Oleh: Muhammad Itsbatun Najih
Kita baru saja memperingati Hari Bela Negara (HBN) saban 19 Desember. Ditilik mendalam, bela negara bermula dari kemerdekaan dan nasionalisme. Keduanya saling berkelindan. Awalnya adalah kecintaan pada kampung halaman. Bermula dari anasir kesukuan (tribalisme) berlandas etnisitas. Orientasi identitas primordial kemudian ditinggalkan untuk menyusun rumusan bersama dari keberbedaan tersebut; lantas dinamakan Negara. Nasionalisme merupakan temali dalam imaji kebersatuan membentuk identitas baru. Prasyarat nasionalisme ialah kerelaan menerima liyan; menanggalkan keakuan.
Kata “kemerdekaan” meski bersinonim dengan “kebebasan”, tetapi, cakupan yang terkandung memiliki pemaknaan mendalam. Kemerdekaan itu diperjuangkan habis-habisan. Ada pemikiran, segala harta benda, sekaligus nyawa yang dipertaruhkan. Kita punya kata eksklusif tersebut dan memilihnya ketimbang diksi “kebebasan”.
Ketika nation-state mewujud, kemerdekaan dan bela negara meniscayakan kebebasan bertanggungjawab. Mengapa? Lantaran proses pemerolehannya berkait martabat dan pengorbanan. Martabat dalam artian masing-masing pihak bersedia menurunkan ego. Mengutamakan tujuan bersama/prioritas. Kemerdekaan tetap menjadi mimpi bila masing-masing kelompok memaksa kehendak sendiri-sendiri. Hal ini terasa amat sulit, karena bukan soal kuasa harta atau kedudukan yang jadi acuan, tetapi menyangkut identitas jati diri. Nasionalisme mensyaratkan kesediaan bersanding, kerelaan dipimpin oleh siapapun, kesudian untuk bersetia kepada pemimpin yang berlainan latar belakang.
- Iklan -
Para pendiri Republik berasal dari ragam daerah, berlainan suku, lintas iman. Dan, hampir seluruh wilayah Nusantara pernah berdiri sebuah kerajaan. Sebagai daerah kepulauan, orang Aceh, Bugis, Bali, Dayak, dan lain-lain, bersedia ke Jawa dengan menyeberangi lautan. Mereka berkumpul di Batavia mengkonsolidasikan kekuatan. Berkumpul di Jawa sekadar dalil sebuah “kebetulan” karena di situlah rezim kolonialisasi bercokol. Seandainya pusat kolonialisasi bersarang di ranah Minang, tentulah orang Jawa akan mengarungi lautan ke pulau Sumatra.
Spirit nasionalisme diperlukan sebagai langkah paling rasional dan relevan kala itu. Pertama, menjadi fakta ketika perlawanan kepada kolonial berujung kekalahan dengan mengandalkan spirit kedaerahan. Ibarat sebatang-dua batang lidi bakal kewalahan membersihkan serakan sampah. Kedua, romantisme masa lalu dengan pengandaian sistem kerajaan, nyatanya tidak berhasil mengusir kolonialis secara total. Konsepsi kerajaan adalah dinasti yang bertipikal kedaerahan, monopoli keluarga, satu suku, dan cenderung berkepemimpinan absolut-otoriter. Hal ini, tentu antiklimaks dalam perwujudan nation-state yang menjunjung asas kesetaraan oleh dan untuk semua pihak.
Imaji perihal negara bernama Indonesia akhirnya terbentuk tahun 1945. Nasionalisme menjadi kunci. Para pendiri negeri ini bersepakat menyatukan perbedaan dan merayakannya. Menyatukan dalam arti menjadikan Indonesia rumah besar sekaligus tanah kelahiran bersama. Perbedaan sememangnya adalah tamansari yang indah di mana setiap liyan adalah representasi diri sendiri yang menyimpan aneka karateristik. Di sinilah nasionalisme mesti diluaskan pemaknaannya. Sebelum kemerdekaan, spirit nasionalisme berada pada tahap untuk melangkah menyatukan gerak secara bersama. Pasca-kemerdekaan, nasionalisme adalah rasa saling memiliki; menjadikan aset keanekaragaman sebagai kebanggaan bersama.
Dari sekitar dua ratusan negara, Indonesia memiliki sejumlah kekhasan dengan segenap kekayaan khazanahnya. Konklusinya, kala rendang ditahbis kuliner terlezat sedunia, penulis sebagai orang Jawa, misalnya, tentulah ikut berbangga. Begitupun ketika tarian saman dan tarian kecak, lebih dikenal masyarakat internasional, tidak menjadikan tarian daerah lain berkurang nilai daya tariknya lantaran saman dan kecak telah bersebut menjadi tarian Indonesia, tarian kita.
Pada hari-hari ini, nasionalisme diimpit sejumlah aral kemusykilan. Pertama, gagasan membentuk sistem kekuasaan memusat yang menanggalkan konsep nation-state seperti kekhilafahan. Oleh pengusungnya, nasionalisme dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Padahal, di dalam agama sendiri, tidak ada aturan teknis berkait bentuk pemerintahan. Agama sekadar memberikan pandangan nilai etis. Pemuka agama sekaliber K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan justru merupakan bagian pendorong utama berdirinya negara Indonesia. Oleh Mbah Hasyim, nasionalisme (wathaniyyah) merupakan bagian dari perkara agama (min umur ad-din). Keduanya tidak berseberangan. Bahkan relasi keduanya disebut muta’adlidan, saling menguatkan. Dengan adanya negara, keberlangsungan praktik keberagamaan bisa berjalan lebih optimal. Karena itu, menjaga negara teranggap sama halnya menjaga agama.
Kedua, tantangan di era globalisasi; masyarakat 5.0. Globalisasi seakan menggerus sekat antarnegara. Mencairnya interaksi sosial dan komunikasi warga dunia. Ditilik mendalam, globalisasi justru menguatkan prinsip nasionalisme. Globalisasi sekadar era di mana keterbukaan dimaknai sebagai kemudahan menjalin relasi, utamanya berkegiatan ekonomi. Globalisasi dengan lesatan keterbukaan informasi, justru menjadikan kekayaan khazanah Indonesia lebih banyak untuk dikenal. Pun, keberpunyaan berupa azimat Pancasila, merupakan pegangan masyarakat Indonesia menghadapi dampak negatif globalisasi.
Ketiga, nasionalisme perlu dipahami sebagai upaya memartabatkan tanah air, tanah kelahiran beserta dengan orang-orang di dalamnya. Nasionalisme tidak memiliki kamus terma “fasis”. Merendahkan negara lain sembari mendaku negaranya superior; dan karenanya itu merasa berhak menjajah, tak ubahnya konsep tribalisme yang sudah usang nan amoral. Dan, dalam prinsip nasionalisme terdapat kesetaraan di mana semua pihak sama-sama merasa memiliki. Dengan kata lain, diktum mayoritas-minoritas serta fenomena politik identitas yang kian menguat dewasa kini, adalah perkara absurd dan kontraproduktif dalam narasi nasionalisme kontemporer.
76 tahun usia kemerdekaan Indonesia. Selama itu pula kita menjaganya dengan semangat nasionalisme. Tanpanya, boleh jadi kepulauan Nusantara ini telah berdiri belasan negara. Sementara itu ikrar persatuan telah dipatrikan. Bersiteguh-berkomitmen atasnya merupakan sebuah kewajiban untuk dilaksanakan sebagaimana ajaran agama (aufu bil uqud). Bercerai-berai praktis diharamkan (wa la tafarraqu). Susah payah Bapak-Ibu pendiri bangsa membangun rumah Indonesia, maka tugas anak-cucunya adalah merawat-menjaganya agar jangan sampai dindingnya kusam dan kayunya lapuk; apalagi dengan sengaja hendak merobohkan.
-Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus.