*)Oleh: Tjahjono Widarmanto
Apa yang menautkan antara: April, Kartini, Chairil, literasi dan bangsa?
Yang menautkan kelima hal itu adalah aksara! Di bulan April, tepatnya pada bilangan kalender 21 April, kita memperingati Hari Kartini. Kartini adalah sosok perempuan muda yang menjadi garda depan dalam catatan sejarah perjuangan emansipasi di Indonesia. Perjuangan Kartini menegakkan emansipasi bagi kaum perempuan Indonesia dilakukan melalui tulisan, melalui aksara. Kartini muda berjibaku menyerukan emansipasi bagi para perempuan Indonesia melalui tulisan dalam bentuk surat-surat. Kumpulan surat Kartini tersebut kelak diterbitkan menjadi buku yang mencerahkan dan bersejarah berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.
- Iklan -
Melalui buku tersebut, bisa ditelisik pikiran-pikiran Kartini muda yang subversif dan melompat jauh ke depan melampaui zamannya. Dengan terang benderang ia menuliskan dunianya, dunia kaum perempuan Indonesia, yang harus membebaskan diri, bertukar lepas dari cengkeraman jaring-jaring kuasa kolonialisme, feodalisme dan patriarkisme dan membawanya menuju pandangan dunia untuk membangun situasi yang cerah dan berkeadilan.
Melalui aksaralah, Kartini memperjuangkan kaumnya. Didirikanlah sekolah untuk kaum perempuan. Bagi Kartini untuk mewujudkan perempuan-perempuan Indonesia kelak setara dengan perempuan-perempuan di belahan benua lain, mau tidak mau harus dibebaskan dari segala macam kebodohan dan itu berarti perempuan Indonesia harus melek literasi.
Di April yang sama, berselisih tujuh hari, tepatnya 28 April, para penghikmat aksara yang lain, yaitu para penghikmat puisi, memperingati Hari Chairil Anwar. Peringatan menghormati kepeloporan Chairil dalam jagat sastra Indonesia. Chairil Anwarlah yang membawa susastra Indonesia dalam konstelasi sastra dunia. Melalui Chairillah tradisi penulisan sastra puisi Indonesia berkembang melesat pesat. Tak ada puisi-puisi penyair Indonesia yang paling banyak dihafal dan dibaca oleh khalayak, selain puisi-puisi Chairil anwar. Paling tidak setiap anak sekolahan di sekolah menengah pasti pernah menghafal puisi Aku, atau di setiap tujuhbelasan akan membaca dengan lantang puisi Kerawang-Bekasi. Larik-larik puisi Chairil Anwar pun telah abadi sebagai sebuah jargon, pepatah atau kata-kata mutiara. Misalnya, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, “hidup hanya menunda kekalahan”, “sekali berarti sudah itu mati”, “Ayo, Bung Karno kasih tangan”, “kami Cuma tulang-tulang berserakan”, dan lain-lain.
Chairil dan Kartini adalah penanda jagat literasi kita (tentu saja keduanya bukan penanda satu-satunya). Dua sosok ini mengikat sebuah perjuangan dengan simpul yang sama yaitu dengan simpul keberaksaraan. Keduanya memosisikan literasi sebagai pilar peradaban.
Benang merah yang sama, bulan April pun dikukuhkan oleh UNESCO sebagai Hari Buku Dunia (world book days), tepatnya 23 April. April tampaknya menjadi bulan yang sakral bagi jagat aksara dunia. Hari Buku Dunia ini untuk menghormati sejumlah sastrawan besar dunia yang lahir atau wafat di bulan April, semisal, William Shakespeare, Jean Paul Sartre, Maurice Droun, Yasunari Kawabata, Manuel Vallejo, Vladimirovich Nabokov, Miguel de Cerventes,Saavedra, Halder K.Laxnes, Maya Angelo, dan lain-lain, sekaligus untuk mengingatkan pentingnya keberadaan buku.
Penetapan Hari Buku Dunia ini pun makin meneguhkan bahwa peradaban umat manusia identik dengan literasi atau keberaksaraan yang berarti identik pula dengan pengakuan dan apresiasi yang tinggi terhadap eksistensi sastrawan dan susastra dalam membangun peradaban manusia dan kemanusiaan.
Sebuah fakta yang tak bisa terbantahkan bahwa setiap kebangkitan bangsa, di manapun di muka bumi ini, selalu berawal dari gerakan intelektualitas. Cikal bakal kesadaran intelektual tersebut dimulai dari sebuah keterpesonaan kepada “tanda”. Tanda yang mewujud sebagai aksarsa inilah yang menjadi pemantik bagi tumbuhnya benih api kebangsaan.
Melalui keberaksaraan atau bermula dari lirearasilah sebuah wacana atau ide diekspresikan, ditawarkan, diperdebatkan dan diusung dalam ruang publik kegiatan intelektualitas. Sehingga benar kata Yudhi Latif (2008) bahwa upaya perjuangan dan kebangkitan bermula dari bebenah kata: melalui lorong bahasa dan susastra. Dengan kata lain, melalui literasilah benih kebangsaan ditebarkan dan dirumuskan.
Jurgen Harbemas menengarai bahwa terbentuknya tradisi intelektulitas modern di Eropa Barat menjadi penanda kemunculan ruang publik yang menjadi arena pertarungan wacana-wacana kritis. Ruang publik berbentuk majalah, buku, dan diskusi-diskusi ini menjadi sebuah wahana bagi komunitas para kaum intelektual. Dalam ruang publik itulah individu-individu berdebat, berbincang, dan menimbang bahkan mempertentangkan secara bebas berbagai wacana. Dari perjumpaan dan perdebatan kritis itulah mereka menyatu menjadi sebuah kelompok yang memiliki kekuatan kohesif yang melahirkan pemikiran dan kekuatan politik yang tangguh. Pun hal yang sama terjadi juga di belahan dunia manapun, termasuk Indonesia dengan kelahiran Budi Utomo, Indonesia Muda, Sarikat Islam, dan sebagainya.
Di Indonesia kebangkitan keberaksaraan yang mengungkit pula gairah kebangsaan tidak bisa dilepaskan dari kelompok intelektual mewacanakan kebangsaan,kemajuan, dan kemerdekaan.Wacana-wacana kebangsaan tersebut bermunculan pada majalah-majalah seperti Soeloeh Pengadjar (terbit 1887), Taman Pengadjar (1899-1914), Indonesia Moeda, Bintang Hindia (1902), Sinar Djawa (1914), Balai Pustaka, Panjebar Semangat, Poejangga Baroe, Siasat, Indonesia Merdeka, Beranta Indera, Indonesia Moeda, Majalah Bendera Islam, Daoelat Rakjat, dan sebagainya.
Di bulan April ini, saat memperingati hari Kartini, mengenang Chairil, mari kita hikmati kembali betapa pentingnya keberaksaraan dalam meneguhkan masa depan bangsa. Zaman yang kini senantiasa berpacu hanya bisa dikejar oleh bangsa yang meletakkan literasi sebagai aras utamanya. Selamat bulan April, selamat menghikmati aksara, selamat meneguhkan kebangsaan.
*) Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi