Oleh Sam Edy Yuswanto
Kita tentu memahami bahwa yang namanya racun itu bisa menghancurkan bahkan membunuh makhluk hidup. Racun biasanya dicari oleh manusia untuk memusnahkan sesuatu yang dirasa mengganggu. Misalnya, seseorang akan membeli racun serangga untuk mengenyahkan binatang-binatang menjijikkan seperti tikus dan kecoak yang biasa berkeliaran di dalam rumah.
Bicara tentang racun, saya jadi teringat seseorang yang ingin meracun binatang peliharaan tetangganya yang dirasa mengganggu kenyamanannya. Jadi, orang tersebut terganggu dengan burung dara yang berkeliaran di atap genteng bahkan nongkrong manis di parabola mini yang terpasang di tengah atap rumahnya. Diduga, yang membuat atap bocor karena terjadi pergesekan pada posisi genteng-genteng tersebut akibat burung dara yang biasa berkeliaran di sana. Bahkan, saluran televisi menjadi terganggu, gambarnya menjadi kurang jelas akibat burung dara tersebut nongkrong di parabola mininya.
Saya sangat yakin, keinginannya untuk meracun binatang piaraan tetangganya itu hanya sekadar guyonan. Meski terdengar agak-agak serius. Tapi saya yakin dia tak benar-benar ingin melakukannya. Dia sebenarnya sudah bicara baik-baik kepada tetangganya, tapi entah mengapa burung dara tersebut bukannya berkurang tapi malah bertambah semakin banyak.
- Iklan -
Dari sini saya bisa mengambil pelajaran berharga, bahwa hidup bertetangga memang susah-susah gampang. Kita benar-benar dituntut memiliki keluasan kesabaran dan berusaha menjaga sikap agar jangan sampai bersinggungan dengan orang lain. Yang menjadi persoalan adalah ketika kita sudah berusaha menghormati dan bersikap baik dengan siapa saja, tapi justru tetangga kita yang tidak peka, tidak peduli, acuh tak acuh dengan ketidaknyamanan orang lain akibat perbuatannya.
Sebagaimana orang yang saya ceritakan tadi, yang merasa terganggu dengan kenyamanan tetangganya yang memiara binatang dan diumbar atau dilepas bebas sehingga mengganggu kenyamanan orang lain. Yang menjengkelkan adalah ketika tetangga sudah ditegur baik-baik tapi dia malah acuh tak acuh dan tetap melepaskan hewan piaraannya bahkan semakin bertambah banyak. Karenanya, tak heran bila ada orang yang tiba-tiba merasa ingin meracun binatang-binatang milik tetangganya yang sangat menyebalkan tersebut.
Saya sempat berimajinasi, seandainya binatang-binatang tersebut benar-benar diracun dan mati semua, apakah tetangganya itu akan berhenti memiara binatang atau malah akan membeli yang baru? Kalau dia tak kapok memiara binatang dan kembali membeli binatang yang baru, apakah binatang-binatang tersebut akan kembali diracun? Dan, apakah tetangga tidak akan curiga karenanya? Kalau sampai terbukti ada yang meracun, apalagi sampai ketahuan siapa yang telah memberi racun hewan piaraannya, tentu persoalan akan bertambah kian rumit. Dan perseteruan antar tetangga pun akan berlangsung entah sampai kapan.
Sebenarnya, yang menjadi persoalan adalah pada diri tetangga tersebut. Dialah sebenarnya “sumber racun” yang menyebabkan hubungan dengan orang lain tidak lagi harmonis. Ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua; seharusnya, ketika kita ingin piara binatang, ayam misalnya, pastikan dulu, apakah kita bisa menjaga ayam-ayam tersebut atau tidak? Jangan sampai ayam-ayam kita berkeliaran di rumah tetangga dan mengotori teras rumah mereka.
Intinya, apa pun yang hendak kita lakukan, kita harus merenung lebih jauh, apakah hal yang akan kita lakukan itu merugikan dan mengganggu kenyamanan orang lain ataukah tidak? Di sinilah kita dituntut untuk memiliki kepekaan dan kebijaksanaan. Jangan sampai kita menjadi manusia egois, mementingkan diri sendiri, dan menjadi racun di kehidupan orang lain.
Sayangnya, bila kita melihat daerah pedesaan, kita akan melihat realitas yang menurut saya memprihatinkan. Banyak tetangga yang memiara binatang seperti ayam, bebek, kambing, sapi, tapi sebagian dari mereka kurang, bahkan tidak peduli dengan akibat buruk yang ditimbulkan dari hewan-hewan piaraan mereka. Misalnya, bau kotoran sapi yang begitu menyengat, karena jarak kandang sapi tersebut bersisian persis dengan rumah tetangga. Mestinya, kita harus peka dan paham, bila hidup di pemukiman padat penduduk, jangan sampai memiara binatang yang dapat mengganggu kenyamanan para tetangga.
Hidup di perkotaan juga sama. Di sebuah kompleks perumahan dengan gang yang sempit, kita harus benar-benar bisa bersosialisasi dengan baik. Jangan mentang-mentang kita banyak uang lalu seenaknya saja membeli sesuatu yang merugikan kenyamanan orang lain. Misalnya, sudah tahu gangnya sempit dan tak memiliki halaman luas, tapi nekat membeli mobil. Sehingga yang terjadi kemudian adalah, mobil tersebut diparkir di sebagian jalan depan rumah. Jalan yang sudah sempit menjadi makin sempit dan mengganggu aktivitas warga akibat mobil yang menghalangi jalan.
Memang, setiap orang berhak membeli mobil, tapi harus melihat kondisi sekitar, kalau memang punya halaman luas atau tempat pribadi untuk memarkir mobil tersebut, tak masalah. Tapi bila tak punya tempat atau garasi dan menggunakan hak umum sebagai tempat memarkir setiap hari, tentu ini sangat bermasalah dan rentan konflik dengan para tetangga.
Mungkin kita pernah menyaksikan tayangan video singkat, tentang orang yang ribut dengan tetangganya gara-gara mobil tetangganya itu diparkir sembarangan dan mengganggu kenyamanan orang lain. Nah, itulah salah satu contoh, mengapa kita harus memiliki sikap bijaksana dalam menjalani kehidupan bertetangga. Ingat, tetangga adalah orang terdekat yang biasanya menjadi penolong pertama saat kita sedang kesulitan. Jadi, berbaik-baiklah dengan para tetangga, jangan sampai kita menjadi racun di kehidupan orang lain. Semoga tulisan singkat dan sederhana ini dapat menjadi bahan renungan bersama. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.