Judul : Maqashid al-‘Ibadah, Memahami Intisari Makna dan Tujuan Shalat, Puasa, Haji
Penulis : Imam Izzuddin bin Abdus Salam
Penerbit : QAF JAKARTA
Tahun : 2021
Tebal : 191
ISBN : 978-602-5547-97-3
Tujuan diciptakannya manusia dan makhluk hidup lainnya di muka bumi untuk mengabdikan diri dengan beribadah kepada Allah SWT. Bahkan al-Qur’an sendiri menyatakan dengan tegas, bahwa tidaklah diciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana keterangan tersebut tersurat dalam QS. al-Dzariyat [51]: 56.
Esensi dari beribadah tidak lagi dipahami sekadar sebagai serangkaian rutinitas, melainkan bagaimana dalam beribadah tersebut dapat menuntun kita dalam menumbuhkan sebuah kemuliaan jiwa, ketenteraman batin, kesuksesan hidup, dan kebahagiaan manusia sebagai hamba Allah.
Ada tiga poin penting yang dihidangkan di dalam buku menarik ini. Pertama, seputar intisari shalat. Kedua, seputar rahasia puasa. Yang terakhir, haji. Ketiga poin ini pada dasarnya dibahas dalam sebuah risalah oleh salah satu ulama kenamaan, yakni Syekh ‘Izzuddin bin Abdus Salam (557-660 H). Buku yang dihimpun kemudian ke dalam buku ini antara lain, Maqashid al-‘Ibadat: ash-Shalat – ash-Shiyam – al-Hajj.
- Iklan -
Syekh ‘Izzuddin bin Abdus Salam terkenal memiliki pemahaman mendalam dalam agama. Karya-karyanya menjernihkan pemahaman kaum muslim. Tidak heran bila Sultan Malik al-Asyraf amat mengagumi risalah ini. Meski sederhana, tetapi di dalamnya menguraikan esensi (maqashid) ibadah yang luar biasa, yang sedikit sekali para ulama membahasnya. Oleh karenanya, saking pentingnya kehadiran kitab sejenis ini sehingga beliau berhasil merangkumnya ke dalam sebuah risalah, yang saat ini sudah diterjemahkan oleh penerbit Qaf Kreativa.
Substansi beribadah menjadi semakin bermakna tatkala kehadirannya mampu dicerna. Kalau kehadiran ibadah kita hanya mampu dipahami sebatas sebagai serangkaian rutinitas, sungguh betapa banyak orang yang beribadah tetapi mereka tidak mampu mencerna hakikat ibadah yang substansial tersebut.
Hakikat beribadah tidak pernah mengenal kata awal dan akhir. Setiap waktu seorang hamba selalu sibuk untuk mengingat Allah. Baik dalam keadaan tidur maupun terjaganya. Seseorang yang mengetahui substansi ibadah, kata Syekh Abdul Qodir Jailani, hatinya (al-qalbu) tidak akan tidur dan tidak akan mati, melainkan sibuk bersama kehidupannya (beribadah).
Nilai-nilai Teosentris dan Antroposentris dalam Ibadah
Shalat dalam ajaran Islam merupakan pilar agama. Bila pilarnya kuat, maka bangunan yang lain dapat berdiri dengan tegak. Orang yang shalat dengan baik dan benar, selanjutnya diikuti dengan kehadiran hatinya, dapat menjadikan batinnya tenteram, sejuk dan bahagia. Sebab, pelaksanaan shalat sejatinya ialah memenuhi panggilan Allah dan memperbaharui janji kepada-Nya. Karena itu waktu shalat satu sama lain sangat berdekatan sehingga tempo untuk mengingat Allah tidak jauh (hal. 28).
Apalagi di dalam shalat sarat dengan pesan-pesan moral, seperti perintah agar menjalin hubungan yang baik dengan Allah dan dengan sesama orang yang beriman. Seperti tercermin dalam hadis Nabi yang secara tersurat pada salam penghormatan (tahiyat) dalam tasyahud baik awal maupun akhir, “Semoga keselamatan untuk kami dan untuk hamba Allah yang beriman” (HR. Bukhari Muslim); dan firman Allah dalam hadist qudsi: “Aku bagi shalat antara Aku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta” (HR Muslim, 395, Turmudzi, 2953).
Menurut penulis kitab ini, sesungguhnya di dalam ibadah memiliki dimensi teosentris (individual), yakni hubungan hamba dengan Allah, dan dimensi antroposentris (horizontal), yakni hubungannya dengan sesama hamba (manusia). Dalam hal ini ibadah seorang hamba melibatkan sesamanya (dimensi kemanusian). Shalat sudah sangat lengkap dan jelas, mencakup mengenai urgensi hubungan-hubungan yang baik–bagaimana seharusnya bersikap baik dengan Allah maupun dengan seluruh hamba.
Selain itu, shalat juga memiliki fungsi untuk memperbaharui niat luhur, supaya tidak lepas daripada jalan atau koridor yang diridhai oleh Allah SWT. Oleh karena itu, karena kemuliaan dan keutamaannya, shalat digambarkan sebagai pencegah perbuatan keji dan mungkar, meninggikan derajat, dan menghapus dosa-dosa (QS. Al-Angkabut: 45).
Namun demikian, pesan-pesan moral, baik eosentris maupun antroposentris yang terkadang belum sepenuhnya ditangkap secara keseluruhan oleh orang yang melakukan shalat, padahal apa yang dia baca ketika melaksanakan shalat adalah tiada lain mengadu (bermunajat) kepada Allah dan menitipkan dirinya kepada-Nya. Ini yang perlu diperhatikan. Karena faedah beribadah seperti shalat, puasa, haji dan lainnya adalah untuk memberikan kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat (hal. 24).
Terkait dengan hak Allah dan hamba juga tersirat dalam surat al-Fatihah. Misalnya, berada pada separuh pertama surat dalam al-Fatihah. Sementara itu, hak Mushalli (orang yang shalat) terletak pada separuh surat kedua, karena berisi permohonan pertolongan Allah dan merunduk kepada-Nya (hal. 29). Semua umat Islam memohon pertolongan kepada Allah, misalkan jaminan sosial seperti keamanan. Lalu mengapa kita tampak lebih bersemangat untuk merusak keamanan dengan membuat kerusakan di muka bumi (berbuat agresif dan makar dan teologi kebencian lainnya)?
Demikian juga dengan puasa dan haji, bukan hanya sekadar dipahami sebagai ibadah rutinitas semata, melainkan bagaimana keseluruhan ibadah ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi untuk semakin dekatnya kita kepada Allah. Tentunya dengan pemahaman agama yang sempurna.
Demikian pula dengan ibadah seperti shadaqah, bukan hanya diperuntukkan untuk orang mukalaf saja. Kata Syekh ‘Izzuddin bin Abdus Salam, sejauh mana keluasan jangkauan itu sejauh itulah keutamaannya (hal. 24). Karena itu saya sepakat dengan pendapat KH. Sahal Mahfuz sebagaimana dikutip Rijal Mumazziq (ArArrahim.id pada 27 April 2022), yang mengusung konsep Zakat Produktif.
Bahwa, zakat maal dari para muzakki itu tidak perlu diecer dengan jumlah yang tidak seberapa, apalagi dengan mendatangkan mustahik ke rumahnya, lantas membagi-bagikan dengan antrean membludak hingga banyak yang pingsan. Ini kurang manusiawi. Solusinya? Dicarikan para mustahiq yang punya potensi ekonomi, kasih modal yang cukup, didampingi hingga usahanya berkembang. Kiai Sahal sudah mewujudkannya dengan bercerita usahanya mengentaskan tukang becak. Hal ini ditulis dalam buku ‘Nuansa Fiqh Sosial’ (LKiS, 1994: 101).
Buku yang diterbitkan oleh penerbit Qaf Kreativa Jakarta ini bukan hanya menarik, tapi juga sangat penting untuk dimiliki. Supaya kita semakin dekat dengan Allah melalui pemahaman agama yang sempurna. (*)
-Peresensi Ashimuddin Musa, Santri Motivator Qur’an Ekselensia Indonesia, Bogor. Alumni PP. Annuqayah Sumenep.