Oleh: Vito Prasetyo
Apakah sistem pendidikan dengan pengaplikasian metoda saintifik dapat menghasilkan anak didik yang memiliki keterampilan optimal dalam menjawab tantangan era akan datang? Atau, sejauh manakah peran pemerintah untuk mempersiapkan generasi mendatang dalam melindungi anak didik/siswa dari kejahatan siber?
Kemajuan iptek seperti sebuah evolusi masa, tetapi sekaligus juga dinamikanya membawa perubahan dan pergeseran yang sangat signifikan di pelbagai dimensi kehidupan. Sudah tidak asing lagi pada seluruh lapisan masyarakat untuk melibatkan diri dalam dimensi ini, langsung atau tidak langsung. Penemuan hoaks yang menjadi sebuah kata viral pada kehidupan masyarakat, membuat ilmu pengetahuan pun semakin berkembang. Semakin menjamur penemuan pendeteksi hoaks dalam beberapa tahun ini. Sangat sederhana pertanyaannya, apakah penemuan hoaks ini sangat penting!?
Benarkah dunia ini sudah dikepung oleh “pasukan” yang berorientasi pada kejahatan siber!? Perlahan tapi pasti, perkembangan dan kemajuan iptek juga membawa dampak buruk pada sisi kehidupan manusia, terutama yang menyangkut hal-hal yang pribadi dan rahasia. Tetapi apakah kemajuan iptek melalui pengembangan teknologi informasi, telah menjebak pikiran-pikiran sekelompok manusia untuk melakukan kejahatan secara sistemis dan terstruktur? Hal ini tentu membutuhkan pendalaman yang tidak sekedar perekaan pikiran, yang menghubungkan relativitas teori dengan asumsi logika, tetapi bagaimana cara pendeteksian melalui sebuah metoda yang bisa memberikan rasa aman bagi pengguna teknologi (baca: konsumen).
- Iklan -
Menyoal alat pendeteksi hoaks, adalah dengan menggunakan atau memanfaatkan teknologi machine learning (aplikasi dari disiplin ilmu kecerdasan buatan) dan kecerdasan buatan. Mungkin kita bisa sedikit berbangga ketika salah satu karya anak bangsa menjuarai inovasi teknologi tingkat Asia Tenggara yang menciptakan situs pencarian hoaks. Tetapi tentunya penemuan ini harus mewaspadai “kejahatan oleh oknum” yang mana juga memproduksi konten manipulasi buatan dengan mengandalkan kecerdasan buatan. Belakangan ini, dikenal dengan melibatkan apa yang kita sebut sebagai deepfake. Perkembangannya begitu merajalela, hingga mendorong raksasa-raksasa teknologi untuk mewaspadainya. Bukan hanya itu, bahkan pejabat negara dan para peneliti menganggap sebagai musuh besar.
Kenapa dunia siber sering disalahgunakan untuk kejahatan? Siber adalah konten jaringan teknologi informasi yang berupa aktivitas di dunia maya yang memanfaatkan jaringan komputer sebagai alat dan internet sebagai medianya. Akibat kemajuan teknologi yang begitu pesat, hingga timbul kreativitas pemikiran dari pihak-pihak untuk memanfaatkan dan mendapatkan keuntungan. Sayangnya, kreativitas pemikiran ini cenderung untuk melakukan sebuah tindakan kejahatan. Pada umumnya, kejahatan dunia maya ini dilakukan oleh pihak-pihak yang mengerti dan menguasai bidang teknologi informasi.
Kejahatan siber atau yang dikenal sebagai Cyber Crime, adalah tindakan ilegal yang ditujukan untuk menyerang sistem keamanan komputer dan data yang diproses oleh sistem keamanan komputer. Dalam situasi darurat, seperti saat ini di tengah pandemi Covid-19, sistem pembelajaran jarak jauh, yang sangat bergantung dengan penggunaan teknologi berbasis jaringan internet. Apakah ada jaminan anak/siswa tidak terjebak dengan pengetahuan teknologi baru baginya, yang secara tidak sadar menjeratnya pada kejahatan-kejahatan siber baru? Karena kemajuan teknologi memancing respon untuk lebih mendalaminya.
Pelbagai akibat yang ditimbulkannya, hingga kadang tanpa sadar bagi beberapa pihak juga timbul rasa ingin tahu. Dan fatalnya pihak-pihak ini juga melakukan uji coba dalam penyebaran dan penggunaan sistem ini, hanya karena ingin menambah wawasan iptek yang lebih maju. Cukup prihatian, karena bentuk kejahatan ini bisa dijadikan sebagai lahan bisnis baru, yang dampaknya akan merugikan banyak pihak. Lalu timbul pertanyaan, sejauh mana peran pemerintah dalam membasmi kejahatan ini!? Karena dalam konteks kebangsaan yang berafiliasi dengan ketahanan nasional, negara (baca: pemerintah) selalu menjadi imbas akhir sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Hal yang sangat peka saat ini, karena kita tidak mungkin menampik kemajuan teknologi yang dikatakan sebagai era digital. Dan ini akan membuka dimensi ruang yang lebih besar untuk munculnya kejahatan-kejahatan siber yang baru. Sebuah risiko dari kemajuan inovasi teknologi digital, yang secara teoritis untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi global, sangat berpotensi sebagai lahan bisnis kejahatan siber. Pada konteks ini, bukannya pemerintah tidak menyadari dan mewaspadai untuk melakukan perlindungan atau proteksi terhadap serangan kejahatan siber. Pemerintah juga harus menyiapkan sebuah sistem regulasi yang mampu mengantisipasi bentuk-bentuk kejahatan ini secara jangka panjang. Ini cukup sulit, karena kebijakan regulasi ini berbanding lurus dengan kemajuan inovasi teknologi digital. Faktanya ada peningkatan kebijakan regulasi, hanya saja tingkat penetrasinya yang masih rendah.
Sungguh dilematis, kejahatan siber menjadi hal yang sangat menakutkan, tetapi sekaligus juga menjadi musuh paling kejam di seluruh dunia. Tidak hanya mematikan karakter manusia, tetapi potensi kerugian ekonomi makro dan global memunculkan potensi konflik baru, sampai pada tingkat kerugian besar secara drastis. Hal ini bisa jadi pada tingkat kekuatan tertentu, sasaran yang empuk untuk dimanfaatkan sebagai ladang bisnis adalah anak didik/siswa, karena lebih mudah untuk merubah karakter generasi muda terlibat pada arus milineal dan perusakan karakter moral.
Hal yang paling penting, adalah menyiapkan anak didik/siswa untuk mampu bersaing dan memiliki keterampilan yang penuh inovasi. Sekaligus juga memberikan tanggungjawab dalam bingkai kesatuan bangsa, dengan menguatkan etika moral sebagai bagian dari peradaban budaya kita. Peran dan kontrol masyarakat pun harus bersinergi dalam menangkal isu-isu sosial, hingga tidak melibatkan diri pada penyebaran kejahatan siber. ***
*) Penulis adalah pegiat sastra dan peminat budaya, tinggal di Malang