Oleh: Mohammad Azharudin
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang khas, yang memiliki metode tersendiri dalam melaksanakan proses pembelajaran. Meski tidak ada kurikulum tertulis yang mengatur segala yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar layaknya pendidikan formal, bukan berarti pesantren tidak memiliki manajemen akan hal tersebut. Seluruh pesantren (khususnya pesantren salafiyyah/tradisional) serentak menerapkan aturan tidak tertulis yang mengatur segala hal menyangkut proses pembelajaran. Sebagai contoh, secara umum tingkatan pendidikan di pesantren terdiri dari ula-wustha-‘ulya. Kemudian dari segi kitab yang diajarkan; para kiyai akan mengajarkan kitab-kitab dasar terlebih dahulu untuk membangun fondasi berpikir para santri sebelum mengajarkan kitab-kitab yang lebih kompleks.
Metode pembelajaran yang diterapkan di pesantren umumnya ada 2. Pertama, metode sorogan (mengedepankan pendekatan individu); kedua, metode bandongan (mengedepankan pendekatan kolektif). Selain itu, setiap kiyai juga memiliki model pembelajaran tersendiri yang diterapkan di luar kelas. Misalnya, ada kiyai yang menekankan pendidikan akhlak bagi para santri, ada kiyai yang memfokuskan pengasahan intelektual, ada juga kiyai yang mengajarkan untuk bersosialisasi kepada semua orang tanpa sekat status sosial. Pendidikan khas dari tiap kiai tersebut tentu memiliki nilai kebermanfaatan masing-masing―asalkan setiap santri menerapkannya dalam kehidupan.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran aktif santri sangat dibutuhkan. Santri bukan hanya berperan sebagai peserta didik, tapi juga merupakan tangan panjang kiyai (khususnya dalam menggaungkan syiar Islam). Sebagai lembaga pendidikan―disadari atau tidak―pesantren memiliki banyak hal dengan nuansa pendidikan. Salah satunya adalah tradisi ro’an. Ro’an merupakan istilah untuk menyebut kegiatan kerja bakti di pesantren. Biasanya ro’an dilaksanakan di hari Jum’at, karena pada hari tersebutlah kegiatan ngaji diliburkan. Ada juga pesantren yang melaksanakan ro’an di hari Minggu. Ini biasanya dikarenakan banyak santri yang juga merupakan siswa sekolah, yang mana hari libur mereka adalah hari Minggu.
- Iklan -
Bila dilihat secara sekilas, ro’an memang tampak sebagai kegiatan yang biasa. Akan tetapi, menurut saya, terdapat 2 nilai pendidikan dalam ro’an jika dilihat lebih dalam. 2 nilai pendidikan tersebut yakni.
Pendidikan Moral
Mungkin orang-orang yang tak pernah bersinggungan sama sekali dengan pesantren memiliki anggapan bahwa pesantren sebatas mengajarkan soal agama. Dugaan yang lebih ekstrem lagi adalah ketika lulusan pesantren dipandang hanya akan menjadi modin, tak lebih. Beberapa kali saya bahkan mendengar bahwa lulusan pesantren dianggap tak bisa menjawab tantangan transformasi zaman. Stigma-stigma negatif tersebut muncul karena karena mereka menilai pesantren dari permukaannya semata. Padahal, jika mereka berkenan menyelam lebih jauh, mereka akan menemukan bukti bahwa stigma-stigma negatif tadi tidak benar. Hal tersebut salah satunya bisa dibaca dari pendidikan moral yang terkandung dalam ro’an.
Tak sedikit kita temukan pernyataan soal modernisasi yang menimbulkan dekadensi moral. Pesantren, melalui tradisi ro’an-nya, menurut saya mampu menjawab problematika tersebut. Dalam ro’an―secara tidak langsung―santri dididik untuk mengikis egonya dan lebih mengedepankan sisi kerja sama. Hal ini dapat menekan tumbuhnya karakter individualis pada diri santri. Sebaliknya, ro’an justru bisa mengasah teamwork ability bagi santri. Para santri dilatih untuk bergerak dan bekerja berdasarkan kesepakatan kolektif. Seandainya tiap santri bekerja dengan egonya masing-masing, kegiatan ro’an tak akan berjalan lancar dan kemaslahatan bersama tidak akan tercipta.
Selain itu, ro’an juga mengajarkan pada santri untuk menerima perbedan yang niscaya. Tak peduli berasal dari suku apa, tak peduli dialek yang dimiliki bagaimana, tak peduli orang tuanya berprofesi sebagai apa, semua melebur dalam harmoni gotong royong. Tanpa sadar hal tersebut dapat menciptakan generasi yang pluralis, generasi yang tidak gampang menghakimi pihak yang punya perbedaan dengan dirinya. Generasi seperti inilah yang kita butuhkan, kapan pun juga di mana pun. Sebab, tanpa generasi yang mampu menerima perbedaan, tentu akan muncul berbagai sikap intoleran. Mulai dari budaya kafir-mengafirkan hingga kebiasaan mengklaim orang lain yang berbeda tidak akan dapat jatah masuk surga. Padahal, Allah swt telah menerangkan secara tersirat bahwa keberagaman adalah keniscayaan dalam surat Yunus ayat 99. Dan, saya rasa tradisi ro’an di pesantren telah mengejawantahkan hal tersebut.
Pendidikan Ekologi
Dalam beberapa artikel yang pernah saya baca disebutkan bahwa sekarang telah banyak orang menyadari tentang masalah serius yang ditimbulkan antroposentrisme. Menurut KBBI, antroposentrisme bermakna ajaran yang menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah manusia. Memang benar ajaran ini membawa modernisasi pada tingkat yang lebih jauh. Namun, tak dapat disangkal, di sisi lain antroposentrisme justru mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi alam secara besar-besaran. Hal ini disebabkan karena bagi ajaran antroposentrisme subjek di alam semesta hanya manusia, sementara lingkungan adalah objek yang dapat dimanfaatkan secara bebas.
Berbanding terbalik dengan apa yang terkandung dalam tradisi ro’an. Disadari atau tidak, ro’an sebenarnya menempatkan lingkungan juga sebagai subjek alam semesta, bukan hanya manusia. Melalui ro’an, para santri secara tidak langsung diajarkan bahwa lingkungan juga memiliki peran terhadap keberlangsungan kehidupan. Oleh sebab itu, ia tidak boleh dibiarkan apalagi dieksploitasi secara serampangan. Bagaimana pun, lingkungan harus dirawat, salah satu caranya adalah dengan menjaga kebersihannya. Memang benar ini bukan merupakan langkah besar untuk mengatasi problematika perubahan iklim. Meski demikian, tetap harus diakui bahwa langkah kecil jauh lebih berarti daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali.
Tradisi ro’an di pesantren mungkin bukan solusi dari seluruh masalah lingkungan yang dihadapi manusia sekarang. Namun, melalui tradisi ro’an para santri diajarkan―secara tersirat―bahwa tugas manusia di bumi sebagai khalifah bukan untuk ‘menguasai’, melainkan ‘mengelola (bumi) dengan baik’. Melalui hal ini, maka pernyataan bahwa santri tak bisa menjawab tantangan perubahan zaman jelas terbantahkan. Santri justru turut ambil peran dalam menjaga lingkungan demi keberlangsungan kehidupan. Wallahu A‘lam.
– Alumni Pondok Pesantren Miftachussa’adah Genteng, Banyuwangi