Tak Ada Pesta
tak ada pesta
bahkan pada anjak kegembiraan
yang kautakwil dari belakang kata
juga tarian frasa yang menggeliat
di semburat singkapan rahasia
ledakan ledakan
bahkan sekadar letupan
telah ditabukan buat diterbitkan
hanya diperam ke dalam diam
entah sampai kapan
menjadi bagian dari puasa
yang terus bertahan
langit yang tengah bergairah
dalam pelukan ribuan warna
dan rabaan dari para pejalan
yang betah mencari alamat musim
di antara hambur taburan cuaca
tak juga merasuk menjelma sajak
atau lukisan karena telah kabarkan
gigil semesta pada haru sunyi
yang telah dipesan silam
tak ada pesta
bahkan pada puncak lambai dunia
tetapi keabadian akan tiba
ya, keabadian akan singgah
lewat kecupan dingin
dukamu yang tabah
- Iklan -
Bekasi, 2019
Apakah Aku akan Sampai Padamu
aku hendak berlari
dan telah kusiapkan teriak
dari jantung halilintar
untuk tumpahkan sesak musim
tetapi ke mana aku mesti berlari
karena di semua arah penjuru
selalu ada wajahmu
barangkali aku mesti menepi
dan sembunyi
biar kucari lubang semut paling sepi
di kedalaman tanah
agar tak ada jejak air mata
dan kuletakkan segala kata
hingga waktu hanya melata
namun tatap sunyimu tetap ada
kucemaskan doa
menjadi gugus todongan
atas nama rindu dan cinta
yang melontarkan ronta paksa
sebuah keharusan menjelma
maka kubertanya padaku
apakah aku akan sampai padamu
menjadi bagian dari napas kekekalan
atau tetaplah debu kerontang
diterpa pusaran angin kemarau remang
lalu terempas dan terabaikan
Jakarta, 2019
Bukan Laut Tapi Keringat dan Air Mata
bawakan aku tepian laut
katamu di telepon genggam
warna hitam yang lebih sering
terdiam
sementara aku hanya terbayang
duduk berdua di pantai
lalu kibaran ikal rambutmu begitu tekun
mengusapi wajahku
kutahan saja rasa geli dan tak ingin
kausudahi
aku ingin segera mandi dan berenang
atau sesekali menyelam
bertemu sekumpulan ikan ikan
kecil yang lincah
seperti pesenam gesit berloncatan
di kancah pertandingan
dan sesekali biar kutadah ombak
dengan dadaku yang bengkak
dijejali segala peristiwa
pergantian antara senyap dan gemuruh
mengerjap ke pori tubuh
sebagian telah mekar jadi cerita
membaluri jalan keseharian
dan beberapa masih saja rahasia
belum terbuka bagi telinga dunia
ingin kusesap lagi asin kenangan
barangkali menjadi garam di cuaca cerah
dan kulupakan musim yang rumpang
lalu terbit menjelma sajak riang
tapi hari ini tak ada laut
cuma sekelumit kalut
ah ucapanmu memanjangkan desah
kenapa yang tiba hanya
hangat keringat dan air mata
meleleh di antara gelinjang
persetubuhan kita yang terburu
dan tanpa rencana
Bekasi, 2020
Darimu Mengalir Sajak
kau tahu percakapan kita telah tanak
di arena jarak
dan tak ada lagi yang bisa dikerjakan
selain pertemuan
tak bisa ditunda
karena jam jam telah berangkat
ke rimba lalu
dan sesekali menoleh menyeringai
pada kita yang malu malu
pun kerap termangu
segeralah ke sini
aku menunggumu
dengan keterbukaan pagi
kulepas segala jendela dan pintu
jangan pakai parfum
karena semestamu telah harum
taman taman bunga mekarkan musim
hingga kupu kupu dari jantungku ingin bermukim
datanglah padaku
dengan baju garis garis
seperti baris hujan
musim ke sembilan
yang memakmurkan mata air
menggelegakkan sungai
dan biarkan nanti aku puas berenang
meski akhirnya hanyut
sampai muara senyap
yang laut tak lagi mempertanyakan
siapa kita di keluasan sajak
begitu purba
Bekasi, 2020
Berkhayal Menulis Puisi
aku berkhayal menulis puisi tentang perasaan cinta
yang tertahan di batas kata, dan belum berani
ulurkan sinyal. karena kurasa belum menemukan
momentum terbaik bagi selarik bahasa.
aku berkhayal kau membaca puisi yang belum jadi
dan memberikan majas sehingga berasa makin pas.
kau pun piawai meramal tentang kata apa yang
belum sempat tertuliskan.
aku berkhayal kita bertemu di dalam puisi itu dan
menjadi dua sejoli yang telah memahami betapa
meluapnya getaran di angan kita. lalu kita menjadi
sepasang tafsir yang pemberani. gesit
mengungkapkan bermacam warna kata, yang
sebelumnya tersimpan dalam rencana. dan hendak
diledakkan bila bersua.
aku khawatir kisah kita tak menemu ke ujung yang
satu dan terus melambai menjadi hantu, yang gemar
menampakkan diri di temaram waktu. di bait akhir
itu, kita pun terperangkap dalam majas kelu dan
pernyataan cinta menjelma dunia piatu. lalu panjang
jarak kita terbaca sebagai puisi epik yang penuh haru.
Bekasi, 2020
*Budhi Setyawan, atau Buset, lahir di Purworejo 9 Agustus1969. Mengelola komunitas Forum Sastra Bekasi (FSB) dan Kelas Puisi Bekasi (KPB), serta tergabung di Komunitas Sastra Setanggi (KSS). Instagram: @busetpurworejo. Bekerja sebagai dosen di kampus PKN STAN Tangerang Selatan. Saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat.