Oleh Hamidulloh Ibda
Artikel Urip Umayah bertajuk “Hari Hak Asasi Manusia Sedunia dan Pendidikan” (Tribun Jateng, 10/12/2021) menarik dikaji ulang. Ia menyorot Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia terkait posisi pendidikan, HAM, peran pemerintah dan orang tua dalam pemerataan pendidikan. Namun Umayah luput mengkaji urgensi pendidikan inklusif berbasis gender equity, disability, and social inclusion (GEDSI) atau keadilan gender, disabilitas dan inklusi sosial.
Pendidikan inklusif sudah diterapkan di Indonesia. Namun beberapa konsep dan praktiknya perlu diluruskan. Pertama, pendidikan inklusif dengan pendidikan inklusi berbeda. Inklusi sekadar kegiatan mengajar siswa dengan kebutuhan khusus pada kelas reguler, sedangkan inklusif merupakan kata sifat atau bersifat inklusi.
Kedua, pendidikan inklusif dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) berbeda. SLB bukan inklusif melainkan eksklusif karena mengelompokkan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) dalam satu kelas. Konsep pendidikan inklusif adalah PDBK dan anak normal belajar bersama, bersinergi, berkolaborasi dalam pembelajaran satu kelas.
- Iklan -
Ketiga, manajemen, kurikulum, pembelajaran, guru, tendik, kesiswaan, sarpras, serta pendanaan sekolah/madrasah pelaku pendidikan inklusif belum mapan. Akhirnya, pendidikan inklusif sekadar tren dan menjadi branding belaka. Keempat, adanya penolakan pendidikan inklusif dari wali murid, komite, bahkan pemerintah. Alasannya, anak normal menurut mereka tak bisa dicampur satu kelas dengan PDBK. Bahkan, hal ini mereka nilai sebagai langkah “menyesatkan”. Sungguh ironis!
Kelima, pendidikan inklusif belum mengarusutamakan GEDSI. Inklusif tak sekadar PDBK, anak disabilitas, namun juga harus ramah gender dan inklusi sosial. Selama ini masih banyak segregasi siswa dari aspek gender dan entnik. Selain itu pelaku pendidikan inklusif masih minim Guru Pendamping Khusus (GPK) dan psikolog sehingga tidak maksimal.
Pendidikan Inklusif Vs Eksklusif
Jargon “pendidikan untuk semua” selama ini digemborkan di mana-mana. Namun kenyataannya masih terjadi labeling, segregasi, diskriminasi dan dehumanisasi. Sebagai praktisi, penulis prihatin melihat banyak akademisi bangga menolak pendidikan inklusif, melakukan labeling dan diskrimasi terhadap sahabat kita yang memiliki hambatan belajar.
Pendidikan inklusif merupakan perintah semua agama yang menyeru pada nilai keadilan sosial dan kemanusiaan. Deklarasi Universal tentang HAM (1948) dan Deklarasi Dakkar (2000) menjamin pemerataan pendidikan semua anak, khususnya anak perempuan, anak dalam keadaan sulit, minoritas etnik, akses minim, untuk mendapat pendidikan dengan kualitas baik.
Deklarasi di atas mengamanatkan semua manusia berhak mengenyam pendidikan bermutu. UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas mengamanatkan anak berhambatan fisik, emosi, kecerdasan intelektual/sosial, potensi kecerdasan/bakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan berkualitas. Permendiknas No. 70/2009, Perda Provinsi Jateng No. 11/2014, PMA No. 60/2015, dan PP No. 13/2020 memberi pesan pendidikan inklusif wajib didapatkan anak kelainan, berpotensi kecerdasan, atau bakat istimewa.
Semua regulasi tersebut mewajibkan pemerintah daerah mendirikan minimal satu sekolah inklusif. Realitasnya belum setiap daerah di Jateng bahkan Indonesia didukung dengan Peraturan Daerah tentang pendidikan inklusif. Akhirnya, pelaksanaan pendidikan inklusif diarahkan di SLB yang hakikatnya menerapkan pendidikan eksklusif bukan inklusif.
Di sinilah pendidikan harus mengambil peran melaksanakan substansi education for all yang luput dikaji dalam tulisan Umayah. Apalagi jumlah pendidikan inklusif masih sedikit dan tak bisa menampung ABK yang terus bertambah jumlahnya.
Kemdikbud menyebut jumlah ABK 1,6 juta dan yang mengenyam pendidikan inklusif masih 18%. Rinciannya 115.000 ABK di SLB dan 299.000 di pendidikan inklusif. Secara kelembagaan ada 2.250 SLB di Indonesia (Pusparisa, 2021). Kemdikbud (2017: 2) mencatat 1.922 PDBK di Jateng. Jika tak difasilitasi, ABK akan terlantar. Apakah pendidikan hanya untuk anak normal?
Pendidikan Inklusif berbasis GEDSI
Desember bagi penulis adalah bulan pendidikan inklusif. Pada 3 Desember dirayakan Hari Disabilitas Internasional dan 10 Desember diperingati Hari HAM Sedunia. Kita harus mengambil bagian untuk mewujudkan pendidikan untuk semua.
Problem pendidikan inklusif di atas harus diselesaikan dengan beberapa formula. Pertama, perubahan paradigma eksklusif menjadi inklusif. Perlu penguatan regulasi, pembudayaan, kampanye, dan praktik pendidikan inklusif agar stakeholders terpapar inklusif. Kedua, penguatan manajemen pendidikan inklusif berbasis GEDSI. Kurikulum, pembelajaran, sistem, layanan, dan sarana pendidikan inklusif harus memuat kesetaraan substantif dan kesetaraan formal bagi kelompok marginal, ramah gender dan inklusif sosial.
Ketiga, amanat pendidikan inklusif termaktub dalam UU, Instruksi Presiden, Permendikbud, Peraturan Menteri Agama dan Perda Provinsi. Realitasnya, praktik di lapangan perlu Perda turunan di Kabupaten/Kota sebagai payung hukum pendidikan inklusif. Keempat, perlu standar nasional pendidikan inklusif terencana, sistematis dan tidak bias. Kebanyakan pelaku pendidikan inklusif berangkat dari NGO asing, lembaga atau komunitas pendidikan inklusif yang bekerja untuk kemanusiaan yang memiliki standardisasi sendiri.
Kelima, mendesain program mainstreaming dan modelling pendidikan inklusif. Sekolah mainstreaming dibangun lewat kebijakan mengikat semua satuan pendidikan. Sekolah modelling adalah lembaga ditetapkan sebagai model dan resource center di tiap daerah. Sebelum menjadi modelling, langkah awalnya melalui piloting sekolah inklusif yang dilatih. Seperti yang dilakukan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jateng – UNICEF pada 2017-2020 membuat modelling pada 14 SD/MI dan 3 MTs di Jateng yang berjalan hingga kini.
Pendidikan inklusif menjadi solusi atas ketidakadilan gender, disabilitas, dan dikotomi siswa dari latar belakang sosial. Pendidikan harus didapatkan semua manusia tanpa terkecuali. Lalu, kapan kita menerapkan pendidikan inklusif berbasis GEDSI?
– Penulis adalah dosen INISNU Temanggung, Fasilitator Provinsi Pendidikan Inklusif Ma’arif NU Jateng – UNICEF, Pengurus Forum Pendidik Madrasah Inklusif (FPMI) Pusat