Cerpen Beri Hanna
SEGERA setelah Bepak masuk ke kandang lalu keluar dengan dua tangannya mencekik seekor ayam, ia berjalan tenang tanpa menghirau aku yang menatapnya. Ketika Bepak sampai di pinggir sungai—sepertinya Memak belum tahu apa yang akan Bepak lakukan—ia lantas tanpa ragu melempar ayam itu ke arah buaya sambil berseru, “Gamangima!”
Aku bukan hanya takjub pada ayam yang telah mengudara itu mengepakkan sayapnya, berharap menjadi seekor burung yang dapat terbang, melainkan juga takjub saat melihat si buaya yang disebut Bepak Gamangima rupa-rupanya tak mau kalah untuk melompat beberapa kaki di udara, menerkam ayam terbang.
Hal itu terjadi dalam sekejap sebelum tubuh Bepak basah oleh debur air yang muncrat ke segala arah saat buaya terempas lagi ke dalam sungai.
- Iklan -
Memak yang terperanjat kaget, langsung berhenti menetak kepala tongkol—untuk makan siang kami—lalu tergesa-gesa berlari dengan tangannya masih menggenggam paghang, bahasa setempat untuk menyebut parang.
“Pancik! Masih kaupelihara buaya itu!” teriak Memak.
Tanpa menoleh ke belakang, Bepak menjawab buaya itu punya nama. Merasa kesal karena sikap Bepak yang seperti itu ditambah ketika melihat ke arah kandang ayamnya hilang satu, Memak marah dan langsung melempar kepala ikan tongkol ke punggung Bepak.
“Kaumatikan semua ayam-ayamku,” marah Memak.
“Hanya satu.”
“Hanya satu dan setiap hari begitu. Besok kau yang akan dimakan buaya itu!”
Bepak berjongkok dan matanya lekat memandang sungai. Ia berbisik seolah bertanya kepada Gamangima “apakah kau tega memakanku?”, lalu Bepak melihatku dan bertanya apa aku percaya Gamangima akan memakannya? Aku menggeleng dan terus mengulang pembicaraan semalam ketika aku minta untuk menikah dengan Balam, kekasihku.
Bepak diam seolah ia tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Ia bernapas tenang dan dari dalam bola mata Bepak yang gelap aku melihat seekor lebah bermata merah yang seakan hendak mencapai wajahku dengan sengatannya.
“Jadi itu sebabnya dari tadi kau memperhatikan aku?” tanya Bepak dengan nada rendah dan berat.
Aku tidak menjawabnya karena aku tahu apa pun itu, semua akan membuat Bepak makin bertambah marah.
Sementara Bepak bersiap dengan rentetan pertanyaan yang keliru atau menjerumuskan aku, Memak yang tengah tak keruan pada nasib ayam-ayamnya yang malang menghantamkan paghang ke papan kandang dan membuat suasana berubah menjadi ladang tebu kering.
“Tidak kalian lihat aku sedang berduka untuk ayam-ayam ini. Dan kau, Mariyun! Jangan buat keluarga kita malu pada lamaran Depati!” Begitu kata Memak yang tidak ingin kudengar kelanjutannya, sebab aku tahu ia akan berkhotbah panjang tentang harta dan kebijaksanaan Depati. Lalu Bepak, setelah menguasai emosinya untuk murka dan membabi buta, dengan sedikit lega bertanya apa aku mendengar yang diucapkan Memak sebagai takdir yang tidak bisa diubah,; takdir yang harus ditulis ketika hendak memilih langkah, termasuk dalam sebuah keputusan. Bepak terus mengucap hal yang sama ketika aku berkehendak tetapi tak sesuai seperti yang ia hendaki.
“Ayo jawab. Kaudengar itu, Mariyun?!” tanya Bepak sekali lagi.
Aku diam dan Bepak seolah menjadi penyambung lidah Memak untuk meneruskan khotbahnya, menghina Balam seorang bujang tanpa asal-usul yang jelas.
“Aku tahu Balam tidak seperti Depati! Dan aku juga tahu, Depati tidak akan pernah menjadi seperti Balam!” teriakku, lalu pergi masuk ke sudong atau rumah.
Jika kalian pikir Memak atau Bepak akan berlari mengejar untuk menenangkan hatiku yang kacau saat itu, kalian salah besar. Sebab hal itu tidak pernah terjadi. Memak masih menghitung ayamnya dan Bepak kembali sibuk dengan Gamangima setelah lebih dulu mereka berdua meneriaki aku dengan hujatan dan kutukan berentetan.
Aku tidak peduli. Setelah mengempas pintu, aku menyusun rencana untuk menemui Balam agar ia tak patah hati cinta kami harus berakhir karena pernikahanku dengan Depati, yang akan berlangsung dua pekan mendatang.
***
Setelah menunggu dalam keadaan gelisah, akhirnya anjing hutan menyalak panjang dua kali—orang kampung menyebut salakan panjang itu sebagai penanda waktu tengah malam. Aku bergegas memadamkan api tunom, lalu memastikan Bepak dan Memak telah lelap menuju mimpi mereka.
Aku berjinjit ke sisi jendela yang mengarah ke sungai. Kupandang lekat-lekat ke arah gelap itu. Samar-samar tampak kemunculan Balam dengan dawai api yang lebih kecil. Dengan cara serupa berjinjit ke jendela, aku menggeser daun pintu agar tak menimbulkan suara, lalu melangkah jauh ke arah cahaya api sambil meyakinkan diri bahwa pilihanku untuk kawin lari dengan Balam telah tepat.
“Sudah aman perahunya?” tanyaku berbisik.
Balam tak segera menjawab. Matanya lekat pada mataku lalu bibirnya lekat ke bibirku. Aku menahan agar tidak keterusan pada hal-hal lain, sebab saat ini bukan waktu yang tepat. Namun, Balam masih seperti biasa, orang yang keras kepala pada hasrat dan keinginan. Seperti ide pernikahan tanpa restu kali ini, aku terpaksa setuju setelah ia tetap memaksakan cintanya kepadaku.
“Mariyun, andaikata hujan tidak turun, aku akan embus dan naikkan air laut untuk dijatuhkan ke bumi. Andai gunung meledak hingga bumi menjadi lautan lahar, kaulah satu-satunya orang yang akan kuselamatkan,” begitu kata Balam saat kutemui sepekan yang lalu.
Sebelum kami mengakhiri pertemuan itu dengan sebuah janji dan sumpah untuk hidup bersama, Balam mencium lalu memintaku percaya kepadanya.
“Nanti ada yang datang,” kataku memperingati agar Balam segera dengan urusannya. Namun, ia malah menantang agar benar-benar ada orang yang datang.
“Kita tidak perlu lari karena mereka akan menikahkan kita,” bisiknya sambil memadamkan dawai api.
“Ya. Itu akan terjadi setelah kau hampir mampus dihajar oleh orang sekampung. Bagaimana kedengarannya?”
Balam menatapku dalam gelap. Aku tahu sebab matanya bercahaya. Lalu, ia merebahkan aku ke tanah. Ia memintaku untuk melihat bintang dan bulan, lalu melemparkan pertanyaan, mana yang lebih banyak? Aku tidak perlu menjawab bahwa bintang lebih banyak daripada bulan, karena aku yakin ia akan meneruskan perkataannya tanpa kuminta.
“Aku tahu kau akan menjawab bintang,” bisiknya. “Maka dari itu aku minta pilihlah bintang itu saat ini.”
Aku mengecup bibirnya, lalu berkata bintang yang telah kukecup adalah pilihanku. Ia membalas kecupanku lalu berkata, semoga sungai dan tanah merestui pilihan itu. Ia menggendongku hingga berdiri lalu berjalan dengan teliti ke pinggir sungai.
“Mana perahunya?” tanyaku.
Balam menjawab, tadi ada di sekitar tempat kami sekarang berdiri.
“Tapi, sekarang tidak ada,” kataku.
“Aku tahu perahu itu tadi di sekitar sini dan aku juga tahu sekarang perahu itu tidak ada,” katanya.
Aku mengingatkan Balam agar tidak bersuara melebihi kerasnya kodok yang bersahut-sahutan, tapi Balam menuduh bahwa suaraku yang lebih keras daripada suara guntur ketika hujan. Aku kesal. Bukankah saat-saat seperti ini seharusnya semua telah diperhitungkan agar berjalan lancar. Namun, ia lalai dalam hal sepele untuk mendayung kami berdua ke hilir kampung. Ia marah dan mengira aku tidak percaya kepadanya.
“Untuk urusan ini saja kau tidak percaya kepadaku, apa lagi nanti untuk urusan lain!” Balam membentak.
Dan karena ia tidak menghirau apa yang kukatakan tentang suara kodok bersahut-sahutan, dari tempat kami berdiri tampak di kejauhan sana api tunom menyala. Aku menduga itu pasti orang kampung yang merasa ada sesuatu yang telah terjadi. Api tunom bergerak melayang-layang. Mulanya satu, menjadi tiga, tujuh, dan sekarang entah berapa—salah satunya dari sudong-ku.
“Kita harus pergi sekarang,” kataku kepada Balam.
“Kita tidak mungkin berenang,” jawabnya dengan tergesa.
Kukatakan tidak perlu berenang, tetapi Balam bersikeras itulah satu-satunya jalan agar bisa lari dari kampung. Aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa, sedangkan api tunom hampir mendekat dan suara orang berteriak-teriak—salah satunya dari Bepak.
“Itu suara bepak-ku.”
“Aku tahu dan aku dengar itu suara bepak-mu!”
Balam berteriak seolah petir bersambar, cepat bersahut-sahut menembakkan kembali semua yang telah kuserahkan kepadanya memikirkan jalan keluar. Tanpa pikir panjang, aku menarik lengan Balam masuk ke sungai. Ketidakmungkinan untuk berenang, harus mungkin pada saat seperti ini.
Sebelum kaki menyentuh air, Balam melepaskan cengkeraman dan mendorongku dengan kuat ke tanah kering. Saat itu aku merasa Balam telah berbeda. Ia cukup kasar sebagai lelaki yang kudambakan selama ini.
Sebelum aku mengatakan sepatah kata atas sikapnya yang demikian, Balam lebih dulu mendesakku dengan pertanyaan, “Apa kau mau mati diterkam buaya sialan peliharaan bepak-mu?” Aku menggeleng dan seperti tidak bisa bernapas, terkejut mendengar Balam berkata demikian.
Tak ada yang bisa aku pikirkan atau aku ucapkan saat itu. Api tunom semakin dekat—hampir menangkap keberadaanku dan Balam—sementara Balam terus menggerutu dan membodoh-bodohkan Bepak yang telah memelihara buaya di sungai. Aku merasa benci setelah di matanya aku tak lagi melihat cahaya berkilat, melainkan api yang hendak menjilat hidupku.
Sambil menunjuk ke sembarang arah, kukatakan kepada Balam, “Itu dia perahunya!” Balam membalikkan badannya, melangkah sambil masih menggerutu tentang buaya dan ketololan Bepak; membuat kupingku panas.
Saat Balam berdiri di sisi sungai melihat ke arah-arah yang gelap, orang-orang telah berteriak, “Di sungai!” dan aku tidak punya pilihan lain. (*)
*Beri Hanna, penulis lahir di Bangko. Begiat di Kamar Kata dan Teater Tilik Sarira. Buku barunya, Menukam Tambo, Penerbit JBS.