Oleh Setyaningsih
Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah meja gerai makan di salah satu mal di Solo baru saja ditinggalkan sekelompok orang. Kelompok itu keluarga kecil, tapi berhasil menciptakan pemandangan sisa makanan yang menurunkan selera makan secara drastis. Sumpit tergeletak di meja. Sendok dan garpu tidak diberesi. Tisu-tisu berantakan setengah lengket dengan air dan ceceran nasi. Satu mangkuk hidangan berkuah nyaris masih utuh—mungkin hanya diobok-obok dan disantap beberapa suap. Tampilannya mirip air kobokan yang sangat keruh. Kentang goreng tidak dihabiskan. Ceceran makanan tidak hanya ada di meja, tapi juga ada di lantai.
Saya meyakinkan diri bahwa manusia memang makhluk yang sangat ahli menyisakan makanan. Mereka melakukan hal itu karena memiliki hasrat lapar dan kenyang yang hadirnya bisa bertumpukan. Kemampuan diri sering lupa diukur. Hasrat terus ingin memesan ini dan itu meski perut tidak lagi mampu menampung. Dalam sekelompok kecil keluarga tadi ada orangtua dan anak, maka saya iseng bertanya kepada diri sendiri. Apa yang diajarkan orangtua kepada anak agar melatih perut agar bijaksana? Apakah sejak belia dalam kehidupan sehari-hari, makanan itu terlalu enteng didapat yang juga berarti mudah dibuang?
- Iklan -
Jika kita mengingat cerita para orang terdahulu kita, menyepekan makanan berdampak terutama bukan untuk diri sendiri. Ingat hal terselubung dari pesan berbasis agraris bahwa jika nasi tidak dihabiskan, nanti ayamnya mati. Para pewaris masa lalu agraris ini sekalipun tidak lagi menggarap petak sawah dan memanen protein hewani serta nabati dari kebun sendiri, tetap saja mempertahankan pesan itu—entah ayam siapa yang dikhawatirkan mati. Tata cara hidup yang turut membentuk persepsi bertahan atas nilai makanan.
Makan dalam kultur selalu urusan kolektif meski secara biologis cenderung menekankan pada (selera) personal. Saya memiliki kekangenan khusus pada peristiwa bancakan. Setiap pincuk dibagikan kepada anak-anak, memanifestasikan sesuatu yang akhirnya harus dibagi tanpa memandang perbedaan; kebersamaan, pertemanan, kemakmuran, dan doa. Tentu, sewaktu kecil saya tidak menganggap menu bancakan terasa seistimewa sekarang. Namun, kultur mengemas hal-hal esensial yang tidak tampak tadi dari jenis pangan yang bersahaja dan dekat. Sebutir telur yang dibagi menjadi empat atau bahkan delapan bagian (terkadang saya tidak kebagian kuning telurnya) memang perayaan kolektif yang simbolik.
Antara mencintai dan membenci—meski perkara makanan terutama bukan karena dua hal ini—jaraknya begitu dekat. Semasa kanak, saat suatu makanan tidak memberikan impresi menarik sejak awal karena rasa, bentuk, dan bahkan jenisnya, kesan itu akan bertahan buruk sepanjang waktu. Orang dewasa sering memandang penuh kagum, terutama anak-anak yang bisa makan sayuran tanpa rewel. Penerimaan sukacita atas makanan yang kebanyakan tidak disukai anak itu boleh sama menariknya dengan menang lomba cerdas cermat atau balap karung pitulasan.
Sikap Hidup
Sekarang, selera dan gaya hidup makanan boleh saja sangat ditentukan oleh siaran vloger makanan, mukbang YouTube, iklan pesan-antar makanan, perusahaan jajanan, atau drama Korea. Namun, sikap hidup dibentuk oleh lingkungan (keluarga) dan kebudayaan tempat kita hidup. Antropolog, Nico S. Kalangie (1985) menulis, “Pilihan dan selera, kepercayaan terhadap apa yang boleh dan yang tidak boleh dimakan, pendirian dan sikap terhadap makanan dalam hubungannya dengan kondisi kesehatan, dan peranan ritual, sudah ditanamkan kepada seseorang sejak masa kanak-kanaknya, dan hal ini terus diturunkan dari generasi ke generasi.”
Sikap dibentuk dari tempat paling mendasar seseorang hidup, menggerakkan persepsi setiap hal kecil merespons hal-hal yang bersifat global. Setiap suap nasi mengalegorikan perjuangan melawan kelaparan. Penerbit Yayasan Obor pernah menerbitkan buku berjudul sangat alegoris Dengan Sesuap Nasi (1977) garapan Lester R. Brown dan Erik P. Eckholn. Judul dalam terbitan bahasa Indonesia dibuat lebih dekat secara kultural karena judul aslinya Bread Alone. Buku membaca situasi (krisis) pangan dunia yang semakin sangat bersinggungan dengan pertambahan populasi. Dunia ini timpang, “Dengan sesuap nasi di negara makmur hanya akan bertambah kenyang sedikit saja sedangkan dengan sesuap nasi itu dapat diselamatkan hidup di negara miskin.” Untuk meningkatkan produksi pangan, selalu banyak energi diperlukan. Pertaruhannya bukan saja punya cukup makanan, tapi juga menjaga kondisi bumi tetap sehat. Apalagi, pasokan pangan di dunia secara dominatif masih ditentukan oleh negara pertanian industrial besar seperti Amerika.
Indonesia (saat itu masih dianggap sebagai negara berkembang) melalui riset oleh Economist Intelligence Unit, lembaga milik majalah The Economist, pernah disebut sebagai negara pembuang sampah terbesar kedua di dunia (Kompas, 24 November 2017). Hal ini memunculkan pertanyaan siapa yang memiliki privilege bahkan kebanggaan membuang makanan di hadapan masalah klasik penentu stabilitas nasional; gizi buruk, gagal panen, kenaikan harga bahan pokok, atau aliran pangan impor.
Bahkan sebelum riset ini diterbitkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla memberi sambutan di agenda akbar Eat Asia-Pacific Food Forum di Jakarta pada 30 Oktober 2017. Ia mengatakan, “Bisa saja pemerintah membikin keppres [keputusan presiden] berapa besar piring yang sebenarnya bisa dipakai untuk makan sehingga orang tidak mubazir” (Solopos, 31 Oktober 2017). Ukuran piring dianggap sejalan dengan nafsu memakan. Jika sikap hidup atas makanan gagal ditanamkan sejak belia, negara harus ikut campur dalam urusan rumah tangga.
Memang, semakin beragam makanan terhidang melalui perantara media atau teknologi, semakin besar tantangan pengajaran pada tatanan budaya makan kita. Dan jika kesadaran memberi penghargaan pada makanan belum menjadi budaya, rasa bersalah setidaknya menjadi menggerakkan perut untuk lebih bijaksana.
-Setyaningsih, Esais dan penulis Kitab Cerita 2 (2021), Bisa makan tengkleng