Oleh Arinda Sari
Isu body shaming memang sempat nge-hits. Berawal dari sebuah postingan blog oleh seorang teman blogger tentang body shaming, saya benar-benar baru ngeh. Oalah. Kemana saja saya ini ya? Ngakunya penulis tapi mendengar istilah body shaming aja langsung kena roaming, terus sibuk googling dengan ke-kepo-an tiada tara.
Setelah membaca sekian artikel, baru ada bola lampu menyala di kepala saya. Yup. Body shaming adalah melontarkan komentar negatif kepada seseorang terkait penampilan fisiknya, baik disengaja maupun tidak disengaja, baik dalam konteks serius maupun bercanda. Kita tentu tidak asing dengan kata ‘gemuk, kurus, padat berisi, jerawatan, dll’ yang umum diucapkan kepada seseorang, khususnya bagi teman/saudara yang sudah lama tidak bertemu. Namun, body shaming tidak melulu terjadi dalam acara reuni, lebaran, atau pertemuan tidak sengaja saja alias bersifat spontan. Ada seseorang yang bahkan tanpa tedeng aling-aling memberikan julukan berdasarkan ciri-ciri fisiknya, sebab itulah yang mudah diingat.
- Iklan -
Seseorang yang punya jidat lebar, punya ‘panggilan kesayangan’ si Jenong. Seseorang yang berbadan lebar ke samping, dengan mudahnya mendapat ‘nama tambahan’ sebagai si gajah, kuda nil, atau si gendut. Saya pun punya kisah yang ngebetein banget soal body shaming ini yang unforgettable sampai sekarang.
Saat SMA kelas 1, entah mengapa, badan saya mendadak melar dengan sukses. Dari 45 kilo melonjak jadi 50 kiloan ke atas lagi dan lagi. Hei, tinggi badan saya tidak sampai 150 cm. Duh, padahal saya sudah dibela-belain minum jamu galian singset dan kunyit asam secara teratur. Saya mencoba berdamai dengan diri sendiri bahwa gendut hanyalah langsing yang tertunda. Toh, meski gendut, banyak yang naksir saya. Haha tetep narsis mode on. Eniwei, Yola, teman se-geng yang memang punya perawakan ideal, dengan tanpa permisi menganugerahkan julukan Si Momon a.k.a Pokemon. Pokemon yang merujuk pada tokoh kartun berwarna kuning gendut, menggemaskan, dan selalu ceria itu. Pikachu lebih tepatnya sih, tapi mungkin pokemon terdengar lebih representatif.
Awalnya tentu saya mencak-mencak plus protes keras. Tapi lantaran udah sering banget diucapkan, hal itu semacam menjadi kebiasaan yang ‘terpaksa’ diterima. Betapa efektifnya the power of repetition yang membuat pola-pola terus berulang, seakan semua pihak sepakat bahwa hal itu bukan hal yang memalukan. Bukan aib atau dosa. Walaupun sungguh menyebalkan, lama-lama saya cuek saja. Toh, masa SMA 3 tahun doang. Biarlah dia dan manusia-manusia lain yang memanggilku Si Mon bahagia. Mungkin memang hanya itu cara mereka bahagia, yaitu bahagia di atas kesedihan orang lain. Eh, nyatanya saya salah. Bertahun tahun kemudian, saat saya bertemu Yola dalam keadaan sudah sama-sama being emak-emak, dia tetap memanggil saya dengan panggilan “Mon! apa kabar?!”
Rasanya itu seperti kutukan gelar yang harus saya tanggung seumur hidup! Padahal heloow! saya lebih kurusan daripada dia! Beruntung saat itu saya sedang good mood, jadi saya senyumin saja meski senyum kecut. Coba kalau lagi PMS, bisa-bisa keluar tanduk dan taring berkilat-kilat menyilaukan.
Itulah kenyataan yang menjadi peer untuk kita bersama untuk mensosialisasikan gerakan ‘stop body shaming!’ mulai diri sendiri, keluarga, kemudian lingkup yang lebih luas. Soalnya ini issue yang tak kalah penting dari kenaikan harga BBM. Ini issue sensitif yang juga punya andil dalam stabilitas sebuah negara, apalagi para wanita adalah tiangnya negara, bukan? Bagaimana negara bisa maju kalau generasinya mengalami krisis kepercayaan diri gara-gara body shaming yang bikin salting itu? Ah, maafkan jika pidato ini terlalu panjang lebar dan agak berlebihan menyuarakan isi hati terdalam. Keresahan demi keresahan yang terakumulasi dalam bilangan tahun, dan benar-benar ingin steril dari lisan yang julid bin nyinyir.
Satu lagi kisah body shaming yang tak terlupakan.
Paska melahiran, tentu menjadi momen paling melegakan sekaligus membahagiakan bagi seorang wanita. Meski behind the scene-nya si ibu harus berjualng lebih keras terkait kondisi psikis yang tak stabil. Satu per satu kawan, handai taulan, tetangga datang menjenguk. Melihat wajah si bayi merah yang lelap dalam bedongnya. Dalam suasana nyaman dan kondusif, ada aja pihak keluarga yang mengomentari bayi saya dengan sebutan si pesek. Yap, model hidung minimalis yang irit oksigen mungkin ya. Atau sebut saja model hidung kekinian. Ah, saya tidak ambil pusing. Jauh melampaui segalanya adalah rasa syukur karena telah melahirkan dengan selamat dan lancar. Agak tercabik hati saya tapi biarlah. Saya berusaha membahagiakan diri sendiri, agar tidak jatuh dalam momok bernama baby blues syndrome. So, saya juga harus menahan diri untuk stay cool jika ada yang mengatakan fisik bayi saya begini begitu.
“Adek cantik, hidungmu dimana sih?” Padahal sudah jelas-jelas nemplok pada tempatnya.
“Kakak kok kurus padahal makan dan ngemilnya banyak lho ya!” padahal dia sehat, aktif, dan energinya tersalurkan.
Ya Allah, ternyata begitu ya. Segala sesuatu yang seringkali dianggap remeh, padahal berpotensi melukai, menimbulkan rasa tak nyaman dalam sebuah hubungan. Bagi tipikal orang yang cuek bebek alias tak ambil pusing, nggak begitu signifikan efeknya. Lha kalau menimpa seseorang yang introvert, sensi, dan baperan, bisa serius akibatnya.
Berangkat dari ketidaktahuan, lalu kita mendapat ilmu untuk berbenah meski step by step. Semakin kesini belajar menjaga lisan agar terhindar dari menyakiti perasaan orang lain, meskipun ‘si korban’ masih kecil. Walau bagaimanapun, sebuah keburukan akan berbalas nantinya dengan cara-Nya yang tak pernah kita duga.
Dalam Qur’an surat al Hujurat ayat 11, Allah melarang untuk mencela diri sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Oleh karenanya, perbedaan fisik tentu dikehendaki-Nya beraneka rupa. Mulai dari warna kulit, mata, dan rambut, postur tubuh, bentuk wajah, bentuk hidung, dan sebagainya. Bukankah pelangi itu indah karena perbedaan?
Setiap manusia diciptakan Allah dalam sebaik-baik peciptaan. Masih juga dibekali akal dan hati sebagai pengemban amanah kekhalifahan. Allah tidak melihat rupa fisik hamba-Nya tetapi Dia melihat pada kadar takwanya. So, be careful. Yang melakukan body shaming berarti mencela ciptaan Allah Maha Pemilik dan Penyuka Keindahan.
Dari sisi psikologi, adanya ketidakpuasan terhadap tubuh sendiri bisa jadi memicu seseorang melakukan body shaming kepada orang lain. Atas dasar kepuasan pribadi. Bisa jadi pelaku body shaming adalah orang yang dulu pernah merasakan sakitnya dihina soal fisik, oleh karenanya ia melakukan semacam aksi balas dendam. Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, betapa tidak nyamannya. Manusia jadi lupa bersyukur akan karunia fisik yang dianugerahkan Allah kepadanya. Manusia jadi berpotensi kehilangan jati diri sebab berpatokan pada ‘cantik/menarik’ sesuai stigma yang berkembang di masyarakat.
Yuk, mari kita sepakati sekaligus kita renungi catatan di bawah ini.
Body shaming, bukanlah basa basi yang asyik! Tidak pas untuk bahan bercandaan. Itu tidak ada manfaatnya sama sekali untuk diri kita. Sedangkan mudharatnya malah jauh lebih besar. Orang lain akan ilfeel karena akhlak lisan yang tidak terpuji. Tidak membuat nilai kita lebih tinggi daripada orang yang kita olok-olok. Selain itu, jika orang yang kita olok-olok tidak ridha, maka kitalah yang terkena dosa. Naudzubillahimindzalik.
Body shaming termasuk verbal bullying yang dapat membunuh karakter. Ia seperti label yang terpampang bebas di jidat sehingga semua orang bisa melihatnya dengan jelas. Padahal belum tentu yang tampak dari luar sama dengan apa yang ada di dalam. Sayangnya, orang mudah sekali men-judge berdasarkan hawa nafsunya.
Body shaming bisa mengakibatkan orang kehilangan kepercayaan diri, menarik diri dari pergaulan, hingga berujung stress, bahkan depresi. Mengapa? Karena korban merasa lelah dengan nyinyiran yang ditujukan untuknya, padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin menjadikan penampilannya lebih baik. Ia minder karena tubuhnya tidak sesuai ‘standar’ cantik yang disepakati oleh orang kebanyakan. Pada akhirnya ia tidak bisa menerima kekurangan tubuhnya lalu merasa tertekan dengan keadaan. Fatal sekali, bukan?
Semoga catatan di atas menjadi warning untuk berhati-hati menjaga diri dari body shaming terhadap orang lain, termasuk kepada orang-orang terdekat yang kita sayangi.
Oh ya, saking urgent-nya masalah body shaming di media sosial, ada undang-undang yang berlaku lho. Ancaman pidana bagi netizen yang berkomentar body shaming adalah Pelaku penghinaan/ body shaming di media sosial dapat dijerat dengan pasal 27 ayat (3). Pasal 45 ayat (3) UU no.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh UU no. 19 tahun 2016. Ini merupakan delik aduan. Ancaman pidana yaitu penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.750 juta.
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk menjaga lisan berupa mulut, dan juga lisan ‘jari’ di media sosial. Dan lebih dari itu, semoga kita terus menjadi hamba yang penuh syukur, mau belajar mengilmui, dan terus memperbaiki diri sepanjang waktu tersisa. Aamiin.
–Arinda Sari, Pecinta buku, nulis dan ngeblog. Bergiat di Komunitas Penulis Ambarawa. Tinggal di Semarang.