*)Oleh: Tjahjono Widarmanto
Sejarah menunjukkan fakta bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan pulau, ratusan suku bangsa, ribuan bahasa, serta ribuan adat istiadat dan kebudayaan ini dipersatukan oleh dua hal. Kedua hal tersebut yang pertama, adalah ideologi dan yang kedua adalah bahasa.
Pancasila sebagai Ideologi sekaligus dasar filsafat bangsa Indonesia mempersatukan Indonesia dalam bingkai politik dan orientasi bernegara. Melalui Pancasilalah dicapai persamaan dan kesamaan yang mengikat seluruh warga Indonesia dalam kesadaran persatuan dan kesatuan. Melalui ideologi Pancasilalah dicapai persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam Pancasila sila ketiga, secara terang benderang disebutkan peneguhan ikatan itu, yaitu ‘persatuan Indonesia’.
- Iklan -
Kita pun tahu bahwa perjalanan Pancasila sebagai ideologi yang mempersatukan bangsa ini sangatlah panjang, berliku dan tidak jarang mengalami benturan-benturan. Benturan-benturan tersebut terjadi baik melalui upaya legal yaitu perdebatan di konstitusi maupun ilegal berupa pemberontakan-pemberontakan. Upaya legal yaitu melalui perdebatan dalam konstitusi seperti keinginan untuk mengganti ideologi dan dasar negara dengan berupa agama, atau dengan isme-isme sosial-ekonomi. Sedangkan jalan ilegal misalnya pemberontakan bersenjata DI TII, PKI, Aceh Merdeka, Papua Merdeka, dan sebagainya.
Pemersatu bangsa Indonesia yang kedua ialah ‘bahasa’. Bahasa Indonesia menjadi pengikat dan penjalin paling ampuh bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa jauh lebih dulu diikrarkan mendahului pengakuan Pancasila sebagai dasar negara. Pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mempersatukan bangsa Indonesia itu terjadi semenjak para pemuda, 94 tahun lalu, tepatnya pada 28 Oktober 1928, dengan diikrarnya Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II.
Perjalanan Kongres Pemuda II dalam menelurkan Sumpah Pemuda pun adalah perjalanan sejarah yang panjang. Embrionya adalah Kongres pemuda pertama di tahun 1926, tepatnya 30 April-2 Mei 1926. Dipengaruhi kesadaran yang sama tentang persatuan dan kesatuan menuju ke kemerdekaan, para pemuda yang bergabung dalam berbagai perkumpulan politik, sosial, budaya dan dari berbagai wilayah Nusantara itu memimpikan sebuah identitas tanah air, bangsa dan bahasa.
Dalam Kongres Pemuda I itu digagas berbagai persoalan kebangsaan, di antaranya ‘semngat kerja sama di antara organisasi-organisa pemuda untuk dasar persatuan Indonesia’, ‘kedudukan wanita Indonesia dalam masyarakat Indonesia’, ‘peranan agama dalam gerakan nasional; juga ‘masa depan bahasa-bahasa di Indonesia dan kesusastraannya’. Kongres Pemuda I ini belum mencapai kata sepakat tentang bahasa mana yang akan dipakai sebagai bahasa persatuan. Mereka masih menimbang-nimbang peluang bahasa Jawa, bahasa Melayu, atau bahasa yang lain untuk menjadi bahasa persatuan. Belum tercapai sepakat, namun Tabrani, sang pemimpin kongres pertama itu memprovokasi,:”Kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsanya bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa, bukan pula bahasa Melayu, walaupun mungkin ada unsur-unsurnya’. Perdebatan persoalan bahasa ini belum menemukan titik temu dan disepakati untuk ditunda dan dibicarakan lagi dalam Kongres Pemuda kedua.
Dua tahun kemudian, pada 28 Oktober 1928, di selenggarakan Kongres pemuda yang kedua. Pada kongres Pemuda II ini kembali dibicarakan perihal bahasa persatuan. Dalam kongres itu Moh. Yamin berbicara panjang lebar tentang persatuan dan kesatuan dan pentingnya bahasa persatuan untuk menyatukan seluruh suku di Indonesia. Dalam kongres itu pula Yamin menyampaikan bahwa jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada maka terdapat dua bahasa yang memiliki peluang untuk menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa jawa dan bahasa Melayu. Akhirnya disepakatilah bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayulah yang dipakai sebagai bahasa persatuan melengkapi dua kesepakatan sebelumnya mengenai tumpah darah dan bangsa. Maka dirumuskanlah Sumpah Pemuda:
“Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Sejak disepakatinya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tidak pernah keberadaan bahasa Indonesia menghadapi konflik yang berlarut. Semenjak diakunya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan maka persoalan bahasa nasional dianggap sudah selesai dan final. Tidak pernah ada penolakan-penolakan besar dari para pendukung bahasa-bahasa besar, seperti bahasa jawa dan bahasa Sunda. Tidak ada pula upaya pemaksaan untuk mengganti bahasa nasional. Bahasa Indonesia sendiri sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional tidak beroposisi terhadap bahasa-bahasa daerah. Bahasa Indonesia memiliki potensi untuk tidak hanya berkembang, namun juga kesanggupan menjadi jembatan komunikasi di antara berbagai kelompok budaya. Bahasa Indonesia sendiri tidak merepresentasikan identitas kesukuan, tidak mengklaim identitas budaya dan suku tertentu tapi menjadi representasi bersama seluruh identitas budaya dan suku yang ada di Indonesia.
Disepakatinya bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan otomatis mengusung konsekuensi politik yaitu keberadaannya dikukuhkan sebagai bahasa negara. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara ini secara yuridis terdapat dalam pasal 26 UUD 1945.
Konsekuensi ini pula yang menyebabkan bahasa Indonesia dalam perkembangannya memiliki dua fungsi penting dalam kelangsungan bernegara, yaitu sebagai bahasa nasional yang mempersatukan seluruh bangsa, sekaligus sebagai bahasa resmi yang digunakan negara dalam menjalankan fungsi dan tugas institusi kenegaraan
. Sebagai bahasa nasional yang mempersatukan, bahasa Indonesia perlu mempunyai norma-norma dan kaidah yang dapat dijadikan pedoman yang dapat mewujud dalam aturan-aturan kebahasaan yang digunakan bersama. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional yang mempersatukan ini mensyaratkan kedudukan yang sama tanpa membedakan kelas sosial, latar budaya, kesukuan, umur, status dan pembeda-pembeda yang lain. Artinya, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang mempersatukan harus bersifat egaliter.
Di sisi lain, sebagai bahasa negara bertolak belakang dari situasi ini. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan menuntut terjadinya pembakuan dan ‘keresmian’ yang birokratis yang menanggalkan dan mengubah sifat egaliternya menjadi sifat yang feodal dan birokratisasi yang mau tidak mau menonjolkan perbedaan status penutur dan lawan tuturnya. Terjadilah ketegangan bahkan tarik-menarik antara tuntutan egaliter dan tuntutan birokratisasi.
Apapun konsekuensi yang terjadi, momentum Sumpah Pemudada membuktikan bahwa bahasa sangat memiliki peran yang penting dalam kehidupan berbangsa. Tak hanya memiliki andil besar dalam mengkongkritkan identitas bangsa namun juga menjadi tali yang kokoh dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang plural. Melalui Sumpah Pemuda, semboyan ‘bahasa identitas bangsa’ menjadi sesuatu yang nyata. Peristiwa Sumpah Pemuda nyata-nyata menunjukkan bahwa bahasa yang semula tindak komunikasi melalui tuturan alat ucap manusia bertiwikrama menjadi penanda bangsa!
*)Tjahjono Widarmanto, penulis, sastrawan dan guru SMA 2 Ngawi, yang tinggal di ngawi.