Oleh Mahan Jamil Hudani
Ramidi selalu ingat akan ceramah Ustaz Budiman beberapa waktu lalu. Inilah kesempatan Ramidi untuk bisa mendapatkan itu. Lelaki itu sudah merasakan dekat dengan masa kematiannya. Bulan ini usianya telah menginjak tiga perempat abad, usia yang menurut pendapat orang-orang adalah bonus besar dari Tuhan.
Ramidi merasa tidak memiliki amalan banyak yang bisa menjadi bekal dan pahala dalam hidupnya. Ia sadar siapa dirinya di masa lalu. Betapa banyak kemaksiatan yang telah ia perbuat. Selain suka mabuk-mabukan dan berjudi serta menjadi lintah darat yang bengis, pada masa telah menjadi seorang ayah dengan lima anak, ia juga masih sering main perempuan. Celakanya lagi, ia tidak menjalankan ajaran dan perintah agama yang wajib sekalipun semisal salat dan puasa pada bulan ramadan. Dulu, ia menganggap semua itu hanya sesuatu yang sia-sia, sesuatu yang benar-benar tidak bisa menjadi penolong dalam hidupnya. “Hidup itu harus dinikmati, kenapa harus bersusah payah dan menderita untuk salat dan puasa,” begitu selalu katanya.
Ia hampir-hampr tidak mengenal ajaran agama sejak kecil. Ia lahir di kampung pelosok yang penduduknya rata-rata hidup dalam kemiskinan, menjadi upahan menggarap kebun atau sawah milik para juragan dan tuan tanah. Ia tumbuh menjadi remaja dengan kebosanan dan kebencian pada kemiskinan. Ya, ia sangat muak sekali dengan kehidupan masa kecil dan remajanya. Banyak perempuan kampung menolak cintanya. Ia pernah juga ditinggal sang pacar – dan itu adalah sekali waktunya ia memiliki seorang kekasih – yang kemudian menikah dengan orang kaya di desanya. Itu pasti karena dirinya miskin, begitu yang tertanam dalam otaknya.
- Iklan -
Di pikirannya saat remaja hanya satu, bagaimana bisa menjadi orang kaya dan dihormati oleh orang banyak. Jika ia kaya, tentu banyak perempuan dengan mudah bisa ia dapat. Betapa dendam ia dengan masa muda dan kisah cintanya yang kelam. Ia ingin bisa membeli semuanya, termasuk para perempuan. Mulailah ia berusaha dengan keras mengumpulkan uang dan harta. Tak kenal lelah dan waktu ia melakukan itu. Segala cara dilakukan dan semua akhirnya terwujud. Ia bisa membeli sawah dan kebun, membangun rumah, dan mampu membeli perhiasan serta kendaraan. Ia pun mulai berpikir bagaimana cara agar hartanya beranak pinak. Jadilah ia lintah darat.
Apa yang harus ia bawa pada saat menemui Tuhan nanti. Itulah yang mulai meresahkan batin Ramidi. Ia juga merasa tidak mendidik istri dan anak-anaknya dengan benar dalam hal agama sehingga mereka tumbuh dengan sendirinya meski ia tetap bertanggung jawab membiayai pendidikan anak-anaknya hingga mereka mapan dengan usaha dan pekerjaannya masing-masing. Anak-anaknya juga tidak pandai mengaji, lalu siapa nanti yang akan mendoakan dirinya saat ia menemui Tuhan. Mereka sekarang telah mempunyai kehidupan sendiri dan tinggal terpisah dengannya sehingga ia tidak lagi merasa memiliki kesempatan menasihati atau memohon pada anak-anaknya sebagai wasiat terakhirnya.
***
Ramidi ingin benar-benar bertaubat. Ia merasa Tuhan masih memberi kesempatan padanya dan tentulah ia tidak ingin menyia-nyiakan itu. Dua bulan lalu ia masih sibuk dengan urusan dunianya, masih bangga dengan segala kekayaannya. Ia merasa segala hartanya itu telah membuat dirinya mulia di mata orang-orang kampung, saudara, dan anak-anaknya. Tidak ada orang di kampungnya yang lebih kaya darinya. Ia pernah sesumbar bahwa ia mampu membeli apa saja, termasuk surga. Bahkan ia telah menciptakan surga sendiri.
Pekerjaan lain yang ia tekuni adalah jual beli hewan. Sebagai belantik besar dan terkenal, pekerjaan itu telah membawanya kepada puncak kesuksesan duniawi. Ya, ia adalah belantik; juragan sapi, kerbau, dan kambing yang sangat tersohor selain sebagai tuan tanah. Semua orang tahu itu. Bahkan ia juga menjadi pemasok beberapa penjagalan sapi di kota kabupaten. Ia bangga sekali dengan profesi itu. Tentu ia melakukan banyak strategi untuk bisa mempertahankan itu. Ia banyak menjatuhkan para pesaingnya dengan cara licik sehingga bisa tetap bertahan bahkan mencapai puncak. Hingga suatu ketika, seekor sapi miliknya mengamuk dan menendangnya hingga ia terjungkal, tumbang, dan jatuh sakit. Beberapa tulang punggungnya patah dan harus dirawat di rumah sakit.
Ramidi heran, selama hidup, ia mampu mengendalikan semua hewan itu. Baginya, menaklukan hewan-hewan piaraan dan jualannya itu tidak lebih sulit dari mengurus beberapa perempuan simpanan di kota kabupaten saat ia mengantar pasokan hewan ke penjagalan. Ia masih tidak percaya keahlian dan kehebatannya tidak lebih kuat daripada kaki seekor sapi. Saat sakit itulah, ia mulai merasa ketakutan. Ia dibayang-bayangi sesuatu yang mengerikan yang membuatnya selalu susah tidur dan batinnya kacau balau. Ia belum ingin mati. Ia ingin bertaubat menjadi sosok yang lebih baik. Tuhan menyembuhkannya, dan ia ingin menunaikan janjinya pada sang pencipta bahwa ia ingin rajin beribadah.
Ramidi benar-benar mulai rajin salat berjamaah lima waktu di masjid. Ia mulai sering mengikuti pengajian walau baru berjalan dalam hitungan minggu. Mulai rajin puasa senin dan kamis juga rajin berinfak serta bersedekah pada masjid dan orang kurang mampu di desanya, terutama pada orang-orang yang dulu hartanya ia rampas dengan cara culas. Tapi ia merasa semua itu belum cukup untuk mendapat ampunan dan surga dari Tuhan. Ceramah Ustaz Budiman kembali mengusiknya.
***
Setiap waktu masuk salat tiba, orang-orang kampung mendengar suara azan yang parau dari masjid kampung. Suara yang sungguh tidak enak didengar. Suara azan itu seperti suara hewan yang sedang disembelih, tercekik dengan nada yang sangat sumbang sekali. Orang-orang tahu, itu suara azan Ramidi. Lelaki tua itu adalah orang pertama yang tiba sebelum masuk waktu salat hingga bisa mengumandangkan azan dengan melihat waktu penanda salat dari layar yang tertera di dekat tempat imam.
Sebagian orang memaklumi suara sumbangnya karena mereka tahu bahwa Ramidi, belantik hewan terkenal itu sudah insyaf. Banyak orang senang melihat pertobatan lelaki tua itu. Tapi sebagian orang lagi tidak urung berkomentar minor. “Kenapa harus Ramidi yang mengumandangkan azan? Apa tidak ada lagi orang lain? Ke mana si Qomar, muazin muda yang biasanya melakukan panggilan azan dengan suara yang merdu itu?”
Beberapa orang lalu datang kepada Qomar, menanyakan kenapa mangkir mengumandangkan azan. Mereka tentu tidak berani melarang Ramidi. Bukan mereka takut pada lelaki tua itu atau tidak merasa enak padanya, tapi lebih karena mereka takut dosa dan memang tidak punya alasan melarang orang lain untuk mengumandangkan azan terlebih Ramidi memang telah tiba terlebih dahulu di masjid jauh sebelum waktu masuk salat. Ia sengaja ingin mengumandangkan azan.
“Andaikan saya tiba terlebih dahulu sebelum Mbah Ramidi, beliau tetap akan memohon pada saya untuk memperkenankan beliau yang mengumandangkan azan. Saya benar-benar tidak tega untuk menolak permintaan beliau,” jawab Qomar saat orang-orang bertanya padanya.
“Kamu kan bisa bilang pada Mbah Ramidi, kalau suara beliau itu sumbang dan tidak enak didengar,” Asror menanggapi Qomar.
“Wah saya tidak berani mengatakan itu. Coba Kang Asror yang bilang sendiri pada Mbah Ramidi,” balasan Qomar itu membuat Asror terdiam. Sebagian orang lalu mendatangi Ustaz Budiman, imam masjid yang juga berprofesi sebagai penceramah. Sang Ustaz juga dengan bijak meminta pengertian pada para jamaah untuk memberi kesempatan Ramidi. “Mbah Ramidi sedang cinta-cintanya pada azan, jadi ya tidak mengapa. Kita berikan beliau kesempatan,” jawab ustaz tersebut sambil tersenyum arif.
Beberapa minggu berjalan, Ramidi tetap mengumandangkan azan setiap masuk salat lima waktu. Orang-orang yang dulu memiliki perasaan kurang suka pada suaranya kini menjadi terbiasa. Mereka yang rajin datang salat berjamaah di masjid tetap melakukan salat walau awalnya mereka malas berjalan ke masjid karena mendengar alunan suara Ramidi. Orang-orang itu menafsirkan ucapan Ustaz Budiman sebagai permakluman. Toh usia Ramidi juga tidak akan lama lagi di dunia ini. Usia tiga perempat abad itu adalah usia yang memang harus sudah siap dipanggil Tuhan. Ya jadi biar sajalah, batin mereka.
Karena pertimbangan permakluman usia Ramidi itu pula, jamaah masjid kini bahkan mulai bertambah. Mereka para jamaah baru, merasa malu jika tidak turut pergi ke masjid, khususnya orang-orang yang tinggal di jalan yang dilewati Ramidi. Mereka selalu melihat lelaki tua itu berjalan kaki menuju masjid pada saat menjelang waktu salat khususnya Zuhur, Asar, dan Magrib, padahal rumah Ramidi cukup jauh dari masjid dan lelaki itu juga memiliki banyak kendaraan. Orang-orang sangat paham jika lelaki tua itu berjalan kaki menuju masjid sebagai suatu usaha untuk menambah pahala.
***
Pagi itu, orang-orang tidak mendengar kumandang azan Subuh dari pelantang seperti biasanya. Banyak orang tidak datang salat berjamaah. Salat subuh yang biasanya terdiri hampir tiga saf sejak Ramidi menjadi muazin, pagi itu hanya seperempat saf yang menjadi makmum. Ya, hanya lima orang jamaah yang hadir di masjid. Ketika Asror bertanya pada Qomar kenapa ia tidak menggantikan Ramidi melakukan panggilan azan, Qomar menjawab jika ia datang ke masjid agak terlambat. “Selama ini saya pergi ke masjid dengan mengandalkan kumandang azan Mbah Ramidi,” jawabnya.
Zuhur hari itu, Ramidi juga tidak mengumandangkan azan, begitu juga Asar dan Magrib. Ternyata Ramidi sedang sakit. Ustaz Budiman, Qomar, dan beberapa jamaah menjenguk Ramidi. Lelaki tua itu sangat bersedih sampai terdengar sesunggukan di depan Ustaz Budiman karena tidak lagi mampu pergi ke masjid untuk melakukan panggilan azan. Beberapa hari kemudian, orang-orang juga mulai merasakan rindu karena tidak mendengar kumandang azan suara Ramidi yang sumbang.
Tak lama kemudian tersiar kabar, Ramidi meninggal dunia. Sungguh para pelayat yang datang bertakziah melihat senyum di bibir Ramidi. Qomar teringat saat ia bersama beberapa jamaah menjenguk Ramidi yang sakit beberapa waktu lalu. Ramidi bercerita jika ia senang melakukan kumandang azan setelah lelaki itu mendengar ceramah Ustaz Budiman tentang keutamaan dan pahala orang yang senang melakukan azan.
Ramidi ingin mengejar tambahan pahala dan kebaikan, ia sadar bahwa salat, puasa, dan sedekahnya mungkin masih belum cukup. Ia belum pandai membaca Alquran. Ia merasakan dengan melakukan panggilan azan, ia seolah sedang mengumpulkan kebaikan dari banyak orang, khususnya mereka yang datang ke masjid untuk salat karena lantunan azannya. Lebih dari itu, Ramidi seperti melihat surga di bibirnya. Itulah ia begitu bersemangat dan bahagia untuk melakukan azan.
Sejak kematian Ramidi, orang-orang banyak berlomba ingin menjadi muazin, jamaah masjid makin ramai saja. Mereka ingin melihat surga di bibir mereka. (*)
Tentang Penulis:
Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Pernah nyantri di Ponpes Al-Muayyad, Surakarta. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan Komunikasi Penyiaran Islam di STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel), kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan ketua komite sastra DKTS. Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Medan Pos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, Singgalang, Utusan Borneo, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Rakyat Sumbar, Rakyat Aceh, Rakyat Sultra, Kabar Priangan, Analisa Medan, Lampung News, Majalah Semesta, Majalah Mutiara Banten, Majalah Kandaga, Majalah Elipsis, maarifnujateng.or.id, kareba.id, gadanama.my.id, lensasastra.id, iqra.id, magrib.id, himmahonline.id, detik.com, cendananews.com, sabah3600nline.com, madahetam.com, madrasahdigital.co, labrak.co, Cakra Bangsa, Dinamika News, Radar Bromo, Radar Malang, Radar Kediri, dan Radar Mojokerto. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021), dan Di Way Kulur, Tak Ada Lagi yang Kucari (2022).