raganya sehat tapi memilih menjadi pengemis. Memang menjadi pengemis itu tampak mengenaskan dan remeh di mata umum. Tapi mungkin bagi mereka (para pengemis itu) tak dianggap masalah karena penghasilan yang diperoleh dari mengemis nyatanya sangat banyak, bahkan bisa melebihi orang-orang yang berjualan makanan dan minuman di pinggir jalan. Bahkan melebihi mereka yang bekerja susah-payah di kantoran atau pertokoan. Maka, tak heran bila makin ke sini makin banyak orang yang tertarik menjadi pengemis daripada bekerja susah-payah tapi hasilnya tak seberapa.
- Iklan -
Memang sangatlah sulit untuk mengubah mental pengemis yang sudah melekat dan mendarah daging pada jiwa sebagian orang. Butuh pendampingan khusus agar hati mereka terketuk hati untuk berhenti menjadi pengemis dan memilih jalan mulia yakni menjadi manusia pekerja keras.
Ahmad Mundzir dalam tulisannya (NU Online, 10/9/2019) menyimpulkan bahwa profesi mengemis bagi orang yang bisa bekerja atau mempunyai kemampuan hukumnya dilarang oleh Rasulullah Saw. Ancaman bagi orang yang suka mengemis dalam rangka memperkaya diri sendiri akan mendapatkan siksaan dari Allah Swt. Apalagi, materi bukanlah tolok ukur segala-galanya. Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa kekayaan yang hakiki adalah kekayaan jiwa, bukan harta. “Kekayaan tidaklah dari banyaknya harta. Namun yang dinamakan kaya adalah kaya jiwa” (HR. Bukhari).
Menurut saya, ada begitu banyak pilihan atau jenis pekerjaan bila kita mau berusaha bekerja tanpa memandang gengsi. Yang terpenting pekerjaan yang kita lakukan itu halal. Intinya, jangan sampai kita memilih untuk menganggur, apalagi sampai menganggur terlalu lama.
Jangan hanya gara-gara kita seorang sarjana, lulusan S1, S2, dan seterusnya, kita merasa gengsi untuk melakukan pekerjaan yang tak sesuai dengan bidang yang kita geluti, misalnya menjadi pedagang atau berjualan makanan dan minuman. Hanya karena terlalu pilih-pilih pekerjaan, kita malah menjadi pengangguran abadi. Hanya karena bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil atau ASN usai lulus kuliah, kita memilih berdiam diri, hanya menunggu lowongan pekerjaan datang, dan akhirnya menganggur terlalu lama tanpa melakukan apa-apa.
Saya merasa yakin, siapa pun tentu bersepakat bahwa menjadi seorang pengangguran itu tidaklah enak. Karena menganggur berarti kita tidak memiliki uang. Sementara kita tahu, kebutuhan sehari-hari begitu banyak dan beragam dan baru tercukupi kalau kita memiliki uang yang banyak. Bagaimana kita memiliki uang banyak kalau kita tidak bekerja?
Oleh karenanya, berusahalah untuk bergerak, melakukan apa saja, yang bisa mendatangkan uang. Asalkan itu pekerjaan halal, kerjakanlah meskipun tampak kecil atau dianggap sepele oleh orang lain. Tidak perlu merasa berkecil hati. Pekerjaan sekecil apa pun itu lebih mulia daripada mereka yang sehat jiwa raganya tetapi memilih untuk menjadi pengemis.
Bicara tentang keutamaan bekerja daripada menjadi peminta-minta, dalam buku Kerja Berbuah Surga, Arip Purkon menjelaskan sebuah hadits riwayat Bukhari. Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila seseorang mencari kayu bakar lalu diikat dan dibawa di atas punggungnya adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik (permintaannya) diberi atau tidak.”
Selanjutnya terkait bahayanya menjadi pengangguran, Arip Purkon, masih dari sumber yang sama, juga membeberkan sebuah hadis yang menjelaskan tentang larangan menjadi penganggur. Dari Makhul ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Kalian jangan menjadi orang yang suka mencari aib orang lain, orang yang terlalu banyak memuji (penjilat), orang yang suka mencela, dan orang yang seperti mayat (yaitu orang yang menjadikan dirinya seperti mayat yaitu tidak bekerja).”
Bila merenungi hadis di atas, sungguh sangat mengenaskan perumpamaan yang ditujukan kepada orang yang memilih menjadi pengangguran. Ia diumpakan seperti seonggok mayat. Kita tentu tahu bahwa yang namanya mayat itu sudah tidak bisa bergerak dan tak mampu melakukan apa-apa lagi. Karena nyawanya sudah pergi dari raganya. Orang yang masih hidup yang tidak mau bekerja itu ibarat seonggok mayat yang tak berguna. Na’uzubillaahi min dzaalik.
Semoga lewat tulisan sederhana dan singkat ini, kita semua dapat kembali merenungi bahwa bekerja itu (apa pun bentuknya asalkan itu halal) lebih utama dan mulia daripada menjadi pengangguran, apalagi sampai menjadi pengemis. Jangan lupa, niatkanlah setiap pekerjaan yang kita lakukan sebagai bekal untuk beribadah atau bekal untuk meningkatkan amal kebajikan. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
SAM EDY YUSWANTO, penulis lepas, mukim di Kebumen.