Oleh Syamsuddin
Politik, politikus, politisi, dan politisasi, adalah se-rentetan kata yang mewarnai corak demokrasi di Indonesia. Warna-warni corak tersebut banyak bermunculan utamanya di masa-masa kampanye Pemilu. Ironinya kegiatan-kegiatan politik ini, dalam agendanya tidak hanya menyasar soal-soal sosial kemasyarakatan, akan tetapi juga soal-soal paham keagamaan.
Meskipun bukan merupakan sesuatu hal yang baru, akan tetapi hal-hal seperti ini perlu diwaspadai, sebab paham keagamaan atau bahkan agama itu sendiri yang dihadirkan dalam ruang-ruang politik sangat rentan untuk dipolitisasi. Dimana, agama hanya dijadikan alat untuk meraih tahta kekuasaan, bukan menjadikannya sebagai tuntunan nilai ke-bernegara-an.
Tentu saja kita semua bersepakat bahwa antara agama dan politik seperti dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan, sebab agama merupakan seperangkat keyakinan, nilai, dan tuntunan bagi seluruh aktivitas umat manusia, termasuk di dalamnya aktivitas politik.
- Iklan -
Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa dalam catatan-catatan sejarah, berkaitan dengan hubungan antar politik dan agama, selalu yang terjadi adalah hubungan yang tidak baik-baik saja. Dan dalam banyak kasus, agama selalu menjadi korban atas kekerasan dan kejahatan politik.
Kekerasan dan kejahatan oleh politik bagi agama ini berefek kepada rusaknya mental keberagamaan, seperti kesantunan, kesatuan, dan keterbukaan atas perbedaan, yang kemudian melahirkan mental-mental beragama yang baru, yaitu semangat perselisihan, perpecahan, dan menyalahkan perbedaan.
Kalau kita mundur jauh ke belakang, (misalnya dalam Buku Teologi Islam, Hari Nasution) maka kita akan dapati bahwa perpecahan agama yang melahirkan berbagai macam aliran atau paham keagamaan dalam Islam, itu disebabkan oleh kekerasan dan kejahatan politik. Bahkan Ali bin Abi Thalib yang merupakan menantu sekaligus sepupu Nabi Muhammad saw. menjadi korban dari kekerasan tersebut.
Kita mulai dari pemberontakan Muawiyah bin Abi Sofyan beserta pengikutnya, yang melemparkan isu tentang kasus terbunuhnya Usman bin Affan sebagai Khalifah ketiga. Pemberontakan tersebut membawa mereka ke dalam pertempuran di medan perang yang dikenal dengan perang Shiffin yaitu peperangan antara kelompok Ali dan kelompok Muawiyah.
Sebelum itu, telah terjadi perang Jamal antara Talhah dan Zubair bersama Aisyah (Istri Nabi) melawan Ali bin Abi Thalib sebab tidak sepakat jika Ali sebagai Khalifah keempat, dan pada akhirnya perang Jamal ini kemudian dimenangkan oleh Ali.
Kenyataan ini membuktikan betapa politik amat sangat berbahaya, bahkan seorang Aisyah istri Nabi saw. melakukan perlawanan terhadap Ali bin Abi Thalib menantunya sendiri yang itu adalah sepupu dari suaminya, hanya karena persoalan beda pandangan dalam hal politik. Adapun yang berkaitan hal lain seperti soal-soal pribadi, maka itu soal yang lain lagi.
Kita kembali ke perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah. Peperangan ini berakhir melalui keputusan tahkim atau arbitrase yang diusulkan oleh Amru bin Ash seorang politikus ulung dari kelompok Muawiyah. Dengan siasat politik yang dimilikinya Amru bin Ash mampu mengelabui Abu Musa Al-Asyari yang merupakan utusan Ali bin Abu Thalib.
Maka terjadilah konflik internal dalam kelompok Ali, yang itu kemudian berujung kepada munculnya Khawarij dari dalam barisan Ali. Sehingga selain menghadapi pasukan Muawiyah, Ia juga harus berhadapan dengan Khawarij. Akibatnya kelelahan pun dirasakan pasukan Ali, setelah menang melawan Khawarij ia akhirnya kalah melawan pasukan Muawiyah.
Kemunculan Khawarij dari dalam barisan Ali merupakan tanda awal dari kemunculan aliran paham keagamaan dalam Islam. Paham keagamaan yang dimiliki Khawarij adalah paham keagamaan yang bersifat tekstual, fanatik, dan ekstrem. Menyalahkan pandangan di luar dari kelompoknya, bukan hanya menyalahkan tetapi mengkafirkan, bahkan lebih dari itu melakukan kekerasan kepada mereka yang menentangnya. (Harun Nasution, 1986).
Fenomena di atas menunjukkan bahwa betapa konflik politik dapat memberi pengaruh dan berakibat kepada terjadinya konflik teologi. Kekerasan dan kejahatan-kejahatan dalam politik patut dicurigai sebagai penyebab terjadinya kekerasan-kekerasan dalam paham keagamaan serta praktik keberagamaan.
Fenomena di atas pada belahan bumi manapun kondisinya hampir semua sama, politik cenderung menjadi alat pemecah belah daripada sebagai perekat kesatuan umat, utamanya bagi umat beragama. Termasuk kemudian di Indonesia, agama masih menjadi sasaran empuk dalam kampanye-kampanye politik. Dan siapapun yang mengaku pemeluk agama, sangat bisa dimaklumi akan bereaksi ketika keyakinan dan kepercayaannya diusik, dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Tentu saja kita tidak boleh menyalahkan politiknya, sebab politik hanya alat untuk meraih dan merawat kekuasaan, maka kita mesti bersepakat bahwa yang salah adalah aktor-aktor politiknya, yaitu mereka yang kita sebut sebagai para politikus.
Oleh karena itu, jika menginginkan demokrasi yang kondusif, dan mengharapkan paham keagamaan yang sehat, maka kita harus menemukan aktor yang benar, baik, dan tepat. Aktor yang tidak menjadikan agama sebagai kendaraan politiknya, tetapi menjadikan agama (nilai universal) sebagai panduan politiknya.
Jika ditanya siapa orangnya? Sampai tulisan ini selesai, jawaban saya: Belum tahu. Wallau a’lam. Namun yang pasti, kita harus menyadari bahwa betapa politik sangat berbahaya dan dapat mencelakai siapapun serta apapun, jika dia tidak berada di tangan orang yang tepat.
Kita semua berdoa dan berharap, semoga Indonesia sebagai negara yang kita cintai ini, dianugerahi oleh Allah seorang aktor politik yang berjiwa negarawan, lebih peduli terhadap bangsanya daripada dirinya sendiri. Dan tentu saja sebagai seorang muslim, kita mengharapkan aktor tersebut memiliki paham keagamaan yang terbuka, moderat, dan toleran. Aamiin!
Terima Kasih!
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Tariq
– Mahasiswa Magister Komunikasi Penyiaran Islam Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Demisioner Ketua PMII Rayon Dakwah dan Komunikasi Komisariat UIN Alauddin Makassar