Nazilah Palestina
moyang kami bersaksi
atas salam merdeka tanah sengketa
dari langit bait suci tiga agama
negeri yang bersimbah darah keluarga
orang-orang terasing di tanah air sendiri
berazimat nubuat negeri yang diberkati
atas yerussalem, kota yang terbagi
rindu kami bertepi sunyi di perbatasan
dibayangi mimpi bocah-bocah ketakutan
koyak dada kami terserempet peluru
geram kami mendarat di kubah batu
sejak gelombang intifada menggema
harap sepadu, bebas dari sengkela penjajah
bersama restu mereka yang terbaring di Nakbah
ziarah kami di pusara keadilan
di mana bunga perdamaian tak kembang
di tengah penderitaan tak kunjung padam
deras hujan api nazilah di langit gaza
membakar doa-doa kami di indonesia
Karanganyar, Juni 2021
- Iklan -
***
Risalah Damai
sebelum pasukan gajah lantak oleh sekawanan
burung dari langit, dan makkah berpayung kelam
runtuh berjatuhan serupa hujan api sengkela,
tandas kakekmu menghunus kata,
“unta-unta itu milikku, sedangkan rumah suci
telah dilindungi oleh pemiliknya sendiri,”
sedang aku terselip di pinggangnya.
seperti halnya saat kepala ayahmu selamat dari undian
usai penemuan kembali zam-zam disertai ikrar kebatilan
atas sumpah di antara diamnya iza’f dan na’ilah,
lirih kakekmu menggumam,
“demikianlah kiranya cara tuhan
merestui segenap diri yang berserah,”
bersamaku di genggamannya.
alam bersenandung rindu, dedaunan dan burung-burung
malam bermandikan cahaya, selepas penantian panjang
yang tersudahi oleh kelahiranmu pada subuh yang berseri,
penuh dada kakekmu meluap,
“kuingin dia kelak menjadi insan terpuji,
bagi tuhan semesta alam, dan segenap isi bumi,”
beserta aku dalam dekapannya.
telah bertahun-tahun bulan suci ternodai dendam
perang fijar tak sudah-sudah, pecah keriuhan pazar ukaz
oleh seruan seorang gelandangan miskin tanpa majikan
menuntut keadilan atas kemerosotan moral,
“wahai keturunan fihr, penghulu di antara dua batu,
cucu para penjaga kemuliaan pintu. ketahuilah
kezaliman tanah haram atas seseorang yang berihram,
bermuka kusut masai dan umrahnya pun belum selesai.
sungguh keberkatan bagi tanah suci, hanya pantas untuk
keluhuran budi, bukan durjana lagi tindakan keji.”
syair itu melecut angkasa, membakar gelora para pemuka.
pada puncak usia remaja, kau turut menjadi saksi mata
segenap kabilah memanggul kembali kehormatan
demi terpeliharanya keadilan dan tegaknya persatuan
selepas tafakur, pamanmu berwasiat,
“kinilah saatnya kau ketahui perihal al-ma’tsur,
pedang yang mewarisi makramat leluhur,”
sembari berpesan perihal keutamaan menahan diri.
usai kau tinggalkan sepupu terkasih di pembaringan,
kutemani kau dalam perjalanan hijrah ke yatsrib
bersama as-shidiq, sang perengkuh kebenaran pertama
kudengar nyanyian negeri yang kelak diliputi cahaya,
“betapa purnama telah terbit di antara kami,
pelita dari negeri wada. kami wajibkan diri
bersyukur atas seruan kepada allah semata.
kau yang kelak dibesarkan di antara kami,
datang bersama seruan untuk kebaikan kami,”
seraya kau bawakan kemuliaan untuk kota ini.
pada satu kecamuk perang kau jatuh terluka,
bibir bawahmu sobek dan gerahammu patah
dahi dan keningmu yang mulia mengucur darah
para sahabat murka dan ribuan malaikat bersiaga,
“justru sekarang kutahan darahku menyentuh bumi
agar mereka terhindar dari azab dan malapetaka,”
kilahmu sembari berdiri bertopang padaku.
tatkala penduduk madinah digenangi harapan
setelah bersukarela membagi dua hartanya,
tanah dan rumah menjalin harkat persaudaraan
kau ikat dalam catatan yang dibuka dengan,
“inilah kitab pemufakatan dariku bersama kaum beriman,
orang-orang merdeka dari kalangan quraisy dan yatsrib
—beserta pihak-pihak yang mengikutinya, termasuk juga
pihak-pihak yang menyepakati, mendukung, dan turut serta
berjuang bersama-sama dalam satu ikatan kesatuan
masyarakat yang berdaulat atas negerinya.”
seraya kau jamin kebebasan setiap orang berkeyakinan
serta berpendapat atas nama kemanusiaan, keadilan, kesetaraan
dan saling membantu tanpa memandang fitrah perbedaan
jenis kelamin, golongan, suku, bangsa, ataupun kepercayaan.
sebagaimana telah kau pelihara kehormatan
keluarga hasyim, fihr, kinanah, dan seterusnya
sampai ke moyangmu, ibrahim yang disayangi tuhan,
maka telah kau sempurnakan risalah penutup zaman,
“setiap keselamatan akan menjadikan kalian semua bersaudara.
janganlah menganiaya diri dengan mengambil hak-hak orang lain
dengan apapun alasannya. sesungguhnya tuhan hanya mengakui
tatanan kemerdekaan, yang terperinci dalam susunan nilai-nilai
yang memerdekakan, sehingga tanpa diminta siapapun akan
bersukarela masuk ke alam perdamaian sepenuhnya.”
membuatku tercenung dipasung kerinduan.
Karanganyar, Juli 2021
***
Hikayat Mimpi
kepada matahari mimpiku berkaki
tempat di mana ibu menyalakan api
dari kayu bakar yang dibawa pulang ayah
pada tungku harapan yang bertubi-tubi
hangus oleh kesetiaan pada takdir
dan kenyataan yang kerap tersungkur
turut menyiapkan sesuap berkat
ke mulut dan dada anak-anaknya
mimpiku adalah petarung hidup
selayaknya kilap butir kelapa tua
tertancap di ujung mata parang atau sula
sabut tebal terkoyak hingga terkelupas
telanjang batoknya pecah mengucur darah
hingga tersisa daging untuk diparut
hancur diperas keberanian, takluk
di wajan penggorengan yang mengintai
kesiagaan para pecundang
segumpal azam bersarang di hulu angin
mendaras kepatuhan atas segenap titah
memanjat terjal agar sampai di puncak
sebelum mimpi telanjur beranak pinak
waktu melesat diburu kepakan sayap
dan napasku terengah seraya mengalir gamang
saat rinai menghujani bukit gersang, bandang
menyulam sehelai kerinduan pada rumah
karena langit akan selamanya merindukan tanah
Karanganyar, 24 Oktober 2021
***
Kalimasada
aku terhanyut
diterjang deras gelombang
pencarian tak kunjung surut
karam ke dasar kalam kesadaran
mengambang sampai di muara
yang kukenali sebagai engkau
samudera biru tanpa tepi
menghimpun gugusan riak
menopang dahi langit perak
aku menyaksikan
kening cakrawala bersujud
menciptakan berpundi-pundi denyut
yang mengombak dalam tujuh pusaran
berwajah kesetiaan, kejujuran, kesabaran,
tanggungjawab, belaskasih, keadilan, serta
kebijaksanaan yang melumuri ujung pena
menggoreskan ayat dan mantra
aku terdampar
hinggap melekat di sebutir embun
pada pucuk daun yang menggigil
diterpa dekapan angin samun
sepanjang hari, sedalam pertanyaan
yang mengendap di kolong sunyi
—mendekapmu seorang diri
aku terjaga
ketika senja telah menua
di atas puing mimbar dan altar
sebelum jemariku sanggup membuka
dan membaca dengan benar
lembaran-lembaran kitab suci
yang terus saja melapuk
sedang dadaku tertancap sebatang lidi
seraya batinku merebah bersaksi
—tiada keberadaan tanpa ketiadaan diri
Karanganyar, November 2021
***
Wasiat Perubahan
: Gus Dur
kita sedang berbincang di bibir muara suci
pertemuan dua, tiga, atau lebih aliran nasab
kucuran mata air pengetahuan berhulu langit
dan bukit-bukit menjulang di bawahnya
seteguh marwah penopang matahari terbit
fajar di bilik sakral para pemuja,
“sekalipun tuhan tak butuh pembela”
kita pun telah sama-sama berkerabat pada kesaksian
tentang kelaliman, ketamakan, kelicikan,
penjarahan, penindasan, pengucilan, penelantaran,
ketimpangan, kemerosotan, dan kebungkaman
dari sehelai daun kering yang jatuh terhempas
terombang-ambing di permukaan arus deras
lantas mengerdil sanubari memendam tanya,
“adakah alasan kita diciptakan?”
aku benamkan bulat-bulat kepalaku pada sungai
agar sesak bersahabat, kemarau di dalamnya terburai
sebelum kejernihannya terkotori amukan limbah
dan keluh kesah menjelma timbunan sampah
yang menyumbat kesiagaan kita atas laknat
negeri yang kerap berkhianat atas nikmat
karunia perbedaan yang disalahartikan,
“bukankah kebaikan tak pernah beragama?”
seorang bayi terbangun dengan siasat
menyerupai sepuluh tunas keladi yang tumbuh
meruncing dari tiap ujung jemari tangannya
merobek tudung kelambu yang tergantung
sengkela pada langit-langit kemanusiaan
sedang kasih sayang ialah sebenar-benarnya
martir yang memberinya peringatan
agar berani memaafkan dan rela terhina
merawat jenjam sekalipun dihujat kebencian
demi tunduk pada amanat keadilan,
“sebab sejarahlah yang akan membuktikan”
lantas aku pungut butiran kabut serupa azimat
yang turun membasahi nisan para guru dan aulia
selagi kemuraman senja acap kali gagal kuhapus
embus sendalu menjadikanmu pusaka keramat
kucoba mengingat kembali asal kedatanganmu
dengan mengumpulkan jejak kaki yang sublim
Ko terlalu sering kau sembunyikan rapat-rapat
pada bongkahan peristiwa dan lipatan waktu
sebanyak kearifan yang kau bisikkan,
“karena kita bukan sedang bicara kata mungkin”
sehelai daun terseok-seok mengapung ke pinggir
dan bersikeras mencapai tubir, untuk membalas budi
kepada lumut, kangkung, serta batu dan ranting kayu
mengharap berkat atas tetesan air yang meresap ke tanah
dengan menirukan cara lebah menyesap kata wasiat
di mana kita tak lagi menempati angkasa yang sama
karena kau adalah misteri, selain maut, jodoh, dan rezeki
dan aku tak lagi mengerti cara menghidupkanmu
selain menghunus nyali berbuat sesuatu,
“sebab bukanlah keharusan,
perubahan tunduk pada kenyataan”
Karanganyar, Desember 2021
***
Ian Hasan, Kelahiran Ponorogo, saat ini bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain juga terlibat di beberapa komunitas seni, budaya, dan pendidikan, termasuk Komunitas Kamar Kata. Menyukai klepon, kain udeng, tembakau lintingan, dan kekayaan produk tradisi lainnya. Dapat dihubungi lewat surel: opussociety@gmail.com dan akun instagram: @ian_hasan.