Cerpen M Arif Budiman
Di kampung kami, Mursyid adalah pemuda yang sangat terkenal karena kepandaiannya bersilat lidah. Ia seorang pembual yang ulung. Saking ulungnya, ia mendapat gelar si Raja Pembual dari Kampung Tanahlapang.
Pernah suatu kali, Mursyid membual pada seorang janda yang terkenal pelit. Hanya perkara sebiji mangga yang ia temukan jatuh di jalan depan rumah si janda, ia dituduh mencuri dan dimaki habis-habisan. Namun bukan Mursyid jika tak dapat menaklukkan hati si janda pelit itu. Alhasil bukan hanya sebiji, tapi sebakul mangga berhasil ia bawa pulang.
Di lain waktu, Mursyid berhasil membawa pulang seekor ayam jago. Lagi-lagi apa yang dibawanya adalah hasil bualan. Pemiliknya adalah Haji Topan. Kebetulan hari itu, Mursyid dimintai tolong Haji Topan untuk bersih-bersih rumah. Sehari sebelumnya, Haji Topan meminta Mursyid untuk datang pagi-pagi. Namun Mursyid datang terlambat. Ia berdalih bangun kesiangan.
- Iklan -
“Apa di rumahmu tak ada jam beker, Mursyid?”
“Tak punya, Wan Haji. Hanya punya jam dinding usang. Itu pun hanya satu dan kutempatkan di ruang tengah.”
“Kalau begitu beli dong, Syid.”
Mursyid terkekeh. “Boro-boro beli jam beker, Wan. Buat makan sehari-hari saja, saya harus cari-cari. Daripada buat beli jam beker, mending kubelikan beras.”
Mendengar jawaban Mursyid, Haji Topan hanya tersenyum. Lalu menyuruh Mursyid untuk segera bersih-bersih rumah.
Setelah pekerjaan Mursyid selesai, Haji Topan mengajak Mursyid ke pekarangan belakang rumah.
“Tangkap ayam jago itu,” perintah Haji Topan, sembari menunjuk seekor jago yang tengah asyik mengurai tanah.
Seperempat jam kemudian, setelah berlari ke sana-kemari, akhirnya si jago terpojok dan Mursyid berhasil menangkapnya.
“Ini, Wan. Sudah kutangkap,” ujar Mursyid, memperlihatkan si jago yang berada di kempitan ketiak kanannya.
“Bawalah pulang,” ujar Haji Topan.
Mursyid terbengong. Napasnya naik-turun. Keringat meluncur deras di pelipisnya.
“Ini ongkos kerjamu,” lanjut Haji Topan, menyodorkan uang warna biru.
“Ini jagonya, Wan,” ulang Mursyid. Masih belum paham maksud ucapan Haji Topan.
“Bawalah pulang. Itu untuk jam bekermu di rumah. Setelah ini, jika aku butuh tenagamu, jangan datang terlambat lagi.”
Wajah Mursyid yang tadinya pucat karena kelelahan, seketika memerah cerah. Lalu pamit pulang.
***
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya terjatuh juga. Begitulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan nasib Mursyid saat ini. Seikat petualangannya dalam bersilat lidah yang selalu menguntungkan dirinya, kini seakan telah usai. Penyebabnya tak lain setelah ia bermasalah dengan Bambang Surahmat atau yang biasa dipanggil Mat Kumbang.
Awal persoalannya ketika sepulang salat Isya di surau, Mursyid bertemu Mat Kumbang di pos ronda. Saat itu, Mat Kumbang dalam keadaan mabuk berat. Ia menghentikan langkah Mursyid dengan tujuan untuk meminta uang. Namun bukannya memberi uang, Mursyid justru menceramahi Mat Kumbang. Alhasil Mat Kumbang naik pitam. Ia pun hendak memukul Mursyid. Namun apa lacur. Kondisi Mat Kumbang yang mabuk berat justru membuat ia kehilangan keseimbangan. Beberapa kali Mat Kumbang mencoba memukul Mursyid, namun tak pernah mengenainya. Hingga pada sebuah kesempatan, justru Mursyid yang memukul Mat Kumbang. Pukulan Mursyid cukup telak menghantam rahang Mat Kumbang, hingga preman kampung itu sempoyongan dan jatuh ke selokan.
Perkelahian Mursyid dan Mat Kumbang menjadi tontonan sesaat bagi orang-orang yang kebetulan lewat. Beberapa orang bersorak-sorai. Bahkan mereka menyalami Mursyid dan menyanjung atas keberaniannya. Sementara yang lain tak ingin menuai masalah dengan cepat-cepat meninggalkan tontonan gratis itu.
Keesokan harinya, Mursyid menjadi buah bibir. Orang-orang membicarakan keberaniannya menumbangkan Mat Kumbang hanya dengan tangan kosong. Namun keadaan itu justru membuat nasib Mursyid di ujung tanduk. Penyebabnya Mat Kumbang tak terima dengan perlakuan Mursyid, sehingga ia mencari keberadaan Mursyid. Sejak saat itu, Mursyid menjadi seorang pelarian.
Mula-mula ia bersembunyi di rumah tetangga sebelah. Namun tanpa menunggu lama, si pemilik rumah mengusir Mursyid dengan alasan tak ingin terkena getahnya. Sebab berurusan dengan Mat Kumbang, sama saja dengan bunuh diri. Mat Kumbang tak segan-segan melukai siapa saja yang mencoba melawannya.
Dengan lapang dada, Mursyid pun pergi. Lalu bersembunyi ke rumah tetangga yang lainnya. Namun selalu berakhir dengan pengusiran. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya ia bersembunyi di rumah Haji Topan. Meski pada awalnya Haji Topan seperti para tetangga yang lain dengan menolak kehadiran Mursyid. Namun Mursyid tetaplah Mursyid. Ia memiliki seribu muslihat dan pandai bersilat lidah. Hingga pada akhirnya Haji Topan mempersilakan Mursyid bersembunyi di rumahnya untuk sementara waktu. Sampai ia menemukan tempat persembunyian yang aman.
***
Sepekan hidup dalam pelarian, Mursyid mulai merasa gerah. Bagaimanapun ia harus menghadapi kenyataan. Suka atau tidak suka, ia harus menghadapi Mat Kumbang. Ia berpikir, persoalan hidup dan mati biar Allah yang menentukan. Lagi pula, ia merasa tak enak jika terus-menerus menumpang hidup di rumah Haji Topan.
Setelah berpamitan dengan Haji Topan, Mursyid pergi ke surau. Di sanalah ia akan tinggal untuk sementara waktu, hingga persoalannya dengan Mat Kumbang benar-benar tuntas.
Mursyid memilih surau bukan tanpa alasan. Ia menganggap suraulah tempat teraman saat ini. Ia berkeyakinan Mat Kumbang tak akan berlaku sembarangan di tempat suci. Jika Mat Kumbang berani berbuat onar di surau, maka ia akan berhadapan dengan orang sekampung.
Tak butuh waktu lama bagi Mat Kumbang mengendus keberadaan Mursyid. Begitu mendengar kabar, Mat Kumbang segera mendatangi surau.
“Mursyid, keluar kau!” teriak Mat Kumbang dari halaman surau. “Kita selesaikan masalah secara jantan. Jangan jadi pengecut!”
Tak lama berselang, Mursyid keluar dari dalam surau. Senyumnya mengembang. Tak sedikit pun tergurat keresahan di wajahnya.
“Assalamualaikum, Saudaraku. Apa kabar?” sapa Mursyid.
Mat Kumbang tak menjawab salam Mursyid. Kedua tangannya justru berkacak pinggang. “Tak perlu banyak basa-basi. Kemari kau. Kita duel satu lawan satu. Biar orang-orang tahu siapakah di antara kita yang mumpuni. Mat Kumbang si pemberani atau Mursyid si mulut besar!”
Mursyid tersenyum. “Sabar, Saudaraku. Sabar. Semuanya bisa kita bicarakan baik-baik. Kemarilah. Kita ngobrol santai.”
Mat Kumbang meludah. “Dasar pengecut bermulut besar! Tak usah kau berlindung di dalam surau. Turunlah. Biar kujadikan kau ayam sayur!”
“Sabar, Saudaraku. Kita bicarakan baik-baik. Kemarilah,” ajak Mursyid, lalu duduk bersila di serambi surau. “Kita mengobrol di sini saja.”
Seperti tersihir. Meski masih diliputi kemarahan, Mat Kumbang menuruti ajakan Mursyid duduk di teras surau.
“Semua bisa kita bicarakan baik-baik, Saudaraku.”
Mat Kumbang membuang muka. “Kapan aku kawin dengan keluargamu? Cuih. Tak sudi aku jadi saudaramu.”
“Bukankah kita saudara seiman?”
Mat Kumbang masih membuang muka. Gigi-giginya gemeletuk menahan amarah. “Apa maksudmu memukulku tempo hari. Kau ingin membuatku malu di hadapan orang-orang, hah?”
“Sabar Mat Kumbang. Sebenarnya aku tak bermaksud memukulmu. Aku refleks.”
“Pembual!” Mat Kumbang menatap tajam Mursyid. “Jelas-jelas kau memukulku dengan sengaja.”
“Percayalah. Semua di luar kendaliku.”
Mat Kumbang masih menatap Mursyid dengan amarah.
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang mau memaafkan kesalahan manusia lain, Saudaraku. Begitulah salah satu yang diajarkan Rasul kita.” Mursyid mengulurkan tangan untuk meminta maaf. Namun Mat Kumbang justru membuang muka.
“Baiklah jika kau tak ingin bersalaman. Terpenting aku sudah minta maaf padamu. Aku hanya tak ingin kelak di akhirat perkara ini akan membawaku masuk ke neraka.”
“Maksudmu?”
“Konon, orang yang bertikai dan tak saling meminta maaf, maka ia dipersulit masuk surga.”
Mat Kumbang tersenyum sinis. “Dasar pembual.”
“Untuk apa aku membual? Sekalipun aku terkenal sebagai tukang bual, aku tak akan membual di surau.”
“Apa perkataanmu dapat dipercaya?”
“Tentu saja, Saudaraku.”
Mat Kumbang kembali menatap Mursyid.
“Apa aku boleh bertanya, Mat Kumbang?”
“Ya. Soal apa?”
“Semoga pertanyaanku tak menyinggungmu.” Mursyid duduk bergeser, bersandar pada dinding.
“Tidakkah kau memiliki keinginan untuk mengubah jalan hidupmu?”
“Maksudmu?”
“Apa kau tak sadar bahwa selama ini jalan yang kau lalui salah?”
“Apa maksudmu bertanya demikian?”
“Tentu karena aku ingin melihat kau berubah. Dan yang terpenting, kau berada di jalan yang benar.”
Wajah Mat Kumbang memerah, lalu tertunduk. “Apa Allah akan memaafkanku? Sementara aku tahu, dosa-dosaku tak mungkin terampuni.”
“Apa kau lupa bahwa Allah Maha Pemaaf? Pintu maaf-Nya seluas samudra,” Mursyid bergeser dan memegang pundak Mat Kumbang. “Aku yakin, surau ini tak akan roboh karena dosa-dosa kita. Percayalah.”
Mat Kumbang mengangkat wajahnya. “Apa yang harus kulakukan?”
Mursyid tersenyum.
Keesokan harinya, sebuah pemandangan langka tersaji di surau. Mursyid dan Mat Kumbang tengah membersihkan surau. Orang-orang bercedak kagum dengan perubahan mereka. Tapi tak sedikit pula yang khawatir dengan kehadiran mereka. Hingga seorang warga bertanya.
“Hei, apa yang kalian lakukan di sini? Lebih baik kalian pergi. Tempat ini tak layak untuk pembual dan pemabuk macam kalian.”
“Tenanglah. Kami hanya ingin membersihkan surau. Tidak lebih. Dan percayalah. Surau ini tak akan roboh oleh dosa-dosa kami,” pungkas Mursyid, lalu melanjutkan pekerjaannya. (*)
*M. Arif Budiman, lahir di Pemalang, Jawa Tengah. Karyanya dimuat di beberapa media massa dan daring. Sekarang menetap di Kudus.