Oleh Setyaningsih
Judul : Payung Biru Jeta dan Tiga Kisah Lainnya
Penulis : Impian Nopitasari
Ilustrator : Indra Bayu
Penerbit : Lingkar Antarnusa
Terbit : Pertama, Agustus 2021
Tebal : iii+33 halaman
ISBN : 198-623-7615-49-1
Benih kebaikan—di pelbagai latar (budaya) pengasuhan—wajib disemaikan dalam jiwa anak-anak. Nilai-nilai kebaikan itu ada di fabel, cerita rakyat, dongeng, dan puisi. Kebaikan justru gagal menyapa saat tersampaikan melalui ceramah atau doktrin (agama). Cerita-cerita pun awet sepanjang masa dan bahkan diwariskan. Dampaknya bukan tuntutan pertobatan singkat, tapi penanaman nilai yang membentuk anak-anak sebagai seseorang.
Di Barat dengan peradaban bercerita-berbuku yang telah mapan dan tua, cerita-cerita dibukukan sebagai pedoman pengasuhan keluarga. Buku itu tebal, serupa kitab suci yang sakral. Salah satu buku berjudul The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories (Simon&Schuster, 1993) yang dihimpun-dieditori oleh William J. Bennett.
- Iklan -
William menghimpun cerita, esai, dan puisi dari para tokoh, seperti Aesop, Shakespeare, Charles Perrault, Emily Dickinson, Abraham Lincoln, Pablo Neruda. Cerita adalah harta karun. William meyakini bahwa anak-anak terlahir tanpa pengetahuan tentang nilai-nilai, maka mereka akan belajar. Anak-anak diantar untuk menjelajahi cerita dan memasuki peristiwa bersejarah dan emosional. Mereka bertemu racikan rasa dan tindakan yang diselubungkan dalam cerita; disiplin, welas asih, persahabatan, tanggung jawab, tekad, kejujuran.
Cerita yang mengasuh ibarat santapan bergizi. Santapan bergizi menyimpan dan menyampaikan kebaikan. Melalui buku kumpulan cerita realis bergambar Payung Biru Jeta & Tiga Kisah Lainnya (2021), prosais dan kolomnis Impian Nopitasari ingin ikut menyemai kebaikan kepada anak-anak. Ilustrasi penuh warna dan menyenangkan dari Indra Bayu menyertai. Dari cerita ke cerita, Impian percaya kebaikan ada di keseharian. Kebaikan berlangsung secara spontan, tidak perlu direncanakan muluk-muluk.
Di cerita “Payung Biru Jeta”, kebaikan antara Jeta dan Bayu tersampaikan melalui payung. Cerita bukan sekadar menegaskan menolong tanpa pamrih yang tidak sesederhana kelihatannya. Terjadi “pertukaran” yang ingin mengaburkan siapa yang paling berotoritas menolong. Kedua anak sama-sama menerima. Cerap ungkapan Jeta berikut, “Kemarin payung Jeta rusak, lalu Jati memperbaikinya. Dia menolak upah yang diberikan Ibu. Jadi, Jeta ingin mengajaknya jalan-jalan.” Impian juga bercerita, “Esoknya, mereka pergi ke rumah Jati. Ayah Jeta mengajak Jati beserta orangtuanya jalan-jalan ke Solo. Mulanya, Jati ragu-ragu karena dia biasanya harus mengojek payung, tapi Ayah dan Ibu Jeta memohon sekali.”
Kebaikan bukan semacam kemewahan dalam bentuk rasa kasihan. Inilah yang terasa dihindari oleh Impian, termasuk dalam cerita “Pensil Warna untuk Diandra”. Cerap, “Diandra merasa sedih karena pensil warna miliknya sudah pendek dan warnanya sudah tidak lengkap lagi. Dia tidak berani meminta kepada orangtuanya karena penghasilan keluarganya yang pas-pasan.” Intan, sahabat Diandra, yang ikut lomba mewarnai dan mendapat hadiah pensil warna serta krayon pun mempersembahkan hadiah untuk Diandra dengan harapan. Intan mengatakan, “Tidak apa-apa, aku sudah punya banyak. Itu buat kamu saja, biar lain kali kita bisa ikut lomba bersama.”
Kesenjangan ekonomi itu keniscayaan. Kemampuan seseorang di atas ketidakmampuan yang lain sering menjadi alasan memberi. Inilah pakem yang dipegang oleh banyak (penulis) cerita anak Indonesia. Meski, Impian berusaha menghindari dengan cara menyebutkan pamrih lain “biar lain kali kita bisa ikut lomba bersama”. Di sini, diksi berbagi lebih pas daripada memberi. Berbagi memosisikan pemberi dan penerima dalam perasaan yang sama meski status sosial dan finansial jelas membedakan.
Cerita “Gara-gara Ramalan Bintang” bisa dianggap cerita paling kocak. Ada kekonyolan khas anak-anak. Pun, Indra Bayu berhasil mengilustrasi tokoh Aya dan kejadian kesialan beruntun; bangun kesiangan, tidak sempat sarapan, ban sepeda bocor, terlambat sekolah, lupa membawa buku matematika, dan lupa uang saku. Aya berpikir, “Coba tadi aku tidak berangkat sekolah, mungkin tak akan sesial ini. Huh…benar yang dikatakan ramalan bintang kemarin, hari Rabu bukan hari yang baik untuk Virgo.” Di akhir cerita, Impian merasa perlu memosisikan ibu sebagai pelurus sebab-akibat kesialan oleh ramalan bintang.
Cerita “Payung Biru Jeta” dan “Hayun Ingin Jadi Juara” yang secara tersurat menyebutkan latar kota—Solo, Indonesia, dan Perth, Australia. Tidak ada kekhususan tempat karena Impian ingin meratakan bahwa peristiwa-peristiwa kebaikan kecil di keseharian bisa terjadi pada anak-anak di mana pun. Di beberapa bagian akhir cerita, memang terkadang terasa perubahan sikap mendadak melalui permintaan maaf, penyesalan, atau kesedihan yang tiba-tiba tuntas karena nasihat orangtua. Impian tetap ingin menekankan rekonsiliasi pada permasalah diri dan sekitar diputuskan oleh anak. Anak berotoritas dan orangtua tidak (harus) siaga di sana. Pakar cerita anak Murti Bunanta pernah mengatakan bahwa bercerita berimperasi pada tiga hal; menarik, bermanfaat, dan berilmu (Koran Tempo, 10 November 2016). Bukan hanya soal kesimpulan akhir yang sering ditekankan sebagai pesan moral atau pelajaran yang dapat diambil, lebih penting adalah rangsangan agar anak mau penasaran, bertanya, memikirkan, dan memutuskan. Ibarat kantong baju yang diisi sesuatu, (pesan) cerita bukan saku luar yang diisi banyak koin uang—berat dan jelas menonjol. Ia lebih seperti kantong tersembunyi berisi lipatan uang kertas.
*Setyaningsih, tinggal di Ngemplak, Boyolali. Esais dan penulis Kitab Cerita (2019).