Oleh: Jumadi*
Judul Buku: Merasa Dekat dengan Tuhan itu Godaan yang Berat
Penulis: M. Zaid Su’di
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan: Pertama, Januari 2022
Tebal: x + 129 halaman
ISBN: 978-623-7284-69-7
Fenomena keberagamaan yang tegang, kaku, dan pola pikir yang sempit sering kali menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Fenomena inilah yang ditangkap M. Zaid Su’di (selanjutnya Mas Zaid) kemudian diracik menjadi sebuah tulisan yang asyik dan menggelitik para pembaca. Di dalam buku ini Mas Zaid mengajak kita untuk merenungi dan menelaah kembali cara keberagamaan kita. Apakah kita sejauh ini dalam beragama masih menggunakan ketegangan, kekakuan, dan pola pikir sempit. Jauh dari kata rileks, bijaksana, dan maju.
Tulisan-tulisan Mas Zaid dalam buku ini mengajak kita untuk beragama secara rileks dan dengan pola pikir yang luas dan maju. Semisal, dalam bagian “Merasa Dekat dengan Tuhan itu Godaan yang Berat” Mas Zaid menyuguhkan anekdot seorang laki-laki saleh bernama Yaakov yang meninggal akibat pola pikir sempitnya, “Tuhan akan menolongku.” Padahal, dalam anekdot itu diceritakan Tuhan sudah mengirimkan dua perahu dan satu helikopter melalui hamba-hamba-Nya agar dia selamat dari banjir yang menenggelamkan kampungnya tersebut.
- Iklan -
Perasaan sangat dekat dengan Tuhan, seperti anekdot di atas, barangkali menjadi salah satu jenis godaan bagi orang saleh. Perasaan semacam itu kadang-kadang bisa menipu dan membuat orang jadi aneh. Orang bisa jadi merasa paling benar, merasa paling tahu apa yang Tuhan kehendaki, bahkan merasa bahwa Tuhan seharusnya bertindak sesuai kemauannya. Sikap-sikap semacam ini tidak hanya membuat kehidupan beragama kehilangan kegirangan, tetapi juga berbahaya, di antaranya memunculkan kecenderungan bersikap otoriter dalam menafsirkan agama (hlm. 2-3).
Padahal, Mas Zaid di dalam bukunya ini juga menjelaskan bahwa Nabi saw. adalah pribadi yang ceria, suka tertawa, bercanda, dan tidak melulu bersikap resmi. Sayangnya, riwayat-riwayat tentang sisi manusiawi ini jarang diedarkan. Nabi saw. lebih banyak dihadirkan sebagai sosok yang lurus, kaku, dan hanya suka memberikan perintah atau gemar melarang-larang saja. Minimnya cerita semacam itu barangkali ikut bertanggung jawab atas meruyaknya sikap keberagamaan yang rigid (hlm. 91).
Mas Zaid dalam buku ini juga mengkritik program pengajian keagamaan di televisi yang tidak terlepas dari motif hiburan semata. Pasalnya, dengan model dakwah semacam itu, jamaah atau pemirsa tidak dididik untuk meninjau persoalan dengan argumentasi yang memadai, tetapi lebih kepada selalu memandang persoalan serba hitam-putih dan skriptualistik. Lebih jauh lagi, model dakwah seperti itu sebagai biang keladi “krisis kultural” zaman sekarang ini (hlm. 74-75).
Pola pikir yang sempit ini juga dicontohkan Mas Zaid dalam tulisannya yang berjudul “Menjadi Muslim yang Tak Takut Wisata ke Candi”. Kekhawatiran soal pencemaran akidah karena mengunjungi lokasi yang dianggap mungkar terlalu berlebihan, sehingga cenderung mempersempit perspektif. Sikap ini membuat orang gampang curiga, panik, dan menyederhanakan persoalan, termasuk meremehkan kadar keimanan seseorang. Di luar hal itu, menolak wisata ke situs-situs bersejarah seperti candi sesungguhnya melewatkan hal penting lainnya. Karena dari situs candi kita menjadi tahu bahwa sesuatu yang dibangun tidak secara instan terbukti berumur panjang. Di sana juga ada pelajaran tentang kerja keras, kegigihan, kesabaran, keterampilan, ketelitian dan lain sebagainya (hlm. 80).
Tentang pola pikir keberagamaan kita sehari-hari yang sempit dan kaku ini dikupas tuntas Mas Zaid di dalam karyanya ini, sehingga ketika kita membacanya akan merenung dan manggut-manggut karena menyadari betapa sempitnya pola pikir kita dalam beragama. Misalnya tentang stereotip kita sebagai muslim terhadap orang Yahudi. Namun, tanpa kita sadari kita juga sering melakukannya. Kita kadang terlalu berlebihan dalam mengkritisi orang lain tetapi lupa bercermin. Kita seolah paling benar padahal belum tentu. Kita terjebak oleh ilusi pikiran kita sendiri, yang merasa sok benar, sok tahu, dan sok-sokan yang lainnya.
Di tangan Mas Zaid, fenomena-fenomena keberagamaan kita yang kadang lucu dan konyol menjadi sebuah bacaan yang enak dan mudah dipahami. Selain mengajak kita sebagai pembaca untuk sadar, membaca tulisan-tulisan Mas Zaid dengan gaya khas berceritanya ini juga akan membuat kita merasakan kepedasan karena banyak “cabai rawit” yang disajikan untuk kita yang mempunyai pola pikir sempit dan kaku dalam beragama. Tulisan-tulisan Mas Zaid ini tentu layak diapresiasi dan perlu kita jadikan bahan perenungan dalam kehidupan sosial dan keberagamaan kita. Selamat membaca!
* Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pria kelahiran Pati-Jawa Tengah ini kini bermukim di Jejeran, Pleret, Bantul, DIY.