Cerpen Eva Anastia
Akhir-akhir ini, Witro lebih banyak menghabiskan hari-harinya di dekat ladang jagung—tentu saja bukan ladang miliknya. Dia membawa serta Kunji—anaknya paling bontot—untuk berjalan menyusuri kelokan tepi ladang nan terjal. Tidak ada cangkul, sabit, atau sekadar pisau kecil yang biasa dia gunakan sebagai alat berhuma. Hanya sebuah peluit yang dia kalungkan di leher dengan tali plastik.
Sesekali Witro menyibak alang-alang yang menghalang jalan, mengacau dua belalang yang tengah bercumbu rayu. Kaki Witro terkesan enteng saja meski terkadang duri kecil menusuk tungkainya tanpa segan.
“Nah, di sini, Kunji. Di jalan yang terjal ini, kau harus berlari selincah yang kau bisa.” Witro berujar antusias sesampainya di ladang jagung tetangga, tangan kasarnya menepuk bahu Kunji yang ringkih.
- Iklan -
Kunji diam, mengedarkan pandang pada suasana sekelilingnya, lalu mengangguk pelan meski dalam hatinya ia masih saja bertanya-tanya.
“Kalau Bapak meniup peluit ini, maka mulailah berlari!” Witro mundur beberapa langkah ke belakang, memberi ruang bagi Kunji untuk mengambil ancang-ancang.
Kali ini Kunji telah bersiap, berdiri di antara puluhan tanaman jagung. Tali sepatunya—meski sudah buluk—mulai dia kencangkan. Sementara Witro segera mendekatkan monyong mulutnya tepat di depan peluit. Priiit! Kurang dari satu detik, napas Witro menggerakkan bola kecil di dalam peluit, bunyi nyaring seketika menelisik ke telinga Kunji. Seolah-olah dikagetkan, Kunji berlari tanpa waswas. Kadang belok ke kanan, kadang sebaliknya, tentu saja demi menghindari tanaman jagung tetangga.
Sekali saja Kunji berbuat kesalahan, tanpa sengaja membuat tanaman jagung itu ambruk, bukan main risiko yang harus ditanggungnya. Tetangganya itu, biar sudah dibaik-baiki, tetap saja galaknya tak bisa ditawar. Tak ingin dimarahi, Kunji mengerahkan seluruh fokusnya untuk berlari. Hingga bunyi peluit kedua kembali Witro perdengarkan, Kunji tak melakukan kesalahan sedikit pun. Latihan lari usai, Witro tiada henti memuji Kunji hingga sepulangnya mereka ke rumah.
Sejak musim olimpiade dunia usai, Witro memang kerap menyuruh Kunji berlari. Witro yang pada dasarnya adalah penggemar olahraga tentu tak akan melewatkan segala acara olimpiade dari awal hingga akhir musim. Kala itu, seusai mengangon kambing, Witro bergegas menyalakan TV tabungnya. Suara gemeresik mulai terdengar bersamaan dengan timbulnya gambar hitam-putih di layar. Tangan Witro mengotak-atik antena hingga didapatnya sinyal yang paling baik.
Seketika, layar TV menampilkan delapan orang lelaki bertubuh jangkung. Masing-masing dari mereka berjongkok di atas balok, lalu kompak mengangkat pantat ke atas, dan dalam hitungan detik suara tembakan terdengar berdentum. Delapan lelaki itu memacu langkah, meninggalkan balok tumpuan tadi, melesat bagai busur panah. Penonton bersorak-sorak, semangat penyiar meledak-ledak.
Mata Witro terus menatap layar TV tanpa berkedip. Pandangannya tertuju pada salah seorang lelaki berambut pirang, mula-mula berada di urutan paling belakang, lalu di akhir waktu mendadak mampu menyalip kawan-kawannya hingga tiba di posisi terdepan. Lelaki berambut pirang itu menyentuh pita terlebih dulu, pertanda bahwa ia memenangkan pertandingan. Dia melonjak girang, tangannya melambai-lambai pada penonton. Witro yang seolah-olah mampu merasakan euforia di sana juga tak kalah girangnya. Dia melompat-lompat, berlari ke luar rumah, berteriak kencang, lalu kembali mengambil posisi duduk di depan TV. Istrinya menatap bingung seraya geleng-geleng kepala.
Tak dapat dipungkiri, Witro memendam keinginan besar untuk menjadi seperti lelaki berambut pirang itu. Seluruh dunia akan mengenalnya, semua wanita akan jatuh cinta padanya, siput-siput sawah akan iri dengan kecepatannya berlari. Namun, setelah beberapa kali menghitung umur dengan jemari, mendadak Witro mengurungkan mimpinya. Kurang dari satu tahun lagi, umurnya sudah menginjak kepala lima. Rambutnya sudah beruban, kulitnya pun berkeriput. Tidak ada kakek-kakek yang bertanding di olimpiade dunia. Witro mengembuskan napas pasrah.
Hampir saja Witro putus harapan, tiba-tiba dilihatnya Kunji berlari dari luar rumah, masih dengan seragam sekolahnya. Dengan napas memburu, Kunji meraih gelas di dapur. Lekas-lekas ia menuangkan air putih dari dalam cerek, lalu meneguknya hingga tandas. Tubuh Kunji merebah di atas dipan, dahaganya telah sirna.
Witro terus menatap Kunji, hingga dalam kepalanya muncul ide gila. Dia akan membuat Kunji menjadi seperti lelaki berambut pirang tadi.
“Kunji, mari berlari sekarang juga!” ajaknya pada Kunji.
Seketika dahi Kunji terlipat. Jarang-jarang Witro menyuruhnya melakukan sesuatu, apalagi berlari. Tapi, Kunji, si anak pendiam itu tak menolak, juga tak mengiyakan. Witro lantas mengajak Kunji menuju ladang jagung tetangga. Sejak hari itu, Witro tak pernah absen menyuruh Kunji berlari, kadang di ladang jagung, kadang di jalan raya dekat pasar.
Setelah berulang kali Kunji berhasil menuntaskan latihan kelincahannya di ladang jagung, kali ini Witro lebih memilih untuk mengajak Kunji beralih ke jalan raya dekat pasar. Tanpa banyak bicara, Kunji menuruti perintah bapaknya itu. Dia berlari bolak-balik, tetes-tetes keringat membasahi kausnya. Beberapa pengunjung pasar tampak mencibir, tapi Kunji tiada peduli. Dia terus berlari sebagaimana perintah bapaknya : berlari hingga takdir Tuhan menyuruhnya berhenti.
Hingga suatu hari, langkah kaki Kunji tampak tak seringan biasanya. Dia berlari dengan terseok-seok, kadang langkahnya melebar ke tengah jalan hingga salah seorang pengendara memaki-makinya. Tapi, Kunji tetap tak berhenti berlari sampai sebuah truk menyambar tubuhnya, lalu tanpa sengaja roda-roda truk itu mengilas kakinya. Witro yang melihat pemandangan itu berteriak gusar, matanya berair, tangan keriputnya mengusap pipi Kunji lembut. Dalam batinnya, ribuan kata maaf bertalu-talu. Sebuah sesal menyayat hatinya. Perih.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Witro kembali mendapati kenyataan pahit, bahkan jauh lebih pahit daripada kehilangan mimpi menjadi pelari. Kunji, anaknya yang pendiam itu terbaring tak berdaya di rumah sakit. Dia kehilangan kemampuan berlarinya. Terbayang dalam pikiran Witro akan wajah Kunji yang banjir air mata, senyumnya yang padam, hari-hatinya yang suram. Entah dengan cara apa nanti Witro akan menguatkan Kunji, sedang dirinya tak lagi mampu untuk menguatkan batinnya sendiri.
Namun, rupanya bayangan Witro tentang Kunji itu salah besar. Anak pendiam itu, biar kakinya telah tiada, tapi senyumnya terbit bagai matahari di musim panas, wajahnya cerah bagai purnama tanggal lima belas. Dia menatap Witro dengan mata berbinar.
“Mengapa, Kunji? Mengapa kau tak menangis dan membenciku? Bila kudapati seekor burung yang kehilangan sayapnya, mungkin aku akan melihat titik air di kedua mata burung itu.” Witro bertanya heran, matanya panas.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Kunji, dia masih menjadi pendiam sebagaimana yang Witro kenal. Hanya jari telunjuk Kunji yang mengarah pada sepasang sepatunya. Hal itu menarik Witro untuk meraih sepasang sepatu itu, lalu memperhatinya lekat-lekat untuk mencari tahu apa yang Kunji maksud. Tampak ujung sepatu itu berlubang sangat besar. Di tepi lubang, bercak-bercak darah begitu kentara. Darah itu bukanlah bagian dari darah Kunji kala sebuah truk menabraknya. Saat terakhir kali berlari, Kunji tak mengenakan sepatunya.
Witro memperhatikan sekali lagi lubang sepatu Kunji. Lubang itu tidak tercipta dari gigi tikus yang menggigitnya dengan rakus, melainkan dari gerusan aspal yang terus-menerus. Dan, setelah sepatu itu berlubang, tentu saja aspal jalan beralih menggerus tungkai Kunji hingga timbul bercak darah.
Witro kembali mengalihkan pandang pada wajah Kunji, senyum paripurna masih terpancar dari sana.
“Aku tidak akan sakit lagi,” lirih Kunji tanpa mengendurkan senyumnya.
Dada Witro berguncang hebat. Dia memeluk tubuh Kunji erat. ***
*EVA ANASTIAN, lahir 6 Juni 2002. Tinggal di sebuah desa di lereng Gunung Sumbing.