Oleh: Saiful Bari
1 Juni dikenal sebagai bulan Pancasila dan pada hari itu juga masyarakat Indonesia memperingatinya dengan berbagai ekspresi seperti gelaran upacara bendera dan/atau mengheningkan cipta, yang ditujukan tidak lain untuk penghormatan terhadap para pendiri bangsa. Pada waktu yang sama, terbesit ingatan saya pada alm. Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii). Bagi saya, Buya Syafii adalah sang penjaga Pancasila. Mengapa demikian? Karena hampir dipastikan Buya Syafii akan menulis artikel di hari peringatan kelahiran Pancasila.
- Iklan -
Menurut Syaiful Arif dalam Genealogi Kelahiran Pancasila (2021), Pancasila versi 1 Juni tidak berbeda dengan 18 Agustus. Hal itu arena, dalam 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus Sukarno menjadi figur sentral. Artinya, rumusan Pancasila resmi diputuskan oleh Sukarno sebagai Ketua PPKI, yang merupakan penyempurnaan ide Pancasila 1 Juni, bukan pada level substansial, akan tetapi sistematika nilai.
Di samping itu, pidato 1 Junilah yang ditetapkan oleh BPUPKI sebagai bahan baku perumusan dasar negara. Sebagaimana ditegaskan Panitia Lima (1977) yang diketuai Bung Hatta; setelah Sukarno berpidato pada 1 Juni, BPUPKI membentuk Panitia Kecil dengan tugas merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato 1 Juni Sukarno.
Dengan begitu, Pancasila versi 1 Juni adalah bukti lahirnya Pancasila dan ini merupakan fakta sejarah dan akademik sekaligus yang harus kita akui.
Penjaga Pancasila
Saya sepakat dengan banyak orang yang melabeli Buya Syafii sebagai tokoh atau guru bangsa dan sederet julukan kehormatan lainnya. Meski demikian, saya juga memiliki sapaan kehormatan sendiri untuk alm. Buya Syafii yakni sang penjaga Pancasila.
Di tengah gelombang wahabisme, radikalisme dan terorisme global, Buya kerap mengingatkan kita akan pentingnya menginternalisasikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai dewan pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Buya telah melaksanakan tugas profetik ini dengan baik bahkan jauh sebelum BPIP ini berdiri Buya sudah lama menjadi penjaga Pancasila. Buya telah banyak menguraikan konsep Pancasila dalam berbagai bukunya, salah satunya Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (2006) yang diterbitkan oleh LP3ES.
Di samping itu, menurut Ferdiansyah (2022) Buya adalah sosok yang konsisten menyeru akan pentingnya membumikan pancasila. Buya bahkan memberikan saran kepada Nadiem Makarim selaku Kemendikbud Ristek untuk membumikan pancasila kepada generasi Muda. Sehingga akhirnya mereka (Kemendikbud Ristek) menghadirkan Kurikulum Merdeka Belajar, yang salah satunya memuat mata pelajaran Pendidikan Pancasila yang bisa dipelajari melalui praktik dan pembelajaran berbasis projek. Sehingga generasi muda dapat langsung mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Dengan begitu, mungkin kita sepakat, Buya Syafii adalah sosok yang mampu mengamalkan nilai-nilai agamanya dan bangsanya secara simultan. Sebagai agamawan, bagi Buya, Islam datang sebagai rahmat. Dengan beragama seharusnya tidak membenci mereka yang berbeda agamanya dan lebih-lebih persoalan berbeda pendapat.
Sikap yang inklusif inilah yang pada gilirannya membuat Buya Syafii mudah bergaul kepada siapapun. Tak hanya itu, selain sebagai guru, Buya juga termasuk pembelajar yang sejati. Dengan perkataan lain, beragama tidak lantas membuat Buya Syafii selalu memposisikan dirinya di atas orang lain tetapi, Buya justru orang yang mau belajar kepada siapapun, termasuk kepada orang non-muslim. Jadi, betul pepatah yang mengatakan, “semakin mendalami ilmu agama maka semakin membuka sikap seseorang terhadap keberagaman berbangsa dan bernegara”.
Tiga Pesan Buya Syafii
Hal yang dapat kita teladani pada Buya Syafii adalah spirit Islam rahmat bagi seluruh alam semesta. Dari Buya kita dapat belajar bahwa agama tidak membuat takut dan tidak membawa masalah. Justru, mendatangkan rahmat dan solusi bagi terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil dan beradab.
Ada hal menarik dari tulisan Buya Syafii yang dimuat di Kompas pada satu tahun silam, “Pesan untuk Muhammadiyah dan NU”. Melalui tulisan Buya Syafii, paling tidak ada tiga pesan penting yang layak diaktualisasikan oleh kita, khususnya warga NU dan Muhammadiyah, jika memang mau menjadi kiblat ormas Islam di Indonesia. Pertama, NU dan Muhammadiyah harus berpikir ala ke-Indonesia-an. Hal ini karena, diakui atau tidak, nilai-nilai ke-Indonesia-an sudah mulai terkoyak oleh intoleransi dan radikalisme-terorisme. Dengan kata lain, sebagai benteng utama maka kedua ormas ini harus mampu menangkal ideologi transnasional yang telah kehilangan prespektif keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
Kedua, NU dan Muhammadiyah perlu mendewasakan sikapnya dalam menghadapi isu-isu yang dapat mengandung salah paham. Adalah hal wajar karena spirit yang melatarbelakangi keduanya berbeda. Maka, tak ayal tak kala perbedaan kultur NU dan Muhammadiyah mampu menyulut ketegangan dan konflik horizontal serta eksklusi sosial. Hal tersebut terlihat terutama pada fase awal pembentukan keduanya, di mana gerakan pemurnian keagamaan ala Muhammadiyah secara aktif dan demonstratif mengkampanyekan perang melawan takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC).
Terakhir, NU dan Muhammadiyah tidak boleh terjebak dalam paradigma “berebut lahan” kementerian. Artinya, NU dan Muhammadiyah harus tampil dan berfungsi sebagai tenda besar bangsa dan negara. Apalagi, sepanjang era reformasi, relasi NU dan Muhammadiyah nyaris tak ada gesekan. Jika kita lacak, indikatornya adalah keduanya memiliki misi yang sama yakni, meng-counter agenda gerakan transnasional atau ekstrimisme yang kerap mempertentangkan relasi Pancasila dan agama dan/atau ulama dan umara.
Itulah pesan dan sekaligus harapan Buya Syafii Maarif yang dapat kita aktualisasikan. Hal yang sama telah disampaikan oleh Buya Syafii dalam buku berjudul “Dua Menyemai Damai: Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi”, (2020). Menurutnya, melihat realitas itu, baik kesenjangan sosial atau tepatnya, polarisasi yang masih tajam sampai hari ini haruslah dibaca sebagai pengkhianatan telanjang terhadap Pancasila.
-Saiful Bari alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini, tercatat sebagai Pengurus GP Ansor Banyuwangi