Belakangan ini saya kurang responsif atas berbagai isu politik yang menggelitik di tanah air, terutama isu perpolitikan yang menyangkut capres dan cawapres untuk pemilu 2024. Rasanya kurang etis saja, disaat masyarakat mulai menghilangkan rasa pesimistis dan ketakutan akan pandemi lalu dihantam dengan keserakahan para elite poltik yang terkesan terburu-buru mengincar kekuasaan.
- Iklan -
Di tengah pandemi covid-19 yang menunjukkan trend membaik, ada saja tingkah politisi yang ambisius, terlalu bersemangat dan terkesan buru-buru untuk unjuk gigi sebagai capres 2024. Halooo Mbak Puan, Pak Airlangga, Mas AHY dan Cak Imin.
Namun yang membuat saya lebih tergerak untuk menulis opini ini adalah dengan hadirnya politisi-politisi yang mengatasnamakan agama untuk agenda politik yang ingin dicapai “memakai politik identitas”. Bukan hal ambigu lagi sih, melihat realita yang ada.
Tanpa harus saya jelaskan dengan spesifik tentunya anda mudeng siapa saja yang saya maksud. Politik identitas dengan memainkan narasi-narasi agama memang menjadi salah satu strategi dalam menggaet suara. Halooo Partai Ummat, PKS dan partai lainnya.
Isu agama terus dimainkan
Lewat tulisan ini saya akan membuktikan bahwasannya mereka yang sering mengatasnamakan politik untuk kemanusiaan dengan politik identitasnya, dalam pandangan penulis hanyalah orang yang mencari kekuasaan. dengan berlagak membela rakyat tapi di balik itu sebagai rencana mencari simpati dan suara rakyat untuk 2024.
Islah Bahrawi pernah mengatakan “Saya tidak pernah percaya jika seseorang politisi berteriak mengaku berjuang untuk agama. Dia berteriak bukan untuk didengar Tuhan, tapi didengatr konstituen”.
Perlu diketahui bersama bahwa, konstituen dalam istilah politik adalah anggota atau masyarakat pendukung sebuah partai. Jadi tak dipungkiri bahwasannya beberapa partai politik dan organisasi islam keras memainkan isu agama untuk menggaet masa.
Terlebih beberapa waktu yang lalu, Indonesia seakan didekati dengan ormas-ormas radikalis dan garis keras, sehingga saat kelompok garis keras ini satu persatu mulai ditangkap dan dibubarkan. Partai politik yang mengatasnamakan agama mulai membela organisasi terlarang ini. Aneh bukan?.
Gus Dur adalah buktinya
Bukti politik untuk kemanusiaan adalah Gus Dur. Beliau dengan tuntunan agama dan kebijaksanaan rela menanggalkan jabatannya sebagai presiden RI ke-4 untuk mencegah perang saudara di tanah air.
Gus Dur yang dikenal sebagai bapak pluralisme untuk semua ummat beragama, kiai yang mengayomi dan pemimpin yang membela semua kalangan rakyat harus rela dimakzulkan oleh para musuh politikya.
Tentunya kisah heroic Gus Dur dalam mencegah pertumpahan darah antara saudara sebangsa setanah air tak perlu penuli jelaskan panjang lebar. Tentunya panjengan semua sudah mendengar, membaca bahkan menyaksikan sejarah heroik Gus Dur.
Dari paparan diatas dalam hemat penulis bahwasannya, para politikus yang seringkali memainkan narasi membela rakyat, memainkan politik identitas, mengaku menggunakan politik untuk kemanusiaan, dan sering membawa nama-nama Tuhan dan agama untuk agenda politik perlulah untuk ditanyakan kembali.
Apakah semua suara itu hanya sebuah bualan semata untuk mendapatkan simpati dan suara rakyat?. Banyak yang sering berujar bahwasannya para elite politik akan memperbaiki hokum yang sering tajam ke bawah dan tumpul keatas. Namun, mereka lupa saat mereka telah berkuasa janjipun lupa untuk dituntaskan.
Adapula juga elite politik yang mengkritik pemerintahan yang korup Namun, lupa bahwasannya yang korupsi berasal dari elite parta politik.
Sebenarnya membedakan mana politikus yang baik dan yang bukan, dalam hemat penulis adalah dengan cara memperhatikan track recordnya dan kesesuaian visi dan misi yang memang telah direalisasikan.
Seperti contoh Gus Dur memang adalah sosok panutan yang juga merambah kedunia politik untuk kemanusiaan, yang dalam benak beliau bukan hanya sebatas mencari jabatan, membual dengan janji-janji yang tidak direalisasikan, ataupun mencari keuntungan. Gus Dur hanyalah sosok yang memang ingin membangun peradaban berlandaskan moderasi beragama di tanah air. Itulah kesejatian politik untuk kemanusiaan bukan?
-Penulis adalah mahasiswa INISNU Temanggung