Oleh: Slamet Makhsun*
Para psikolog sepakat bahwa pendidikan anak usia dini hingga remaja, yakni dari bangku pendidikan taman kanak-kanak (TK) hingga tingkat sekolah menengah atas (SMA) memiliki peran penting dalam memberikan pengaruh terhadap pola pikir dan perilaku generasi penerus bangsa.
Sejatinya bisa ditebak, jika seseorang sudah bisa berperilaku toleran, saling menghargai, saling menghormati, sebagian besar karena orang tersebut mendapat pendidikan yang inklusif. Pun sebaliknya, jika ada orang yang berperilaku kasar, intoleran, tidak bisa menghargai dan menerima perbedaan, barangkali bisa di-tracking bagaimana ketika dulu mengenyam bangku pendidikannya, apakah lembaga sekolah sudah menanamkan nilai-nilai adiluhung kemanusiaan atau tidak.
- Iklan -
Makanya sebuah kalimat bijak sangat relate dengan kondisi demikian, “Masa depan negara dan bangsa, dapat dilihat dari keadaan generasi penerus bangsanya yang kini sedang mengenyam pendidikan.”
Di Indonesia, praktik-praktik pendidikan sebenarnya sudah berjalan dengan mapan dan teratur. Hanya saja, masih ada beberapa celah-celah yang harus segara dijahit agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin merusak bangsa.
Contohnya perihal radikalisme. Pemerintah sudah mewajibkan setiap sekolah negeri maupun swasta untuk menggunakan kurikulum yang sudah Kemendikbud tentukan. Namun, apakah itu semuanya berjalan sesuai yang diharapkan?
Justru banyak sekolah-sekolah swasta yang malah menjadikan kurikulum dari negara sebatas formalitas belaka. Mereka dalam mendidik murid-muridnya tetap menggunakan ideologisasi yang diinginkan. Oleh sebab itu, beberapa lembaga riset menyatakan bahwa anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah swasta dengan negeri, memiliki respon yang berbeda ketika ditanya mengenai Pancasila, Nasionalisme, UUD 45, hingga perasaannya terhadap pemeluk agama lain.
Boro-boro sekolah swasta, terkadang sekolah negeri aja masih banyak yang kecolongan. Seperti yang baru-baru ini dialami oleh salah satu siswi yang mengenyam pendidikan di salah satu SMA Negeri di Bantul. Saat menjalani Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), siswi tersebut tidak mengenakan jilbab. Lantas, ia pun dipanggil oleh tiga guru bimbingan konseling (BK) dan diinterogasi cukup lama.
Ia ditanya mengenai alasannya tidak memakai jilbab, sampai-sampai saat itu dipaksa untuk memakai jilbab. Karena merasa tertekan dan tidak nyaman, siswi itu lalu mengalami traumatik dan depresi sehingga mengurung diri di rumah dan tidak lagi mau sekolah.
Jelas secara aturan bahwa tidak ada kewajiban memakai jilbab bagi SMA Negeri. Namun justru hal tersebut datang dari gurunya yang malah memaksa siswi tersebut untuk memakai jilbab. Padahal, perihal memakai jilbab atau tidak merupakan pilihan setiap orang yang wajib dihormati.
Membentuk Kurikulum Kebangsaan
Kurikulum kebangsaan yang dimaksud adalah kurikulum yang mencerminkan budaya, nilai adiluhung bangsa, dan mengandung sisi-sisi filosofis Pancasila. Dengan tiga elemen itu, diharap tercetak murid-murid sekolah yang paham dengan karakter dan ciri khas bangsa Indonesia.
Mengapa demikian? Dengan mengenalkan jati diri bangsa kepada generasi penerus, setidaknya mereka dapat menaruh respek dan ketakziman kepada leluhurnya. Jika Sudah begitu, maka ego dan semangat untuk membela dan berjuang demi tanah air akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka akan menjadi nasionalis-nasionalis sejati.
Dalam membentuk kurikulum kebangsaan, setidaknya dapat ditekankan kepada mata pelajaran sejarah dan pendidikan kwarganegaraan (PKN). Dua mata pelajaran itu yang akan mengantarkan kepada ruang-ruang dialektika kebangsaan. Oleh sebab itu, Kemendikbud harus memberikan durasi waktu dan materi yang lebih dalam dua mata pelajaran tersebut agar goal-goal yang ingin dicapai dapat tercapai.
Filterisasi Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik atau guru memiliki peran penting dalam mencetak generasi penerus bangsa. Murid-murid yang berada di sekolah, sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola pikir yang guru ajarkan. Oleh sebab itu, setiap lembaga pendidikan tidak boleh sembarangan dalam merekrut guru. Lembaga pendidikan wajib melakukan filterisasi atau penyeleksian terhadap calon tenaga pendidik.
Selain menyeleksi berdasarkan kapasitas dan kompetensi yang dimiliki, setiap guru yang akan mengajar di lembaga pendidikan, entah negeri atau swasta, harus memiliki pengetahuan yang lebih terhadap kandungan nilai-nilai agung Pancasila dan paham dengan jati diri bangsa.
Bukan maksud untuk memaksa, namun dua hal itu—yang lagi-lagi—akan menjadi faktor penentu terhadap respon dan sikap murid-murid ketika ditanya mengenai kebangsaan dan keindonesiaan.
Alhasil, jika itu semua dapat dilakukan dengan baik, maka lembaga pendidikan akan berhasil mencetak generasi penerus bangsa yang paham dengan sejarah, berjati diri, dan menjadi nasionalis sejati.
*) Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Turut pula bergabung dengan PMII Rayon Pembebasan dan anggota IPNU PAC Mlati, Sleman. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.