Oleh Setyaningsih
Nasi pecel mengingatkan saya pada persinggahan di Kota Malang pada Desember 2019. Itulah kesempatan mutlak merasakan pecel (khas) Jawa Timur-an. Tumbuh dan tinggal di wilayah perbatasan Solo-Boyolali menjadikan lidah saya terbiasa dengan sambel pecel yang cenderung manis-gurih. Di suatu warung pecel di Malang, lidah saya ditendang oleh rasa lain—nuansa asam yang mengagetkan tapi menyegarkan. Jika diingat-ingat rasa asam ini memang bukan favorit saya, tapi perkenalan itu membuat saya sah menjadi bagian umat sarapan karena telah menyantap nasi pecel di kota lain.
Bagi publik—dan kini kota wilayah kreatif berekonomi dan berwisata—nasi pecel tidak lagi urusan senang dan kenyang. Kota mau mengabadikan kearifan lokal di pincuk-pincuk santapan. Nasi pecel sah menjadi ambasador wisata bertaraf lokal dan nasional, menggemukkan kota lewat destinasi kuliner. Kota harus merayakan keramaian dan kekhasan lewat makanan. Ingat saja 16.825 pincuk nasi pecel baru saja dipersembahkan oleh Kota Madiun untuk Kota Madiun dalam rangka milad ke-100 tahun. Pada 22 Juni 2018, angka fantastis ini tercatat dalam rekor nasional dan dunia sajian nasi pecel terbanyak. Pemkot Madiun bangga menerima piagam MURI yang berarti menumbangkan rekor terdahulu oleh Pemkab Blitar (Solopos, 23 Juni 2018). Dalam sepincuk pecel ada kebanggaan akbar (pemerintah) kota meski masyarakat tetap lebih butuh sarapan nasi pecel daripada sarapan melihat piagam nasi pecel.
Madiun memang sepincuk pecel sebelum pemkot dan MURI berambisi merekor. Jika kita menaiki bus Solo-Surabaya nan mengguncang raga dan jiwa, rehat di Madiun adalah waktu-waktu keramaian nasi pecel. Kita tidak perlu repot-repot turun dari bus karena para bakul menyunggi bungkus-bungkus nasi pecel dari bus ke bus. Secara berjamaan mereka memprovokasi calon pembeli dengan mengatakan “masih anget.” Provokasi tentu hanya bisa dinikmati oleh para penumpang bus yang tabah.
- Iklan -
Beberapa tahun terakhir, kota semakin mencitrakan diri di atas piring kuliner. Peta-peta wisata kuliner dibentuk lewat papan-papan besar di tempat-tempat yang strategis dan tentu terdaftar di peta digital kita. Kota menentukan arah ke mana orang harus sarapan soto, makan pecel ndeso, atau menikmati segelas beras kencur hangat. Kota-kota tidak pernah lagi hanya menjadi area melewat, hal terpenting (sengaja) melawat ke tempat-tempat makan yang direkomendasikan oleh tetangga, vloger, bahkan pejabat negara.
Di Solo, pemanja lidah nasi pecel tidak mungkin menampik kehadiran “Waroeng Pecel Solo ‘Tempo Doeloe’” yang masuk di Intisari edisi Wisata Jajan Solo Semarang (2009). Inilah warung yang membuat mobil-mobil parkir dan orang-orang membayar ongkos lebih untuk sepincuk nasi pecel disajikan bersama beras merah atau putih organik. Namun, pemanjaan raga dan perasaan penikmat justru terjadi karena penciptaan ruang dan perkakas yang mengembalikan kelawasan. Dikatakan, “Kentongan kayu dan klontong (loceng) sapi bergelantungan di pintu masuk. Dinding warung berupa gebyok yang umurnya mungkin sudah ratusan tahun. Tiang penyangganya terbuat dari kayu gelondongan utuh menjulang. Meja tempat bersantap berupa bangku-bangku panjang lengkap dengan dingklik (tempat duduk) kuno.”
Pemilik warung tidak mungkin menyajikan pecel dalam tata ruang makan modern. Jelas tidak nikmat saat pecel dinikmati di ruang bersofa, beretalase kaca, sekaligus misalnya diberi latar lagu-lagu jazz. Penikmat dijamin gagal mencipta emosionalitas bersantap. Ruang dan sajian semacam nasi pecel harus menggaungkan nostalgia, pulang ke desa, dan kembali ke rumah ibu.
Umar Kayam di novel Para Priyayi (2012) pun memberi imajinasi bersantap pecel mahamantap. Penikmat nasi pecel adalah priyayi di desa Wanagalih, Jawa Timur, yang masih amat njawani dan kental oleh kultur agraris. Sarapan pecel merupa ritual penting di pagi hari. Pecel tidak hanya menyehatkan secara biologis, tapi juga mewaraskan hidup ngelaras di desa. Pengungkapan Umar Kayam menyajikan pecel mengalahkan kriuk-nya ayam kentaki atau promo makan di hotel all you can eat, “Di rumah kami, tidak bosan-bosannya, penganan itu selalu pisang goreng panas, ketela rebus dan sarapan nasi pecel khas Wanagalih dari Mbok Soero yang pedas dibungkus dengan daun jati. Nasi pecel itu hanya akan ditemani oleh tebaran petai cina dan tempe goreng yang khas Wanagalih pula. Gurih dan padat. Buat saya itulah senikmat-nikmat sarapan pagi.” Mantul!
Secara teknis, pecel bukan sajian ritual atau hanya dimunculkan di waktu-waktu tertentu. Keluarga-keluarga Indonesia memiliki resep bersama sebagai sajian sehari-hari tanpa perlu membuka buku masakan Nusantara. Warung (makan) nasi bisa bubar tatkala gagal memasang menu nasi pecel. Di momentum paska lebaran, betapa banyak orang merindukan olahan sayur mayur, termasuk pecel, setelah perut mendapat serangan opor, rendang, atau sambal goreng. Sambel pecel yang awet pun menyelamatkan lidah-lidah ndeso yang gagap oleh perpindahan geografis. Sering muncul cerita jemaah haji atau mahasiswa Indonesia di luar negeri yang memilih bekal sambel pecel untuk menyelamatkan lidah di tanah asing. Hanya sambel pecel disiramkan ke nasi saja sekejap membawa imajinasi pulang ke Tanah Air. Bahkan, perusahaan mi instan terkemuka di Indonesia sempat menjadikan pecel sebagai salah satu rasa unggulan.
Kita adalah umat nasi pecel. Selama Indonesia masih memiliki nasi pecel dari kacang panjang nonimpor, saus kacang dari saripati tanah sendiri, pincuk daun pisang yang jangan sampai “Made in China”, dan tempe goreng dari kedelai serta minyak yang harganya stabil, ketahanan pangan lokal masih aman.
–Setyaningsih, Esais, Penulis buku Bermula Buku, Berakhir Telepon (2016)