Cerpen Pasini
Yaz ingin tertawa, tapi dua hal serasa mencegah. Pertama, wajah serius lelaki paruh baya di depannya. Kedua, bayangan kematian itu sendiri. Tak pernah ada yang menggambarkan kubur sebagai tempat yang indah bagi pendosa sepertinya. Tak ada tuak atau anggur merah lagi. Terlebih perempuan muda pemantik birahi.
Tubuhnya terasa baik-baik saja. Bahkan batuk dan bersin dalam seminggu terakhir bisa dihitung hanya dalam bilangan jari. Yaz sangat yakin bisa melakukan gerakan salto layaknya pemain sirkus, atau berlari maraton sejauh paling tidak dua kilometer, sesuatu yang jelas berironi dengan fatwa bahwa sebentar lagi ia akan mati.
“Itulah yang kulihat, meski betapa pun aku ingin, tapi tak bisa mengingkarinya. Sebagaimana inginku menggantikanmu pergi lebih dulu, tapi bukankah maut berlaku acak? Tidak berarti yang lebih dulu tiba di dunia, maka dialah yang akan lebih dulu pula meninggalkannya.” Wajah lelaki paruh baya itu tetap datar, serasa yang meluncur dari bibir hitamnya adalah harga kacang tanah yang hanya naik seratus perak per kilonya, dan bukan kematian, sesuatu yang bagi kebanyakan orang begitu serius lagi menakutkan. Termasuk bagi Yaz, di usia belum genap dua lima.
- Iklan -
Yaz linglung. Tubuhnya limbung. Cericit emprit di luar jendela riuh menertawainya. Mereka seakan menemukan jalan pembalasan setelah teman sekoloninya berakhir tragis oleh senapan angin Yaz karena alasan sepele: mengganggu tidurnya di awal hari. Karena Yaz selalu baru pulang dari rumah minum atau rumah judi atau rumah bordil jelang dini hari dan sedang enak-enaknya bermimpi saat terbitnya matahari.
Yaz menerima kata-kata lirih lelaki paruh baya itu laksana benda kenyal yang berbalik mental. Susah ia cerna. Ia tak bisa memaki lelaki itu sebagaimana kebiasaannya saat meminta uang tapi tidak langsung dikabulkan. Tidak bisa memukul pintu, tidak bisa menendang kaki meja. Ia seolah kehilangan semua kekuatannya. Serasa tubuhnya hanya terisi rangkaian otot dan daging, tanpa perpaduan dengan tulang.
Masih tanpa kata Yaz kemudian berjalan ke kamarnya dengan langkah sempoyongan selayaknya baru menandaskan bergelas-gelas minuman keras. Apalagi dipertegas oleh mata memerah menahan marah. Padahal ia hanya baru saja dipanggil lelaki paruh baya itu lalu didudukkan empat mata pada bangku kayu di dekat bingkai jendela yang terbuka.
“Kau masih punya sedikit waktu. Kali ini aku justru tak akan melarangmu melakukan apa pun lagi,” susul lelaki paruh baya itu dengan nada beranjak tinggi, sebelum tubuh tinggi besar Yaz sampai di depan kamar dan kemudian menghilang di sebalik pintu.
***
Ia pertama kali melihat gumpalan awan hitam itu di atas kepala ayahnya. Usianya ketika itu di ambang dua puluh. Kata ayahnya, ibunya meninggal saat ia masih berumur dua tahun. Entah apakah ketika itu ia juga melihat awan hitam yang sama sebelum ibunya berpulang. Bahkan ia tak mengingat apa pun tentang perempuan itu kalau saja tidak dibantu selembar foto hitam putih. Perempuan itu rambutnya disanggul, sederhana namun anggun. Bersinergi dengan cerita-cerita ayahnya kala mereka punya waktu luang bersama, seundurnya orang-orang berwajah murung yang datang ke rumah mereka dengan membawa beragam persoalan hidup.
“Ibumu tak butuh pupur dan gincu. Justru kecantikannya terpancar keluar tanpa ada yang menghalangi.” Lalu ayahnya menyeruput kopi, menyambungnya dengan kepul cerutu.
Ayahnya tak menikah lagi. Meski ia yakin pasti tidak sulit bagi lelaki itu mendapatkan perempuan pengganti. Ada beberapa perempuan yang bahkan secara sengaja cari muka dengan bermanis-manis di depannya demi mencitrakan ibu tiri bak ibu peri. Memberinya sekantung permen, memujinya sebagai anak yang mandiri karena hampir mampu melakukan banyak pekerjaan rumah tanpa dibantu. Menyapu, mencuci baju, memasak untuk dirinya dan ayahnya yang begitu sibuk dengan tamu-tamu.
Ia tak pernah tahu apa yang dilakukan ayahnya di balik ruangan yang hanya disekat oleh kelambu bercorak bunga lonceng itu. Yang ia tahu, ayahnya menyimpan beberapa keris dengan sarung beragam motif, puluhan akik, batu-batu yang ditatah menjadi miniatur hewan, juga arca selayaknya ditemui pada bangunan stupa. Ada juga berbagai macam bunga, daun-daun kering, akar-akar, yang ditumbuk ayahnya di dalam sebuah lumpang menggunakan alu kayu. Ayahnya juga sering berpuasa mutih alias tidak makan nasi pada hari-hari tertentu. Serta melakukan ritual memborehi keris tadi dengan irisan kembang tujuh rupa pada setiap jelang bulan Syuro.
Seorang perempuan sepuh pernah datang ke rumahnya. Juga lelaki senja yang tertatih-tatih jalannya, perempuan muda dengan riasan mencolok di wajahnya, seorang calon yang namanya tertera dalam pemilihan kepala desa, dan banyak lagi. Namun yang paling diingatnya adalah lelaki berbadan gempal yang menggebrak meja. Ia sampai berlari dari arah dapur tempatnya berada menuju amping pintu untuk mengintip apa yang terjadi di ruang tamu. Selama ini, ia memang tidak pernah mau tahu. Ia tidak punya ketertarikan dengan dupa, dengan ramuan akar daun yang baunya membuatnya ingin muntah. Keterlibatannya dengan pekerjaan ayahnya hanya sebatas menyuguhkan air teh atau air putih setiap kali seseorang atau beberapa orang bertamu.
“Ayolah, Ki. Sekali ini saja. Hutang-hutangku menggunung. Kalau togel ini tembus, aku bersumpah tidak akan nyabung ayam lagi.”
Ayahnya menggeleng. “Hidupku tidak kudermakan di jalan itu.”
Lelaki gempal itu berdiri. Pergi tanpa adab permisi. Tiba di ambang pintu, sekali lagi menggebrak bingkai kayu. Ayahnya geleng-geleng kepala.
“Tidak apa-apa. Dia sudah pergi,” kata ayahnya saat membalikkan badan dan menemukannya menggigil di di samping bangku kayu.
“Bagaimana kalau dia kembali lagi?”
“Tidak akan. Sudah. Jangan berpikir macam-macam. Mari makan.”
“Tapi…” Urung dilanjutkannya karena ayahnya keburu membalikkan badan. Sikap yang jamak ditempuhnya kala tak ingin memanjang-manjangkan persoalan.
Ia tak habis pikir, bagaimana bisa ayahnya memiliki ketenangan sebesar itu. Lelaki itu menghadapi semua situasi dengan kadar emosi yang sama. Serba terkendali. Kalau saja mereka bukan ayah dan anak yang telah belasan tahun hidup bersama, tak akan ia bisa membedakan rupa-rupa rasa berdasar raut wajah nyaris datar di semua waktu. Bahagia yang hanya terwakili oleh senyum tipis. Luka yang hanya sirat terbaca lewat air muka yang keruh.
Salah satu muara senyum ayahnya adalah kenangan bersama perempuan yang hanya hidup bersamanya selama lima tahun. Perempuan tercantik di kampungnya dan ia merasa bagai dipayungi keberuntungan luar biasa sebagai pemuda biasa karena bisa menyuntingnya. Pasang-pasang mata menatapnya curiga. Selebihnya iri.
Beberapa hal mengerikan kemudian rutin menyambangi kehidupan mereka. Lelaki itu diikuti ular besar setiap ke mana-mana. Dibegal di jalan dengan tubuh babak belur dibuang ke kali karena mungkin dikira sudah mati. Bau busuk dan ternyata bersumber dari segenggam tanah kuburan yang dibungkus kain kafan dan sengaja ditanam di belakang rumah. Terakhir dan tentu saja ini yang paling susah dinalar, istrinya tiba-tiba meninggal setelah malam sebelumnya perutnya tiba-tiba melembung dan kesakitan bagai ditusuk ribuan jarum.
“Peristiwa itu yang kemudian membuatku meguru.”
Ia begitu mengagumi ayahnya. Setelah ngilmu, tak lelaki itu gunakan untuk membalas orang-orang yang mencelakainya atau istrinya. Yang selalu dibilangnya, istrinya itu mati karena sudah tiba waktunya. Karena setiap orang akan tiba pada masa henti kehidupan. Pada waktu yang sudah digariskan. Dengan cara yang sudah dipatrikan.
Tapi ia tak ingin seperti ayahnya. Ia justru lebih tertarik dengan angka-angka dan berpikir alangkah enaknya bekerja di balik meja kantor dalam sebuah ruangan yang sejuk. Ia tidak bisa membayangkan orang-orang datang padanya dan mengeluhkan macam-macam. Terlebih jika ia harus berurusan dengan bau-bau ramuan dan beberapa ritual merumitkan.
“Tidak apa-apa. Bapak tidak punya hak memaksamu. Namun ada beberapa kawruh yang akan Bapak wariskan padamu. Hanya demi berjaga-jaga saja.”
Ia tak memahami maksud ucapan ayahnya sampai suatu hari dilihatnya gumpalan awan hitam di atas kepala ayahnya itu dan dijawab dengan tersenyum oleh yang bersangkutan, “Dengan itu kau bisa mengingatkan seseorang agar sisa hidupnya lebih arif.”
Beberapa hari kemudian ayahnya meninggal. Sekian tahun kemudian paman dan bibi yang menyayanginya seperti anak sendiri, ikut-ikut berpulang. Dan yang paling menyesakkan tentu saja adalah awan hitam di atas kepala seorang perempuan muda: istri terkasihnya. Anak lelakinya baru berusia sepuluh tahun waktu itu.
***
Lelaki paruh baya itu menyunggingkan senyum di sudut bibir yang kian merapuh, tatkala dilihatnya Yaz mengalirkan padasan kemudian bersuci. Ia pun tengah menyiapkan diri. Mengenakan pakaian terbaik dengan wewangian melati, menunggu seberkas cahaya berwujud seorang lelaki dengan sayap di punggungnya sebagaimana cerita ayahnya dulu sebelum benar-benar mengatupkan mata. Ia memilih posisi berbaring menyambut lelaki bersayap itu. Sekujur badannya sakit semua serasa dikerati puluhan tikus sawah. Napasnya mulai jarang dan satu-satu. Sejak kemarin ia mengeluarkan cairan merah setiap kali batuk parah.
Ada kebohongan yang tersimpan rapat dan akan lelaki paruh baya itu bawa sampai ke liang lahad. Bukan di atas kepala anak lelakinya ia melihat sekumpulan awan hitam, melainkan di atas kepalanya sendiri. (*)
***
Catatan:
Meguru : berguru
Kawruh : ilmu, pengetahuan
Padasan: tempat wudu
PASINI, mitra BPS Kabupaten Ngawi sebagai tenaga entri data. Menulis cerpen yang pernah tersiar di sejumlah media cetak dan daring, antara lain: LP Ma’arif NU Jateng, Republika, Ideide.id, Kompas.id, Cendana News, Jawa Pos, Detik, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Femina, Kartini.