Oleh Abdur Rosyid
Pondok pesantren adalah suatu tempat yang sangat efektif untuk belajar pendidikan agama baik itu fiqih, tasawuf, tauhid, nahwu, bahkan sampai ilmu sosial pun di pelajari. Di pondok pesantren, umur bukanlah hal yang dijadikan problem dalam belajar, karena pada dasarnya tidak ada batasan dalam memulai menuntut ilmu, entah itu muda ataupun tua, semua layak mendapatkan hak pendidikan. Terkhusus pendidikan agama di Pondok Pesantren.
Lain dengan pendidikan formal, entah itu sekolah bahkan kampus. Karena dalam pendidikan formal, peserta didik di batasi dalam berpendidikan dan juga batasan untuk lamanya belajar. Hal tersebut sebenarnya bagus, karena umur dirasa juga dapat mempengaruhi pola berfikir seseorang.
Pentingnya Pendidikan Pesantren & Pendidikan Formal
Melihat ketentuan PP No. 47 Tahun 2008 pasal 7 ayat 4 dan 5, yang mana tertuliskan bahwa setiap daerah mewajibkan peserta didik untuk menempuh pendidikan formal minimal 12 tahun. Disisi lain, orang tua pun juga akan khawatir terhadap masa depan anaknya jika tidak mempunyai ijazah sekolah. Yang mana ijazah sekolah seakan-akan menentukan kemampuan seseorang dalam bekerja dan bersosial.
- Iklan -
Bahkan akhir-akhir ini tak sedikit pondok pesantren di dirikan dengan basis Modern, atau dalam artian pondok pesantren yang juga menyediakan fasilitas kepada para santri untuk berpendidikan formal.
Berangkat dari hal tersebut, menjadikan banyaknya para santri masa kini yang nyambi sekolah. Mungkin bagi santri yang pernah merasakan posisi seperti ini, ia akan bingung, karena penulis juga pernah merasakan hal yang sedemikian rupa. Seakan-akan tubuh ini di belah jadi dua tapi di paksakan untuk menjadi satu, dengan kata lain terombang-ambing.
Pernah suatu ketika penulis dan teman santri salaf lainya ngumpul di kamar sambil istirahat santai ditemani dengan kopi dan tembakau dari lereng Sindoro seusai ngaji dengan pak yai, salah satu santri menanyakan sesuatu hal yang sedang gencar di media kepada penulis.
Penulis yang waktu itu menjadi salah satu santri yang nyambi sekolah, mendapat pertanyaan dari temannya itu si penulis tidak bisa menjawabnya, alhasil kata “gimana anak sekolah kok ndak tau” langsung muncul begitu saja. Karena menjadi santri yang sekolah itu dipaksa untuk tau segalanya, termasuk permasalahan yang sedang gencar di media sosial.
Begitupun sebaliknya, ketika berada di sekolahan dan sedang membahas tentang persoalan agama di situ tidak dapat menjawab dengan jawaban yang memuaskan, teman sekolah pasti akan mengeluarkan kata “giman sih anak pondok tidak tahu”.
Dari cerita di atas, memang menjadi seorang satri yang juga nyambi sekolah itu tidaklah mudah. Bahkan ia dituntut juga untuk mengetahui dan memahami apa yang telah dibekali selama ia mondok maupun sekolah.
Jika kita perhatikan, pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah saat ini dipandang sangat perlu, dan bahkan sebenarnya dua pendidikan ini tidak bertentangan, justru saling melengkapi. Sebagai contoh di pesantren kita di ajarkan memahami isi dari kitab Sahih Bukhari, seperti membahas tentang ajaran dari isi hadis tersebut dan cara mengimplementasikan terhadap kehidupan sehari hari, sedangkan di sekolah kita belajar dari sisi mengenai bagaimana biografi sang pengarang kitab, seperti apa sejarahnya, dan darimana sanadnya.
Akhir kata dari penulis, seharusnya dua tempat menimba ilmu ini dapat bersinergi bersama saling kuat menguatkan, karena menurut pandangan penulis dalam pendidikan pesantren, para santri di penuhi dengan pembelajaran yang berbasis teori tentang seputar agama dan juga sosial, sedangkan dalam pendidikan formal sebenarnya juga sama, banyak teorinya. Namun dalam segi mencari jaringan, di pendidikan formal akan terasa lebih meluas, karena teori juga butuh di aplikasikan, sehinga dua duanya ini bisa berjalan sebagaimana mestinya.
-Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan INISNU Temanggung, Kader PMII Rayon Kh. Subukhi INiSNU Temanggung