Oleh Muhamad Nur Ma’ruf
Dalam upaya merawat ajaran Islam sebagai tradisi masa lalu hal penting yang sering dilupakan adalah rasionalisasi dan kontekstualisasi pemahaman nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan. Tujuannya untuk menemukan substansi dengan kaitannya pada tataran sosial-budaya tertentu dengan suatu simbolisasi. Nilai-nilai tersebut dialokasikan ke dalam budaya baru dengan pendekatan subtantivistik.
Hal tersebut menjadi suatu formulasi dalam keyakinan bahwa Islam adalah agama universal yang memiliki misi rahmah li al-‘alamin. Universalitas ini meniscayakan ajaran Islam untuk relevan dalam setiap waktu dan tempat atau disebut shalih li kuli zaman wa makan. Oleh karenanya Islam selalu meniscayakan adanya pemahaman dalam upaya kontekstualisasi terhadap dinamika kebudayaan. Salah satu kajian kontemporer mengenai upaya tersebut adalah model pemikiran post-tradisionalisme Islam.
Dalam tinjauan post-tradisionalisme Islam, kerangka pembaharuan pemikiran memiliki titik pangkal pada tradisi. Demikian pula yang diungkapkan oleh hasan Hanafi bahwa pembaharuan merupakan rekonstruksi interpretasi tradisi terhadap perkembangan zaman. Tradisi merupakan kumpulan transformasi teori-teori dalam kerangka historis tertentu oleh suatu kelompok yang mengungkapkan pikiran dan pandangannya terhadap alam (Abdul Basid, 2017). Disini Hasan Hanafi sebenarnya ingin mengatakan bahwa tradisi bukanlah suatu pandangan teoritis dan fakta-fakta yang statis. Maka secara otomatis tradisi itu terus dilakukan interpretasi secara dinamis terhadap setiap realitas yang dilaluinya.
- Iklan -
Membahas kajian post-tradisionalisme Islam tentu tak akan bisa dilepaskan dari tokoh utamanya, yaitu Muhammad Abd al-Jabiri. Menurut al-Jabiri gerakan post-tradisionalisme mampu menyelamatkan tradisi Islam, dilain sisi juga keaslian ajaran Islam dalam dinamika sejarah. Al-Jabiri sesungguhnya juga terilhami oleh gagasan mengenai turast (tradisi) dalam merumuskan post-tradisionalisme Islam.
Para tokoh tradisionalisme Islam mencari sintesis baru melalui dialog kritis yang digali dari tradisi Islam, barat, dan lokal. Melalui konsepnya, yakni al-Mukhafadzah (menjaga tradisi) dan juga (al-Akhdzu) (mengambil modernitas) yang terangkum dalam, “ al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”(menjaga tradisi lama yang masih baik, seraya mengambil tradisi baru yang lebih baik) (Jamaluddin dan Mohammad Rapik, 2017).
Kajian post-tradisionalisme adalah gagasan pemikiran yang memiliki basis pada tradisi yang ditransformasikan secara progresif namun tetap berakar pada tradisi aslinya. Tradisi yang dimaksud adalah seluruh khazanah masa lalu dalam dinamika kehidupan manusia. Al-Jabiri menyatakan bahwa dalam kajian kritis-analisis terhadap tradisi sebagai pijakan pembaharuan , setidaknya terdapat tiga metode yang harus dilakukan.
Pertama, strukturalis, yakni mengkaji sejarah dari berbagai macam teks dalam melihat bagaimana perubahan yang terjadi dalam menemukan kerangka pemikiran. Kedua, analisis sejarah dengan menguji kevalidan metodologi struktural, serta mengaitkannya dengan budaya politik. Ketiga, kritik ideologis sebagai upaya mengungkap aspek ideologis dalam memahami konteks teks tersebut. Kemudian barulah memosisikan khazanah klasik tersebut agar mampu berdialog dengan ruang dan waktu (Jamaluddin dan Mohammad Rapik, 2017).
Dalam konteks post-tradisionalisme, tradisi Islam dipandang mampu menjadi pendorong atas kemajuan jika dikelola dengan kreatif, positif, dan juga inovatif. Tradisi ini memiliki peranan yang penting, karena dengannya masyarakat akan membentuk keteraturan dan ketertiban. Begitu sebaliknya, apabila tradisi ini disingkirkan bukan tidak mungkin akan terjadi chaos (kekacauan) dalam masyarakat. Artinya bahwa tradisi memang mempunyai tempat strategis dalam konstruksi kehidupan masyarakat.
Dalam konteks tokoh Muslim Indonesia, adalah Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang menggunakan metodologis post-tradisionalisme ini untuk mengkaji secara kritis tradisi yang telah lama dilestarikan oleh kalangan nahdliyyin. Karena kita tahu bahwa kalangan Islam Nahdlatul Ulama memiliki koleksi lengkap atas khazanah pemikiran Islam klasik (Ahmad Riyadi, 2003). Maka khazanah tersebut juga perlu dilakukan pembacaan ulang agar tidak “ternina bobokan” atas kajian masa lalu yang digagas saat ini. Oleh karenanya upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara kajian secara metodologis supaya terbangun adanya sikap objektif dan kesinambungan gagasan. Gagasan masa lalu tidak lantas dipandang sebagai sebuah fatwa, namun sebagai metodologis dalam menemukan relevansi antara masa lalu dan masa kini.
Menghidupkan Gus Dur
Abdurahman Wahid atau Gus Dur menjadi salah seorang pemikir Islam yang pengaruhnya tidak bisa dinafikan lagi. Mantan presiden ke-4 RI ini telah membawa banyak gagasannya ke dalam berbagai komunitas masyarakat. Melalui konsep dan metodologi berpikir ala post-tradisionalisme Islam, Gus Dur mampu memberikan bukti nyata terkait bagaimana Islam sebagai sebuah identitas agama yang kemudian mampu di dialogkan dalam setiap realitas yang ada.
Identitas Gus Dur sebagai orang yang lahir dari kalangan pesantren dan seorang Nahdliyyin tampak unik dengan gagasan-gagasan rekontekstulisasi pemikiran Islam. Sebab perannya dalam membangun konstruksi pembaharuan Islam nyata terlihat tatkala ia menjadi ketua umum PBNU kala itu. Bahkan berbagai gagasan dan pemikirannya yang begitu brilian itu tampak dirindukan oleh banyak kalangan, terutama nahdliyyin hingga saat ini.
Tak ayal jika dalam kepengurusan yang baru ini, PBNU mempunyai visi untuk menghidupkan kembali (gagasan) Gus Dur. Melalui sang Ketua Umum, KH. Yahya Tsaquf, PBNU menggagas berbagai program kerja sebagai manifestasi dari upaya menghidupkan Gus Dur tersebut.
Karena bagi Gus Yahya, terdapat dua hal penting dari Gus Dur yang ingin ia hidupkan kembali. Pertama, yaitu Idealisme. Menurut Kyai asal rembang itu, idealisme Gus Dur adalah terkait dengan kemanusiaan universal. Sekaligus menciptakan ekosistem yang inklusif dalam memahami realitas masyarakat yang heterogen sebagai sebuah keniscayaan. Prinsip Gus Dur tentang pluralitas dan setuju dalam keragaman adalah suatu idealisme yang perlu dihidupkan kembali pada saat ini.
PBNU, dalam hal ini sebagai Subjek untuk menghidupkan idealisme Gus Dur, mempunyai tugas yang cukup berat di tengah degradasi moral dan disrupsi era. Sebagai sebuah institusi yang menaungi hampir 50% dari penduduk Muslim Indonesia PBNU harus bisa menjadikan dirinya bermanfaat kepada semua kalangan tanpa terkecuali. Berdampak positif bagi seala sisi kehidupan pada masyarakat yang heterogen.
Kedua, yaitu Visi. Gus Yahya mengatakan jika Gus Dur memiliki sebuah visi berupa menciptakan adanya konstruksi transformasi atas berbagai realitas yang ada. Arah transformasi ini harus berada pada jalur yang tepat sasaran dan dapat dirasakan oleh semua kalangan. Konstruksi transformasi ini dimaksudkan untuk menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik. Sejatinya NU memiliki bonus demografis, dengan sumber daya manusia yang beragam. Ini diharapkan bisa dikelola dengan baik, sehingga mampu menjadi motor penggerak bagi terciptanya konstruksi transformasi dalam kerangka Merawat Jagad dan Membangun Peradaban.
Dua hal yang ingin dihidupkan kembali oleh PBNU dari seorang Abdurahman Wahid, yaitu Idealisme dan visi, merupakan dampak dan manifestasi dari pola metodologi gagasan pos-tradisionalisme Islam yang mempengaruhi alam pemikirannya.
- Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam